Shock Theraphy Hukuman Mati Bandar Narkoba Bisa Gagal
7 March 2015 | 8:31 am | Dilihat : 1083
Indonesia Darurat Narkoba (foto : rri.co.id)
Persiapan eksekusi tembak mati bagi 10 orang bandar/penyelundup narkoba yang akan dilaksanakan di kawasan Nusakambangan, disebut gelombang kedua , dimana pada gelombang pertama (18/1/2015), enam orang yang terlibat kasus narkoba tingkat berat sudah dieksekusi setelah permohonan grasinya ditolak presiden. Bahasa gaulnya, "Boljug nih Pak Presiden," berani.
Setelah duduk di tampuk kekuasaan, Jokowi melakukan langkah keras dan tegas tidak berkompromi terhadap penyelundupan narkoba di wilayah Indonesia. Dengan dasar darurat narkoba yang makin serius maka permohonan grasi hukuman mati terpidana narkoba ditolaknya dan eksekusi segera dan mulai dilakukan. Dapat dibayangkan, mereka yang sudah belasan tahun di vonis mati tetapi belum juga di eksekusi, kini harus banyak berdoa karena masuk antrian menghadapi regu tembak. Jelas mengerikan pastinya perasaan dan keluarganya.
Nah, berhubung para penyelundup serta pemain besar atau "biang kerok" pembawa racun ke Indonesia itu adalah warga asing, maka Indonesia harus tegar menghadapi gempuran penggiat HAM serta penolakan negara-negara lain yang sudah menghilangkan hukuman mati di negaranya. Kini yang paling ribut adalah Australia serta Brasil. Australia mencoba menyelamatkan warganya dari hukuman mati, walau dikatakannya Australia juga anti narkoba (Catatan; Mestinya Tony Abbott menyalahkan Polisi Federal Australia yang memberi info ke Indonesia tentang rencana penyelundupan narkoba Bali Nine dari Bali ke Australia. Kalau tidak mereka akan tertangkap di Australia dan tidak dihukum mati! Kenapa Polisi Australia justru membocorkan ke Indonesia?). Biarlah itu urusan Australia yang mau benar sendiri.
Nah, kebijakan Presiden Jokowi yang keras terhadap bahaya narkoba dilakukannya dengan langkah yang dinilai sebagai langkah shock theraphy. Ini adalah aksi kejut agar para pemain narkoba atau kurir luar harus berfikir ulang, siapa yang berani ambil resiko menyelundupkan narkoba ke Indonesia dengan ancaman pasti ditembak mati.
Ungkapan ‘shock therapy’ ini dahulunya adalah istilah kedokteran (medis) yang mempunyai nama lengkap ‘electric shock therapy’?. Ini adalah metoda pengobatan penderita gangguan jiwa dengan cara ‘menyetrum’ otaknya dengan aliran listrik. Cara pengobatan yang cukup ’sadis’ ini dimulai sekitar tahun 1930an, dan hasilnya cukup signifikan terhadap kelainan jiwa yang membandel. (Gustaf Kusno, Kompasiana).
Narkoba Sebagai Ancaman Potensial Bangsa
Pada tanggal 1 Januari 2013, penulis membuat artikel dengan judul "Mewaspadai 2013, Narkoba, Korupsi dan Terorisme Hybrid" (http://ramalanintelijen.net/?p=6208), yang menempatkan narkoba telah menjadi ancaman sangat serius terhadap bangsa Indonesia. Menurut data, Polri selama tahun 2012 menangani 26.561 kasus narkoba dan telah terselesaikan 22.822 kasus atau 81 persen. Berdasarkan data Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Departemen Luar Negeri AS, jumlah transaksi yang dihasilkan dari peredaran narkoba di Indonesia sangat fantastis, yakni mencapai Rp300 triliun per tahun.
Penulis juga membuat artikel dengan judul, "Banyak Wanita Indonesia Divonis Mati di LN Akibat Narkoba," (http://ramalanintelijen.net/?p=4705). WNI yang ditahan di luar negeri karena terlibat dalam jaringan sindikat narkoba internasional berjumlah 501 orang. Jelas ini sangat memprihatinkan kita semua, membayangkan para wanita itu menjalani hukuman mati. Dari 284 WNI tersebut, paling banyak ditangkap di Cina dan Malaysia. Sebanyak 271 orang divonis mati di Malaysia dan 13 orang di Cina.
Kemudian, pada sambutan kenegaraan 17 Agustus 2013, Presiden SBY menyampaikan, bahwa prioritas dan agenda utama bangsa Indonesia diantaranya pencegahan dan pemberantasan korupsi, pencegahan dan penanggulangan terorisme dan berbagai kejahatan trans-nasional, serta upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan penyelamatan lingkungan dan peredaran gelap narkoba.
Berarti narkoba sudah menjadi agenda utama pemerintah, tetapi disayangkan pada era pemerintahan terdahulu langkah shock theraphy berupa eksekusi mati tidak dilaksanakan dengan tegas. Bahkan ada yang diputus dihukum mati, selama puluhan tahun tidak juga di eksekusi. Grasi atas hukuman mati bandar narkoba juga sempat diberikan, peristiwa ramai juga diberitakan dengan pemberian grasi terhadap WN Australia Corby. Baca, "Antara Kontroversi si Ratu Marijuana Corby dan Kebutuhan Diplomasi", http://ramalanintelijen.net/?p=5425.
Nah, langkah berani Presiden Jokowi kini yang merupakan sikap tegas, shock theraphy apakah akan terus berjalan lancar? Penulis menilai, pemerintah akan menghadapi dua lawan pada dua medan yang berbeda. Pertama adalah organisasi pedagang/jaringan narkoba yang akan menjaga arus ke dan melalui wilayah Indonesia terus berjalan. Caranya dengan semakin rapih dalam melakukan aksinya, mereka melakukan counter terhadap penjejakan BNN dan aparat keamanan dan terkait lainnya di Indonesia . Yang perlu diwaspadai, mereka akan berusaha memengaruhi keputusan pengadilan, karena disitulah pokok atau sumber yang menakutkan para kurirnya. Apabila pengadilan tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap penyelundup, maka bisnis haram itu akan tetap diminati para kurir dan ongkos angkutnya tidak naik.
Lawan kedua adalah tekanan dari beberapa negara yang warganya tertangkap dan diputus akan dieksekusi mati di Indonesia. Bisa dibayangkan, Indonesia akan pusing menghadapi semakin banyaknya negara yang menekan Indonesia agar membatalkan hukuman mati. Australia terlihat sangat gencar menekan Indonesia dengan segala cara, membabi buta, tega menyebut bantuan saat Tasunami di Aceh, mencoba barter tahanan narkoba, bahkan memengaruhi PBB. Presiden Jokowi bisa diacungi jempol tetap bergeming, menolak semua usul Abbott itu.
Brasil bahkan nekat mengorbankan hubungan diplomatik dengan menunda penyerahan surat kepercayaan dari Dubes RI. Sedangkan dilain sisi TNI membeli pesawat tempur taktis Super Tucano serta roket ASTROS II MK6 buatan AVIBRAS Brasil. Disinilah peran diplomasi yang harus kuat, bagaimana caranya menjelaskan negara lain, ya itulah tugas diplomat kita. Diplomasi Indonesia bisa dinilai agak gagal dengan berisiknya peristiwa Chan dan Sukumaran.
Organisasi Pemasok Utama Narkoba ke Indonesia
Dalam seminar kebijakan narkoba di Jakarta, Kamis (18/12/2014), Direktur Intelijen Badan Narkotika Nasional (BNN), Kombes Pol I Made Astawa, mengatakan ada empat jaringan narkoba internasional yang saat ini menjadi pemasok utama narkoba ke Indonesia. "Jaringan ini menggunakan berbagai macam modus yang berbeda untuk mengedarkan narkoba di dalam negeri," katanya.
Pertama, Jaringan West Africa yang dikendalikan dari Nigeria. Mereka membagikan masing-masing paket berisi 3-5 kilogram sabu kepada sepuluh orang. "Jadi, begitu tertangkap satu orang, kerugian mereka tidak terlalu besar, karena masih ada sembilan orang lainnya yang memegang puluhan kilogram sabu," ujar Made. Jaringan tersebut mendapatkan sabu dari pabrik di India.
Kedua, Sindikat Iran, yang kebanyakan mengedarkan natkoba jenis methamphetamine yang juga diproduksi di Iran. "Mereka lebih berani mengambil risiko. Setiap kali mendistribusikan dalam jumlah besar," kata Made. Ketiga, Jaringan narkoba Cina dan Taiwan. Jaringan ini mendistribusikan prekursor atau bahan baku sabu. "Pusat pabrik mereka ada di Guangzhou."
Keempat, Sindikat Malaysia yang berafiliasi dengan bandar di Aceh. "Malaysia menjadi tempat transit dari negara produksi seperti Amerika Latin. Selanjutnya didistribusikan lewat Aceh," katanya. Malaysia sendiri menurut Made, menjadi basis pabrik narkoba jenis Happy Five. Karena itu menurutnya, di Aceh dan Medan gampang sekali mendapatkan sabu atau narkoba jenis itu. "Dari Aceh ini kemudian disebarkan ke Jakarta dan kota-kota lain," tegasnya.
Kemungkinan Kegagalan Shock Theraphy Counter Narkoba
Apakah shock theraphy penyelundupan narkoba bisa digagalkan? Jelas apabila tidak diwaspadai dengan cermat, kebijakan Presiden Jokowi akan mengalami kegagalan.
Menurut Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN), Antar MT Sianturi, kini terdapat 58 terpidana mati kasus narkoba yang menunggu dieksekusi. Eksekusi akan dilakukan setelah Presiden Jokowi memutuskan tidak akan memberikan grasi kepada para terpidana tersebut. "Total terpidana ada 64 orang, setelah enam (18/1/2015) sudah dieksekusi, kini tinggal 58 orang di dalam daftar tunggu," katanya. Tahap selanjutnya (gelombang kedua) yang akan dieksekusi 10 terpidana dari total 58 orang. Sianturi mengatakan, di antara ke-58 terpidana mati itu ada yang menunggu eksekusi sejak 1999. Hal tersebut terjadi karena pemerintahan saat itu belum tegas mengenai hukuman mati.
Nah, apabila ke 58 terpidana itu ditembak mati, apakah lantas para bandar dan jaringan akan jera? Apabila pengadilan tetap tegas dan sesuai UU yang berlaku, keras menjatuhkan hukuman mati, eksekusi tidak ditunda-tunda, kemungkinan para penyelundup itu akan berfikir ulang mau bertindak sebagai kurir atau berdagang di Indonesia. Paling tidak ongkos kurir akan meningkat karena ancaman mati itu.
Nah, kini terjadi kasus yang menarik dan berpotensi menggagalkan upaya shock theraphy tersebut. Kita akan heran dan terkejut, dimana pengadilan Negeri (PN) Cibinong menolak menghukum mati 2 gembong narkoba yaitu WN Malaysia Teng Huang Hui dan WNI Hermanto dengan dalih yang mengatur hidup-mati seseorang hanyalah Tuhan. Kapuspenkum Kejagung, Tony T Spontana di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (27/1/2015) menegaskan jaksa mengajukan banding, menegaskan bahwa jaksa tetap akan bersikukuh pada tuntutannya yaitu hukuman mati bagi kedua bos narkoba itu. Jaksa akan melawan argumentasi hakim yang menjatuhkan putusan hukuman seumur hidup dengan alasan kemanusiaan.
Teng dan Hermanto ditangkap aparat pada 29 April 2014 di rumah mereka di Taman Puncak Mas, Bukit Golf, Babakan Madang, Bogor. Keduanya mengaku menyimpan sabu di sebuah hotel di Mangga Dua, Jakarta dan polisi menemukan narkoba jenis sabu seberat 3,2 kg dalam sebuah tas hitam yang disimpan di kamar. Keduanya lalu disidangkan dan dituntut mati. Namun dengan dalih agama, PN Cibinong pada Rabu (21/1) lalu enggan menghukum mati keduanya. Menurut majelis hakim tidak ada yang berhak menentukan hidup dan mati seseorang selain Tuhan YME. "Dan setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berubah," bunyi pertimbangan hakim.
Keputusan hakim PN Cibinong itu bisa memengaruhi pengadilan lainnya. Persoalannya, apakah keputusan itu murni pemikirannya atau ada sumber pangaruh lainnya? Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang sekarang ditahan KPK saja pernah terkontaminasi saat memimpin sidang Pilkada. Oleh karena Menkum HAM mestinya menyelidiki seberapa jauh masalah tersebut. Kalimat setiap orang bisa berubah adalah mirip dengan yang disampaikan oleh PM Australia, Tony Abbott, dimana terpidana mati WN Australia Chan dan Sukumaran selama sepuluh tahun sudah sadar, jadi orang baik katanya. Apakah demikian? Atau bisa saja terjadi infiltrasi dari sindikat? Melawan jaringan narkoba jelas berat, dana mereka sangat besar, puluhan milyar bahkan triliunan.
Nah, pada intinya, strategi yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan palagan tempur itu bukan pada hilir (saat akan di eksekusi), tetapi mereka akan menggeser ke palagan hulu (sebelum pengadilan), bahkan kalau memungkinkan saat terjadinya penangkapan. Dengan demikian maka bisa saja terjadi di Indonesia tidak akan ada lagi keputusan hukuman mati terhadap bandar narkoba. Hakim itu adalah pegawai di bawah Menkum HAM, digajih oleh negara. Jadi siapa yang tanggung jawab, kan begitu pertanyaannya.
Pak Jokowi mestinya mewaspadai upaya pelemahan tiga medan tempurnya, yaitu pemberantasan korupsi, penanganan darurat narkoba, dan ancaman terorisme (penulis akan menyusun ulasan khusus ancaman ISIS).
Demikian sebuah ulasan kemungkinan kegagalan shock theraphy pemerintah. Apabila prediksi ini benar, maka gelombang masuknya narkoba ke Indonesia bukan berkurang tapi justru akan bertambah besar. Sudah bukan darurat narkoba lagi, tetapi Indonesia lemah dan lumpuh karena narkoba, apakah begitu? Setelah muncul upaya pelemahan pemberantasan korupsi, kini muncul upaya pelemahan penghukuman kasus narkoba, nah, kita tinggal menunggu, apakah teroris kemudian akan ngamuk disini? Lengkaplah sudah.
Yang diperlukan pemerintah adalah penguatan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan vonis. Semoga Pak Jokowi membaca ini, dahulu Pak SBY membaca artikel penulis pada awal 2013. Barangkali?
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net