Indonesia Menjadi Negara Ketujuh Yang Aktif Mengeksekusi Mati Terpidana Narkoba

24 June 2015 | 11:41 pm | Dilihat : 641

perancis sergei

Sergei Atlaoui, Terpidana Mati Narkoba (Foto: skanaa.com)

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  Senin (22/6/2015) menolak gugatan Serge Atlaoui asal Prancis yang dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan pemilik pabrik ekstasi. Hakim PTUN Ujang Abdullah menolak gugatan Serge dengan alasan  grasi adalah hak prerogatif Presiden. Oleh sebab itu gugatan Serge tidak masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negara. Kejaksaan Agung menyatakan tidak ada celah lolos untuk  Atlaoui dari eksekusi mati.

Kuasa hukum Serge, Nancy Yulian kecewa atas putusan PTUN, tersebut. "Kami kecewa dengan hasil ini. Kami menentang hukuman mati karena meragukan efeknya," kata Nancy, Senin (22/6/2015).

Serge Atlaoui bersama dengan Mary Jane Veloso (Filipina), adalah salah satu terpidana mati yang seharusnya dieksekusi pada tanggal 29 April lalu. Tetapi pelaksanaan eksekusinya ditunda untuk menyelesaikan proses hukumnya. Ada yang mengatakan karena tekanan Presiden Perancis Francois Hollande yang meradang. Nampaknya kini nasib Atlaoui lebih buruk dibandingkan Jane, Atlaoui langsung masuk daftar tunggu. Penundaan eksekusi Mary Jane Veloso bukan karena dia masih menjalani proses hukum saja, dia berpeluang bebas karena munculnya bukti baru. Seorang perempuan di Filipina menyerahkan diri dan mengaku menjebak Mary Jane untuk menjadi kurir narkoba.

Tim kuasa hukum Atlaoui  masih akan tetap mencari celah hukum agar kliennya lolos dari eksekusi mati. Soal bentuk celah hukumnya, Nancy sebagai salah satu tim hukumnya mengaku belum mengetahuinya. Duta Besar Prancis untuk Indonesia Corinne Breuze mengatakan bahwa Pemerintah Prancis tentu dapat memahami keputusan PTUN Indonesia yang menolak gugatan perlawanan Serge Atlaoui.

"Kami masih terus berhubungan dengan keluarga dan pengacara (Atlaoui) untuk melihat isu apa yang kami dapat temukan dalam kasus ini. Karena kami melihat ada semacam pembelaan yang dapat dilakukan, dan kami melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawanya," ujar Breuze. Ia juga menilai bahwa kasus Atlaoui murni merupakan masalah hukum dan tidak terkait dengan masalah politik maupun masalah diplomatik antar Indonesia dan Perancis. Nampaknya pihak Perancis melunak dalam membela  Serge Atlaoui.

Atlaoui dinilai gembong narkoba berbahaya, dia adalah salah satu pembangun pabrik narkotika terbesar ketiga di dunia yang ia bangun bersama 21 orang lain di Serang, Banten. Pada 11 November 2005 Polisi menyita berton-ton bahan pembuat ekstasi, 148 kilogram sabu, dan sejumlah mesin pembuat ekstasi. Pabrik yang berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi itu berkapasitas produksi 100 kilogram ekstasi per minggu.

Dari pabrik ini, total tersangka yang ditangkap 21 orang, dan sembilan orang di antaranya di vonis hukuman mati, yaitu ; Serge Areski Atlaoui, Benny Sudrajat alias Tandi Winardi, Iming Santoso alias Budhi Cipto, Zhang Manquan, Chen Hongxin, Jian Yuxin, Gan Chunyi, Zhu Xuxiong, dan Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick.

Juru bicara Kejaksaan Agung, Tony Spontana menyatakan eksekusi terhadap Atlaoui, akan dilakukan setelah Ramadhan. Memungkinkan Atlaoui dieksekusi bersama kelompok terpidana mati selanjutnya. "Kami sekarang mengumpulkan dan menginventarisir terpidana mati lainnya yang proses hukumnya sudah selesai, kemudian hak-haknya sudah diberikan, Peninjauan Kembali sudah, penolakan grasi sudah. Mungkin kita jadikan satu pelaksanaan eksekusinya," ujarnya.

Perbandingan Eksekusi Mati 

Eksekusi terakhir hukuman mati (terkait) narkoba dilaksanakan pemerintah Indonesia pada tanggal 29 April 2015 terhadap delapan pengedar narkoba (tahap II). Tujuh dari delapan yang dieksekusi adalah warga asing. Mereka adalah ; Myuran Sukumaran dan Andrew Chan (Australia),  Martin Anderson (Ghana), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise dan Okwudili Oyatanze (dari Nigeria), Rodrigo Gularte (Brasil) dan  Zainal Abidin (Indonesia), Jane dan Atlaoui ditunda.

Sebelumnya, pada 18 Januari 2015, enam orang terpidana mati kasus narkoba tewas di tangan regu tembak pada eksekusi tahap I. Mereka adalah Marco Archer Cardoso Mareira (53 tahun, Brasil), Daniel Enemua (38 tahun, Nigeria), Ang Kim Soe (62 tahun, Belanda), Namaona Dennis (48 tahun, Malawi), Rani Andriani atau Melisa Aprilia (Indonesia) dan Tran Thi Hanh (37 tahun, Vietnam).

Menurut Harm Reduction International (HRI), sebuah LSM yang memfokuskan diri tentang soal obat terlarang, Indonesia sebelumnya jarang melaksanakan hukuman mati terhadap penyelundup narkoba. Mirip di sebagian besar dunia lainnya, mereka umumnya hanya dihukum untuk waktu yang cukup lama.

Empat belas negara, termasuk Amerika dan Kuba, dalam Undang-undangnya menerapkan hukuman mati  untuk pengedar narkoba, tetapi umumnya tidak menerapkannya dalam praktek (tidak melakukan eksekusi). HRI mencatat hanya  enam negara selama ini yang diketahui aktif melaksanakan eksekusi mati terkait narkoba, yaitu China, Iran, Arab Saudi, Vietnam, Malaysia dan Singapura.  Dengan dilaksanakannya dua tahap eksekusi kasus narkoba beberapa bulan lalu, Indonesia menurut HRI akan segera bergabung dalam daftar ini, menjadi negara ketujuh. Sementara  beberapa negara seperti  Irak, Libya, Korea Utara, Sudan, Sudan Selatan dan Suriah tidak pernah mengungkap secara terbuka soal eksekusi, merahasiakan sehingga HRI hanya memperkirakan.

Menurut media Australia, antara tahun 1999 dan 2014 pemerintah Indonesia hanya melaksanakan  tujuh eksekusi terhadap pengedar narkoba. Jumlahnya terus meningkat, setelah dua eksekusi pada Januari dan April 2015 dieksekusi 14 orang, kini Atlaoui masuk daftar tunggu  beserta 56 terpidana narkoba lainnya.

Menurut Amnesty International, sebuah eskalasi yang lebih besar telah terjadi di Iran, pada tahun 2008 telah  dieksekusi kurang dari 100 penyelundup narkoba, tetapi pada empat bulan pertama tahun ini Iran diketahuinya telah mengeksekusi  mati 241 terpidana narkoba.

Tiongkok diperkirakan menjadi pengeksekusi terpidana narkoba tertinggi di dunia. Tetapi negara itu tidak memublikasikan statistik pelaksanaan hukuman mati. Di negara ini informasi tentang jumlah yang  dieksekusi adalah rahasia negara, organisasi hak asasi manusia memperkirakan bahwa Tiongkok melakukan ribuan eksekusi setahun, lebih dari seluruh eksekusi yang dilakukan di negara lain di seluruh dunia. Berdasarkan perkiraan yang diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir, diperkirakan sedikitnya pada 2014 dilaksanakan 3.000 eksekusi mati (Tingkat eksekusi pada tahun 2014 per satu eksekusi per 450.000 orang).

Amnesty International memperkirakan terjadi ribuan eksekusi di Tiongkok pada tahun 2011.  Dari data yang dilansir oleh Dui Hua Foundation, memperkirakan bahwa Tiongkok  mengeeksekusi sekitar 4.000 orang pada tahun 2011 dan 5.000 pada tahun 2010.  Berarti jumlah eksekusi tiap tahun turun sekitar 1.000 orang. Nampaknya efek jera berhasil diterapkan melalui eksekusi mati, dengan jumlah yang fantastis.

Di Tiongkok, hukuman mati  dijatuhkan ketika seseorang memiliki opium tidak kurang dari 1.000 gram, heroin atau methylaniline tidak kurang dari 50 gram, atau obat-obatan narkotika lainnya dalam jumlah besar. Para anggota pengikut dalam penyelundupan narkoba internasional, pemimpin kelompok perdagangan, atau pejabat pemerintah yang mengalihkan obat yang dikendalikan negara untuk penjualan ilegal juga dapat dihukum mati.

UU di Iran tentang hukuman mati terkait narkoba juga ketat.  Perdagangan heroin, morfin, kokain atau derivatif diperlakukan lebih serius dibandingkan perdagangan gelap obat bius lainnya. Dengan ambang batas kepemilikan 30 gram narkoba saja, seseorang akan dihukum mati. Perdagangan narkoba atau penyelundupan juga akan dihukum mati, juga perdagangan atau penyelundupan narkoba di penjara, pusat rehabilitasi atau fasilitas militer. Perdagangan lebih dari 5 kg opium dan opium derivatif dapat dihukum mati. Perdagangan lebih dari 100 gram heroin, kokain dan methamphetamine akan dihukum mati.

Pembela hak asasi manusia sekarang khawatir tentang Pakistan, yang awal tahun ini berakhirnya moratorium hukuman mati. Tercatat sebanyak 8.000 orang  telah dihukum mati, termasuk juga pengedar narkoba yang tidak diketahui jumlahnya.

Akan tetapi ironisnya, perdagangan Ganja  yang akan menghadapi hukuman  penggal di Arab Saudi bila tertangkap, ternyata telah disahkan untuk digunakan sebagai rekreasi/hiburan kesenangan  di negara Amerika dan di Uruguay. Untuk psikotropika telah dilegalkan di sebagian besar negara Eropa dan Amerika Latin. Kecanduan heroin semakin diperlakukan sebagai penyakit daripada kejahatan, jarum bersih dijual  di banyak negara-negara kaya, termasuk Inggris dan Swiss. Bahkan dokter meresepkan heroin ke sejumlah kecil pecandu.

Kesimpulan

Eksekusi hukuman mati terhadap terpidana narkoba di Indonesia sebenarnya bila dilihak dari kwa jumlah belum ada apa-apanya dibandingkan beberapa negara yang sudah lebih aktif menerapkan eksekusi mati. Tidak terbayangkan demikian banyak eksekusi mati mereka yang tersangkut narkoba di Tiongkok, Iran dan Pakistan, jumlahnya sangat fantastis. Sementara data tidak dibuka dan tetap menjadi rahasia negara. Mereka tidak secara resmi mengumumkan data eksekusi.

Memang Indonesia harus berani melakukan eksekusi bagi terpidana narkoba dan yang jelas Kementerian Luar Negeri harus meningkatkan lobi serta diplomasi, karena apabila eksekusi akan terus dilaksanakan, akan banyak warga asing yang terlibat. Sementara mereka di negaranya mungkin merasa bebas-bebas saja dan bahkan ada yang di legalkan.

Indonesia seperti kata Presiden Jokowi, harus tegas dan kita harus menolong diri sendiri dari kehancuran masa depan generasi penerus dari pengaruh narkoba. Penulis setuju yang disampaikan presiden, bahwa Indonesia sudah darurat narkoba. Dari dua eksekusi yang sudah dilaksanakan, nampaknya belum menyentuh efek jera, karena dalam beberapa bulan terakhir, arus narkoba yang tertangkap tetap deras. Mungkin ada lainnya yang lolos.

Pemerintah, khususnya para penegak hukum serta intansi terkait harus berani dan tegas dalam mendukung Presiden Jokowi yang telah dengan tegas  menolak grasi. Menangani arus perdagangan narkoba, aparat harus tetap terstruktur dan teratur, jangan lengah semenitpun. Perdagangan narkoba adalah bisnis haram yang menggiurkan, dapat menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat. Karena itu banyak yang nekat mau menjadi kurir, atau mereka yang ditipu. Pengadilan harus tegas menerapkan aturan pidana mati sesuai UU serta ketentuan yang berlaku.

Tiongkok saja membutuhkan beberapa tahun untuk menurunkan kasus narkoba di negaranya. Apapun hambatan serta tantangannya, aparat harus berani mengeksekusi Sergei Atlaoui serta orang asing lainnya yang sudah mencapai titik akhir upaya hukum. Jangan sampai ada cacat  hukum sebelum penerapan eksekusi. Pemerintah sementara tetap melanjutkan Perang Urat Syaraf (Propaganda anti narkoba disertai kegiatan/eksekusi) dan secara periodik dilakukan evaluasi terhadap efek jeranya.

Selamat bertugas, semoga tetap tabah menghadapi tantangan dan ancaman, demi menyelamatkan bangsa Indonesia. Kita dukung keberanian Presiden Jokowi. Bravo!

Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.