Indikasi Jokowi Dijadikan Musuh Bersama Untuk Diturunkan Makin Kental
13 April 2015 | 11:44 am | Dilihat : 2432
Kongres PDIP Bali 9 April 2015 (Foto: news.viva.co.id)
Sebuah analisis intelijen bisa dilakukan baik berdasarkan indikasi, fakta maupun opini. Dalam pengertiannya, indikasi adalah petunjuk, tanda-tanda atau isyarat yang menarik perhatian. Fakta adalah hal, peristiwa, keadaan, atau sesuatu yang merupakan kenyataan yang benar-benar ada atau terjadi. Fakta menunjukkan suatu kebenaran informasi, artinya hal atau peristiwa tersebut terbukti benar-benar ada. Dalam kegiatan intelijen, dibutuhkan beberapa fakta yang kemudian diolah menjadi intelijen (informasi yang sudah dikonfirmasi dan diberi penilaian isi dan sumbernya).
Sementara, opini adalah hasil anggapan, pemikiran, atau perkiraan orang, baik secara individu maupun kelompok. Namun, opini bukan sesuatu yang mengada-ada atau khayal. Sumber opini terbaik adalah fakta, hasil pemikiran itu sangat dipengaruhi unsur pribadi yang sangat subjektif. Oleh karena itu kebenaran opini sangat relatif. Berbeda dengan isu, berupa kabar yg tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya, kabar angin; desas-desus.
Nah, penulis pada beberapa waktu ini memperhatikan baik indikasi, fakta, opini maupun dari sisi berkembangnya isu, ada sebuah alur yang menargetkan Presiden Jokowi sebagai target utama operasi (prominent target).
Apabila diamati, nampak ada arus dalam penciptaan kondisi untuk menjadikan Jokowi sebagai target penting, yaitu musuh bersama. Beberapa fakta memperlihatkan bahwa demo anti Jokowi mulai dimunculkan, kemudian apabila diamati di media sosial, pembicaraan anti Jokowi semakin keras dan agak mengalahkan suara mereka yang pro Jokowi. Media arus utama mulai memberitakan beberapa gerakan anti Jokowi, walaupun media bersangkutan belum dapat dikatakan menjadi bagian gerakan. Pada intinya terlihat upaya penurunan citra dan kewibawaan Jokowi baik sebagai pribadi maupun sebagai seorang presiden.
Upaya menonjolkan kekecewaan terhadap Jokowi apabila dibandingkan dengan kekecewaan terhadap Pak Harto pada era 1996-1998 nampak kemiripan jadwal rencananya. Presiden Soeharto jatuh setelah ada sebuah gerakan yang dimulai sejak 1996 dan jatuh pada tahun 1998. Gerakan yang menonjol saat itu adalah forum Rektor, Barnas plus purnawirawan militer serta BKSIKAPTI (Badan Kerjasama Ikatan Kerjasama Alumni Perguruan Tinggi Se Indonesia).
Apabila ditelisik gerakan anti Jokowi masa kini, maka mulai muncul gerakan mahasiswa, beberapa Alumni Perguruan Tinggi, penggiat media sosial serta dari parpol. Mahasiswa merupakan kekuatan yang tidak dapat disepelekan, mereka mampu menjebol tembok baja pertahanan Soeharto. Memang BKSIKAPTI belum menentukan sikapnya. Sementara media sosial merupakan kekuatan tersendiri masa kini yang pengaruhnya demikian besar. Sementara media arus utama belum terlalu mengapresiasi (tertarik) untuk menghancurkan citra Jokowi. Dikalangan purnawirawan yang akan banyak berpengaruh kepada militer aktif nampak mulai resah dan agak prihatin dan mengeluarkan aroma kurang suka terhadap Jokowi.
Latar Belakang Permasalahan
Melihat sebuah bahaya, terlebih bahaya yang mengancam penurunan seorang presiden, sebaiknya harus dilihat latar belakang permasalahan. Jelas kita tidak bisa mengukur dari pandangan taktis belaka. Permasalahan berada di tataran strategis, yaitu pada tahun 2019, akan ada pemilihan presiden. Jelas keinginan maju dalam ajang persaingan telah merangsang beberapa tokoh di Indonesia. Mereka menilai bahwa Jokowi akan merupakan kompetitor berat sebagai capres pada 2019. Apabila dibiarkan, maka capres lainnya akan dengan mudah ditumbangkannya.
Disamping masalah strategis, masalah taktis juga merupakan ancaman terhadap kelangsungan kepemimpinan nasional. Setelah beberapa bulan, mulai nampak peta dari klik, koalisi serta kelompok yang pro dan anti Jokowi. Latar belakangnya bisa persoalan pembagian kekuasaan, rasa tidak puas sebagian orang serta pembagian hasil.
Intelijen menilai dari sisi kekuatan, kemampuan dan kerawanan Jokowi sebagai pimpinan nasional. Dari sisi kekuatan, Jokowi adalah presiden terpilih, legitimasinya kuat, sebuah upaya penurunan yang inkonstitusional dapat disebut sebagai makar. Apa yang merupakan kemampuan Jokowi? Konsep pemerintahan Jokowi tentang pembangunan infrastruktur merupakan kunci dalam beberapa bidang, terutama ekonomi dan sosial. Beberapa ahli menilai apabila konsep pembangunan infrastruktur jalur komunikasi darat dan maritim laut terwujud, maka Indonesia akan bisa mengalami kemajuan menjadi Cina kedua.
Nah, apakah kerawanan Jokowi? Dalam bahasa intelijen, kerawanan adalah sebuah kelemahan yang apabila dieksploitir oleh lawan akan menyebabkan kelumpuhan, bahkan permanen. Kerawanan Jokowi yang berasal dari kelemahannya adalah kini dia dinilai lemah dalam cara dan lambannya dalam mengambil keputusan. Banyak pihak yang tidak menyukai gaya komunikasi politiknya serta penyampaian keputusan (dengan tertawanya). Dia dianggap tidak serius, kurang menguasai permasalahan dan dianggap menilai setiap masalah dengan ringan. Memang dalam masalah yang ringan gaya tersebut bisa dipakai, tetapi dalam menanggapi masalah besar di negara, diperlukan keseriusan yang lebih.
Nah, disinilah sebenarnya peran juru bicaranya dalam menyampaikan pemikiran serta konsep-konsep strategis pemerintah. Selama ini yang menyuarakan adalah Andi Wijayanto, tetapi banyak pihak menilai Andi masih kurang pengalaman dalam memahami kondisi persaingan serta pertempuran psikologis yang ada. Andi mereka nilai terlalu normatif dalam menjelaskan konsep-konsep besar presiden. Tidak mampu melindungi presiden.
Titik kerawanan Jokowi lainnya, yang secara sadar ataupun tidak, meledak di Kongres PDIP tanggal 9 April di Bali. Kedatangan Presiden Jokowi ke Kongres tersebut kemudian di goreng oleh media manapun, menghiasi dunia maya dengan seribu satu pendapat. Memang banyak yang kemudian menyalahkan Megawati yang menegaskan Jokowi sebagai petugas partai dan harus berkonsultasi dengan PDIP. Bu Mega yang berpidato dengan berapi-api menunjukkan dominasi figur yang kuat sebagai pimpinan parpol dimana Jokowi bernaung. Publik menilai bahwa sebagai simbol negara, pimpinan nasional, Jokowi kemudian terlihat tidak berdaya di lingkungan partai pengusungnya.
Di sisi penting lainnya, masalah ekonomi menjadi headline di media. Ekonomi Indonesia dikatakan lampu kuning. Disebutkan bahwa harga barang semuanya naik, dipicu karena kenaikan BBM, gas, tarif dasar listrik plus lemahnya rupiah terhadap dolar AS. Semua dikatakan membuat ekonomi Indonesia di lampu kuning. Apabila dibiarkan, ekonomi di dalam negeri akan hancur, industri nasional terancam gulung tikar (Haryadi Sukamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Minggu, 12 April 2015).
Dampak kondisi ekonomi kini bukan hanya berimbas pada pengusaha besar tapi pelaku UKM kena imbas yang parah (Waketum Kadin, Sarman S). Dampak utama kondisi ekonomi saat ini karena melemahnya rupiah terhadap dolar AS, karena hampir seluruh sektor ekonomi dalam negeri masih tergantung dari bahan baku impor (Ekonom LIPI, Latif Adam).
Analisis
Pemerintahan dibawah Presiden Jokowi memang baru sekitar lima bulan, tetapi nampak pemerintahan ini terus mengalami tekanan yang disebabkan karena situasi dan kondisi yang berlaku. Yang sangat berbahaya bagi Jokowi adalah sikon politik serta kondisi perekonomian yang diberitakan mulai memburuk.
Di bidang politik, menurut penulis ada yang mencoba menurunkan citra Jokowi agar tidak terus bersinar dan menjadi idola rakyat Indonesia. Mereka tidak menginginkan Jokowi turun pada saat ini, karena posisi nyaman tetap dipegangnya. Mereka hanya butuh Jokowi menjadi presiden yang tidak terlalu hebat, kira-kira begitu.
Yang mesti diwaspadi adalah munculnya keinginan menurunkan Jokowi, dimana kolaborasi beberapa kekuatan mulai disusun dan diarahkan akan start bergerak pada bulan Mei 2015. Intelijen yang bersama Jokowi mestinya sudah melakukan monitoring gerakan-gerakan semacam ini, yang juga perlu mewaspadai potensi timbulnya konflik horizontal. Ada sebuah skenario besar dibelakang semua ini.
Pertanyaannya, apakah kemudian jaman "goro-goro" akan muncul? Intelijen perlu mewaspadai persoalan perekonomian bangsa yang oleh pengusaha disebut sudah berada di lampu kuning. Apabila kesulitan eknonomi negara kemudian berimbas ke bawah, maka kita mesti waspada bahwa dalam waktu yang tidak lama, gerakan massa akan semakin membesar bak bola salju. Disinilah Jokowi akan dijadikan musuh bersama, dengan memanfaatkan mahasiswa seperti dalam kasus menurunkan Presiden Soeharto.
Nah, disaat kondisi politik dan perekonomian dapat dinilai merugikan, Jokowi tanpa disangka diterpa badai besar dari PDIP, parpolnya sendiri. Ungkapan Bu Mega dapat dikatakan sangat keras menyentilnya. Disadari ataupun tidak maka Kongres di Bali tersebut merupakan akumulasi turunnya citra Jokowi sebagai presiden. Ketidak berdayaan, dimana dia dikunci sebagai petugas partai akan membuat banyak pihak kecewa karena kegagalan ekspektasi pemilih pada masa lalu. Di Bali tersebut, banyak yang mencerca Megawati yang dinilai semau gue, bahkan dikatakan arogan. Tetapi, yang juga terjadi publik menyimpulkan Jokowi bukan pemimpin yang hebat, itulah kesimpulan dari sisi kerawanan.
Mungkin, PDIP tidak membayangkan efek negatif dari sambutan Mega tersebut. Penulis pernah bersilaturahmi ke Bu Mega, dan menyimpulkan beliau orang yang keras, teguh pendirian, jangan coba membuatnya marah atau tersinggung. Kebanggaan dan keteguhan Mega adalah seperti yang dikatakannya kepada penulis, "Saya ini orang bodoh pak, tetapi saya setia menjaga Pancasila dan NKRI," tegasnya.
Mega saat berpidato di Bali menurut penulis menegaskan sikapnya, bahwa ada komunikasi yang tersendat antara Presiden dengan parpolnya. Diperkirakan peran kompartementasi dari mereka yang disebut-sebut elit PDIP dan media sebagai 'trio macan' sebagai sumber masalah. Kembali masyarakat akan menilai, apakah Jokowi kemudian menjadi tergantung kepada trio macan sebagai inner circle-nya?
Nah, dengan beberapa indikasi, fakta serta opini yang muncul dalam beberapa bulan terakhir, nampak memang adanya upaya penurunan citra Jokowi dan yang menyimpulkan komunikasi politiknya dinilai agak lemah. Pertanyaannya, apabila Jokowi jatuh bukankah wapres yang akan menjadi presiden? Penulis melihat bahwa JK akan menjadi pilihan lain terakhir, walau mungkin bukan yang terbaik bagi mereka.
Bagi pak Jokowi, penulis menyarankan, bahwa kini dibutuhkan peningkatan komunikasi politik, keberanian pengambilan keputusan, jangan terlalu banyak berkompromi. Ketegasan bapak kini dibutuhkan, kalau memang rencana bulan Mei dipandang harus dilakukan reshuffle ya dilakukan saja. Saran masukan bisa dari Kastaf Kepresidenan, dari Wakil Presiden, atau Wtimpres, tetapi keputusan akhir ada ditangan presiden.
Ada pepatah bagus juga untuk bapak, "Don't wait until tomorrow what you can do to day." Saat penulis belajar ilmu politik, dijelaskan oleh salah satu guru besar, bahwa politik adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan. "Mampukan bapak?". Segera tunjuk juru bicara yang lebih tegas dan berani. Semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen http://ramalanintelijen.net