Bentrok Anggota TNI-Polri Bukan Hanya Didamaikan Tapi Dicari Akar Masalahnya
21 November 2014 | 3:09 pm | Dilihat : 899
Ilustrasi Bentrok TNI vs Polri, Mapolres OKU Dibakar (Foto: lensaindonesia.com)
Kembali terjadi bentrok antara anggota TNI dengan Polri, mewarnai awal dari era kepemimpinan Presiden Jokowi. Kali ini bentrok yang terjadi di Batam sejak Rabu (19/11) hingga Kamis (20/11) dini hari, antara anggota Yonif 134/Tuah Sakti dengan anggota Brimob dan mengakibatkan satu anggota TNI, Praka Jack Marpaung tewas tertembak dan seorang warga masayarakat mengalami luka tembak.
Bentrok dari dua kesatuan aparat pertahanan dan keamanan itu jelas membuat presiden khawatir dan prihatin, karena mereka menggunakan senjata api dengan peluru tajam. Disebutkan oleh Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (20/11), bahwa presiden terus memantau hingga pukul 01.30 dini hari. Presiden Jokowi memerintahkan pimpinan Polri dan TNI untuk turun mendamaikan dan memberi sanksi bagi para pelaku.
Apapun alasannya dan arah tembakan, terbukti dalam bentrok ini telah jatuh korban tewas dari anggota batalyon tempur TNI AD saat mereka mendatangi markas Brimob, ini yang memprihatinkan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Laksamana TNI (Pur) Tedjo Edhy Purdijatno, penyerbuan Markas Brimob Batam merupakan dendam lama. Bentrokan dipicu karena saling pandang antar-anggota di Pom bensin. "Kejadian di Batam ini adalah ada sengketa dari penanganan yang lalu, kasus bulan September," kata Tedjo di Kompleks Istana, Kamis (20/11)
Kapolri dan Kasad segera menuju ke TKP Batam dalam rangka mengecek kejadian, mengklarifikasi, menenteramkan dan mendamaikan hati yang panas. Penulis tidak membahas latar belakang terjadinya bentrok, karena perlu menunggu rilis dari tim investigasi yang dibentuk. Berita yang berkembang di media sangat perlu disaring, karena penyebab kasus tidak cukup dari informasi yang berkembang, tetapi informasi yang sudah berupa intelijen dari hasil pemerikssaan saksi dan interogasi mereka yang terlibat.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa masih saja terjadi bentrok antara anggota TNI dengan Polri? Penulis mencoba mengaitkan dengan pengalaman saat masih bertugas sebagai Kepala Dinas Pengamanan dan Sandi TNI-AU (Kadispamsanau) selama tiga tahun pada tahun 90-an. Salah satu tugas yang diemban adalah melakukan pengamanan personil, dimana satuan yang penulis pimpin melakukan penyelidikan, interogasi, penelitian serta memberikan saran tindakan kepada pimpinan TNI AU terhadap setiap kasus pelanggaran disiplin tentara, dan juga bentrok yang terjadi sebelum menyerahkannya kepada POM-AU.
Dalam kasus bentrok seperti yang terjadi di Batam, itu bukan kejadian pertama, sebelumnya ada anggota TNI yang terkena tembakan tidak hanya di Batam, juga di Papua misalnya. Penggunaan senjata api untuk saling menyerang kedua belah pihak baik TNI maupun Polri jelas merupakan pelanggaran yang sangat berat, ini jelas difahami para anggota tersebut, lantas mengapa mereka masih 'menenteng' senjata kalau ribut? Jelas ini terkait dengan emosi, serta rasa esprit de corps yang mereka benarkan dan mereka manipulasikan.
Emosi dan Esprit de Corps
Apabila diteliti, dalam beberapa kasus bentrok, yang terlibat adalah para anggota dengan pangkat rendah (tingkat Prajurit dan Brigadir). Mereka umumnya masih muda-muda dan setelah lulus SMA, masuk pendidikan selama beberapa bulan, dilatih dan digembleng bersama, diajari cara menggunakan senjata, dilatih bertempur (bagi TNI) dan penanganan masalah pelanggaran hukum (bagi Polri).
Dari pengamatan penulis saat bertugas, nampak dari beberapa pendidikan (obyek penelitian di Kodik TNI AU), bahwa bagi mereka yang nanti dalam penugasannya dipercaya selalu memegang senjata api harus diberikan stressing yang lebih dibandingkan mereka yang penugasannya dari segi tehnis lainnya. Bagi anggota yang dijuruskan menjadi anggota Polisi Militer, pasukan, intelijen perlu diberikan kurikulum khusus. Pertanyaannya mengapa? Para prajurit tersebut berasal dari lulusan SMA, terlepas dimanapun mereka berada. Bagi mereka yang berasal dari kota-kota besar khususnya, mereka dalam beberapa tahun di SMA, bahkan SMP sering terlibat dalam 'tawuran.'
Mereka-mereka itu yang harus diawasi dengan ketat, agar virus tawuran dalam benaknya yang selama ini bebas merdeka, tidak ada yang ditakuti, kemudian bisa menjadi lebih "jago" karena dipegangi senjata. Dari pengalaman interogasi, penulis menjumpai bahwa virus kebandelan anak-anak ini sangat sulit dihilangkan. Oleh karena itu penulis saat itu benar-benar tidak ada kompromi dalam mengawasi dan mengarahkan mereka setelah masuk ke satuan kerja. Kordinasi dengan komandan satuan terus dilakukan, sekali terjadi pelanggaran disiplin berat, maka komandan (secara berjenjang) termasuk yang akan diberikan sangsi.
Penulis selalu mengingatkan para komandan satuan, sekali mereka kurang perhatian dan kurang disiplin mengawasi anak buahnya, maka satuan tersebut akan menjadi gerombolan bersenjata resmi (berpakaian dinas dengan mental gerombolan). Kejadian insubordinasi telah terjadi saat konflik di Batam, menurut para pejabat, gudang senjata mereka bongkar dan senjata dibawa serta dipergunakan untuk berkonflik.
Hal lain yang juga penulis perhatikan adalah masalah Esprit de Corps di kalangan anggota. Pengertian esprit de corps bisa diartikan sebagai, "Rasa persatuan dan kepentingan serta tanggung jawab bersama yang dikembangkan di antara sekelompok orang yang terkait erat dalam tugas." Ada juga mengartikan sebagai persahabatan, ikatan, dan solidaritas. Ditinjau sebagai kata benda, bisa diartikan sebagai kesadaran dan kebanggaan yang merupakan milik kelompok tertentu, memiliki rasa dengan tujuan bersama dan persekutuan.
Menurut Collins English Dictionary, Esprit de Corps adalah perasaan persahabatan di antara anggota kelompok atau organisasi. Sebagai contoh terbentuknya esprit de corps misalnya, "Dengan berkemah bersama selama satu minggu saja, sekelompok orang akan sudah terikat oleh esprit de corps yang kuat."
Nah, bagi para anggota pasukan militer yang digembleng bersama di sebuah lembaga pendidikan dasar, pada umumnya dilatih untuk selalu bekerja sama karena mereka dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang pilihannya adalah antara hidup dan mati. Pendidikan dasar pada umumnya keras dan tegas dengan norma-norma serta budaya khusus, dimaksudkan untuk merubah mentalitas seorang sipil menjadi militer dengan disiplin yang tegas dan jelas. Sebagai contoh dalam sumpah prajurit ke tiga disebutkan "Bahwa saya akan tunduk kepada atasan tanpa membantah perintah atau putusan."
Anggota militer (TNI) dibentuk dengan dasar Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan Wajib TNI. Karena itu anggota militer sebenarnya dikunci sikap, perilaku dan mentalitasnya dengan aturan-aturan yang sudah baku. Mereka bisa terkena Peraturan Disiplin Tentara, Hukum Disiplin Militer. Oleh karena itu dengan dasar yang sudah kuat serta aturan baku, diharapkan Indonesia mempunyai anggota militer yang kerkualitas serta menjadi contoh dan tauladan yang baik. Demikian juga dengan para anggota Polri dikalangan yang berpangkat Brigadir misalnya, mereka dipersiapkan sebagai abdi hukum yang taat dalam melakukan tugasnya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nah, pertanyaannya, mengapa dengan aturan yang jelas, penggemblengan yang keras, setelah para anggota itu bertugas, mereka ada yang masih terlibat dalam bentrokan. Bentrok sebenarnya tidak jauh-jauh dengan pengertian tawuran, bedanya kalau dahulu hanya menggunakan batu, gir sepeda serta rantai, kini mereka bisa secara tidak resmi membawa senjata api. Rasa percaya diri jelas semakin tinggi. Dengan ditambah esprit de corps serta emosi muda dan pengalaman tawuran, maka lengkaplah seseorang anggota militer ataupun Polri di kelompok tamtama itu menjadi alat pembuat kericuhan.
Apakah hanya itu penyebabnya? Jelas tidak. Seperti keterangan yang diberikan Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya, saat konflik pertama anggota Yon 134 dengan anggota Polri berawal di lokasi penimbunan BBM ilegal. Dikatakan beberapa anggota TNI itu tidak tahu bahwa itu tempat penampungan BBM ilegal. Mereka tahunya hanya diminta sebagai tenaga pengamanan. Karena itu saat digerebeg pada bulan September 2014, terjadi keributan diantara mereka dan mengakibatkan 4 anggota TNI AD tertembak.
Demikian juga misalnya dengan kasus anggota Brimob dengan TNI AD di Wamena, keributan berawal dari penyetopan anggota TNI yang membawa kayu dan semuanya berakhir setelah seorang perwira pertama (Komandan Pos) mengalami luka tembak di paha.
Nah, banyak kisah tentang keributan anggota TNI dengan Polri yang berawal dari rasa cemburu, upaya hukum dari Polri yang akhirnya menyentuh anggota TNI. Dibelakangnya adalah masalah pendapatan ekstra belaka. Disini yang berbicara masalah kesejahteraan, jaman dan harga-harga semakin sulit dan tinggi. Gajih para anggota TNI kelompok Tamtama yang hanya sekitar Rp.1.330.000/bulan dapat dikatakan tidak mencukupi. Disinilah kemudian muncul kecemburuan sosial terhadap anggota Polri yang mereka lihat lebih banyak memiliki peluang.
Anggota militer setiap hari hanya berlatih dan hidup di dalam kestarian atau markas, berbeda dengan anggota Polri yang banyak bertugas di lapangan, bersentuhan dengan masyarakat. Jelas kejenuhan anggota TNI dengan penghasilan yang dinilai kurang, bisa menimbulkan pemikiran upaya mencari tambahan. Pada tahun 2001 saat penulis mendampingi Menhan meninjau salah satu kesatuan di daerah Cilodong, pimpinan TNI AD menyatakan bahwa jangan kaget kalau diluar jam kerja ada anggota yang menjadi tukang ojek.
Jadi masalah bentrokan sebaiknya dapat dilihat lebih komprehensif, karena berbagai macam sebab seperti yang penulis sampaikan diatas. Jadi bagaimana kesimpulannya? Pimpinan satuan sebaiknya memahami dan meluruskan pengertian esprit de corps dikalangan anggotanya. Selain itu masing-masing komandan sebaiknya mengetahui siapa anggotanya itu, siapa yang mempunyai sejarah kelam dan tukang bikin ribut. Penulis percaya ada jeger-jeger yang dahulu jagoan sewaktu SMA dan setelah menjadi anggota TNI/Polri tetap saja sifat dan karakter jegernya muncul. Dia pada umumnya mereka mampu memprovokasi anggota lainnya.
Tetapi yang terpenting dari semuanya itu, baik pimpinan TNI maupun Polri penulis pandang perlu kembali meninjau kurikulum pendidikan dasar prajurit. Indikasi pemahaman kerasnya kehidupan militer dan polisi tetapi tetap dengan budi pekerti yang baik sebaiknya mulai diterapkan di pendidikan dasar saat mentalitas sipil si calon mulai dirubah menjadi sikap mental TNI dan Polri. Mereka harus mampu membedakan mana yang musuh dan mana yang bukan, serta diberi pelajaran bagaimana mengambil sebuah keputusan. Pelatihan keputusan yang dibuat dengan pemikiran, dan bukan dengan emosi serta manipulasi esprit de corps.
Penulis kira inilah sebagian wawasan sederhana yang perlu disampaikan, memang kehidupan prajurit itu keras dan pemberontakan bisa muncul sewaktu-waktu, oleh karena itu si Komandan satuan jelas harus lebih lihai dan dewasa sebagai pemimpin yang diandalkan. Perlu segera dilakukan penilaian kasus, tidak cukup hanya didamaikan, saling bertemu gendong dan berpelukan. Akar masalah harus dilakukan, intinya berada pada masing-masing institusi. Sebagai penutup, jelas pemerintah sebaiknya memikirkan peningkatan kesejahteraan prajurit. Semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net