Berpolitik Akan Sukses Bila Pintar, Cerdas dan Cerdik
13 March 2015 | 8:04 am | Dilihat : 2094
Foto Presiden Jokowi dan Anggota Kabinet Kerja Seusai Diumumkan (Foto: bbc.co.uk)
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam era pemerintahan Presiden Jokowi yang baru hampir lima bulan mengalami pasang dan surut. Semua keputusan terus berpusar di sekitar pimpinan nasional dan nampaknya keputusan selalu bermuara kepada presiden karena tidak tuntas dibawah. Ini sebuah titik rawan, dimana suatu saat Jokowi bisa saja menjadi pihak yang disalahkan.
Ketegaran dan keputusan presiden diuji dengan beberapa kasus besar, penulis mengulas beberapa kasus tersebut. Diantaranya kasus gagalnya pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kapolri (Baca: Budi Gunawan Di Schackmatt Oleh KPK, http://ramalanintelijen.net/?p=9441), kemelut antara Polri VS KPK (Baca: Presiden Bisa Terseret Turbulensi Politik Yang Berbahaya, http://ramalanintelijen.net/?p=9489). Disusul dengan tekanan Australia soal eksekusi terpidana Narkoba (Baca: Waspadai Kemungkinan Langkah Ekstrem Australia Terkait Eksekusi Mati, http://ramalanintelijen.net/?p=9517).
Nah, kini muncul berita besar perpecahan Partai Golkar. Kubu Golkar pimpinan Ical dikalahkan oleh kubu pimpinan Agung Laksono, yang diakui sah oleh pemerintah (Menkum HAM). Penulis mengulas masalah Golkar, (Baca : Conditioning Operation Terhadap Golkar, http://ramalanintelijen.net/?p=9362) serta ("Golkar Pecah, Diprediksi Ical Akan Kalah, PDIP Mesti Waspada," http://ramalanintelijen.net/?p=9312).
Apabila muncul di media, nampak Presiden Jokowi selalu tenang dan tetap yakin dengan setiap keputusannya. Walau memang dalam sebuah sistem pemerintahan, keputusan presiden tidak lepas dari apa yang disarankan oleh para pembantunya di kementerian.
Di dalam menempuh perjalanan hidup sebagai abdi negara, penulis mempelajari pentingnya beberapa prinsip dasar bahwa pemimpin itu sebaiknya orang yang pintar, cerdas dan cerdik. Mari kita bahas sedikit pengertian ini.
Pintar, adalah julukan untuk orang yang teratur dan disiplin sehingga ia selalu mampu mengerjakan apa yang diperintahkan. Dia selalu melakukan segala sesuatunya dengan baik dan mampu mencerna apapun dengan sempurna. Orang bisa pintar apabila dia disiplin dan mau bekerja keras dalam mengejar cita-citanya.
Cerdas, adalah sebutan untuk orang yang mampu mengerjakan apa yang diperintahkan dengan baik, walau dia kadang tidak disiplin dan tidak teratur. Dia mampu mencerna segala sesuatunya dengan sempurna dan merupakan faktor turunan yang tidak bisa dicari. Mereka tahu kapan harus santai dan kapan harus menunjukkan kepintaran mereka. Secara emosionalpun orang cerdas jauh lebih baik ketimbang orang pintar.
Cerdik, adalah pekerjaan akal, sementara pintar atau cerdas adalah pekerjaan otak. Jadi orang cerdik pandai adalah orang yang berotak pintar dan mempunyai banyak akal. Otak mengupayakan segala sesuatunya dengan murni dan diterima oleh akal dengan adil , sedangkan cerdik adalah sisi produk permainan akal . Akal bekerja dengan unsur muslihat, orang cerdik pada umumnya inisiatifnya tinggi.
Nah, setelah memahami secara sederhana pemahaman pintar, cerdas dan cerdik (P2 C), kini kita bisa mengukur para pemegang amanah di negara kita itu dimana posisi P2C-nya. Ketiga kunci diri pribadi masing-masing pemimpin tadi akan terus dinilai oleh rakyat, khususnya para netizen yang pintar dan kritis. Tetap dipercaya atau dicibir dan di-bully, kira-kira begitulah.
Inilah beberapa pertanyaan kita. Bagaimana dan berapa lama keputusan konflik batiniah terkait pencalonan BG yang kemudian meluas menjadi konflik terbuka Polri vs KPK? Apakah keputusan sudah tepat? Bagaimana penanganan kasus eksekusi mati yang ditentang oleh Australia? Apa yang dilakukan oleh para pejabat Indonesia? Bagaimana penanganan penetapan kubu Agung Laksono sebagai pihak yang dimenangkan? Bagaimana mengantisipasi kejengkelan kubu KMP, dimana Prabowo menyatakan apabila proses politik gagal, situasi akan berbahaya?
Nah, itulah beberapa pertanyaan penulis terkait dengan statement pejabat-pejabat terkait yang membantu presiden. Kini, dalam kasus politik dalam negeri, yang menang adalah pihak pemerintah dengan kubu KIH, dimana kubu KMP menjadi pihak yang tertekan. Menkum HAM dengan enteng mengeluarkan keputusan yang sensitif dan dirasa kurang memperhitungkan akibatnya. Dilain sisi, apabila diukur dari unsur "P2C" terlihat kubu Ical terlalu menyepelekan merapatnya Agung Laksono ke pemerintah. Kalahlah dia. Dengan ukuran P2C juga, pejabat pemerintah sebaiknya mengukur kemungkinan konflik politik akan mengimbas ke konflik fisik.
Bagaimana dengan kemelut Australia? Para pejabat terkait sebaiknya pintar, cerdas, dan lebih cerdik menilai kemungkinan yang terjadi. Lihat saja, pernyataan Pak Tedjo (Menkopolhukkam) yang akan melepas 10.000 imigran gelap ke Australia, kini mengundang reaksi dari Australia hingga Inggris. PM Abbott yang dulu kurang dipedulikan rakyatnya, kini justru mendapat dukungan besar, hanya karena Tedjo menyentuh sesuatu yang berhubungan dengan ancaman sensitif terhadap bangsa Australia.
Jadi kesimpulannya, kalau mau jadi pemimpin sebaiknya memahami soal pintar, cerdas dan cerdik itu. Apabila ketiganya difahami maka si pejabat akan mempunyai sense (rasa). Rasa cinta tanah air, rasa kesetiaan, rasa tanggung jawab, rasa mencintai rakyatnya, dan rasa tanggung jawab yang besar sebagai pemegang amanah. Karena yang dibahas soal politik, berpolitik akan sukses bila anda memenuhi unsur P2C.
Apabila tidak, maka suatu saat jelas akan ada resiko yang diterima, cepat ataupun lambat. Kata ahli, politik itu kotor, ahli lainnya mengatakan politik di Indonesia kotor sekali. Mungkin begitu pemikiran dan sedikit pengetahuan dari serdadu diusia senja ini. Entah apa pendapat pembaca budiman. Salam.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net