Rekonsiliasi Nasional Pemerintahan Baru
11 August 2014 | 4:42 pm | Dilihat : 658
[google-translator]
Ilustrasi Rekonsiliasi (foto : kppnjakarta7.net)
Semakin mapannya sistem demokrasi di Indonesia dibuktikan dengan telah dilaksanakannya pemilihan umum dan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden 2014 yang berjalan dengan aman dan lancar.Walaupun masyarakat nampak terbelah, terdapat gesekan-gesekan kecil, disertai membludaknya black campaign, tetapi dipandang masih dalam batas wajar. Tidak terjadi konflik horizontal yang dikhawatirkan, nampaknya persiapan pemerintah dalam bidang keamanan sangat mantap.
Setelah penetapan dan pengumuman hasil pemilu presiden 2014 secara nasional (21 s/d 22 Juli 2014) dengan hasil pasangan capres dan cawapres Jokowi-JK dinyatakan unggul (53,15%) dari pasangan capres dan cawapres Prabowo-Hatta Rajasa (46,85%). Sesuai Undang-Undang, maka pasangan yang kalah dapat melakukan tuntutan melalui Mahkamah Konstitusi. Jadwal dari perselisihan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden di MK ditentukan jadwalnya sebagai berikut;
-Tanggal 23 s/d 25 Juli 2014 Pengajuan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi
-Tanggal 4 s/d 21 Agust 2014 Penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi
-Tanggal 22 s/d 24 Agust 2014 Penetapan hasil Pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
- Tanggal 20 Okt 2014 Pelantikan dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden terpilih dan pemberitahuan kepada para pihak MPR.
Pendapat Ahli Hukum Soal Sidang di MK
Sidang perdana sengketa pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2014 mulai digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 6 Agustus 2014. Menurut pandangan ahli hukum tata negara, Refly Harun, dalam berkas gugatan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, tudingan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif tak muncul dalam sidang perdana. "Mobilisasi yang mereka ungkapkan tak jelas," kata Refly, Rabu, 6 Agustus 2014. Dia tidak yakin kubu Prabowo bisa membuktikan tudingan tersebut. Refly juga menilai banyaknya kesalahan teknis penulisan dan redaksional menunjukkan para penggugat tak profesional menyusun gugatan.
Sementara, Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, menyatakan tak ada sinkronisasi antara tuntutan pokok (petitum) dan uraian (posita) dalam berkas permohonan. "Kami menemukan dalam bagian posita begitu meluas tapi petitumnya tak mencakup semua," kata Hamdan.
Dilain sisi, Prof Mahfud MD yang menyatakan sudah tidak lagi menjabat sebagai ketua tim pemenangan pasangan Prabowo-Hatta menyatakan di media elektronik, bahwa satu-satunya kesempatan pasangan Prabowo-Hatta bisa menang di MK adalah dengan membuktikan adanya bukti kecurangan terhadap pasangannya dan harus mampu membuktikan sebanyak 8,4 juta pemilih. Tetapi menurut Mahfud akan sangat sulit, mengingat dari pengalamannya sebagai Ketua MK, untuk membuktikan kecurangan 100 ribu orang saja sudah sulit.
Menurut penulis penggugat memang akan sangat sulit untuk membuktikan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kalau memang hal tersebut terjadi, maka kecurangan hanya dapat dilakukan di KPU atau bekerjasama dengan KPU. Sebuah kecurangan apabila dilakukan dengan terstruktur, sistematis dan masif pasti dilakukan melalui sebuah perencanaan yang sangat tertutup, matang dan dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidang IT dan manajemen pemilu.
Apakah kubu Prabowo dalam hal ini mencium adanya operasi clandestine saat pemilu? Jelas membuktikannya akan sangat sulit, operasi ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang faham dan ahli dalam kegiatan tertutup dengan sistem pengamanannya yang sangat ketat sehingga sulit di infiltrasi. Terlebih menurut Mahfud harus mengumpulkan bukti 8,4 juta pemilih. Mungkin pendapat ahli hukum tata negara Refly Harus benar, pemohon akan menjumpai kesulitan. Dari pengalaman penulis, menghadapi operasi tertutup seperti menghadapi tempok yang tersamar, ada dan tiada tetapi sangat keras.
Apakah dengan demikian tuntutan kubu Prabowo-Hatta akan kalah? Belum tentu juga. Dalam sebuah sidang pengadilan, menurut Mahfud sebagai mantan Ketua MK, kejutan bisa saja terjadi di sidang Mahkamah Konstitusi. Sidang di MK kali ini merupakan sidang yang sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk menentukan pimpinan nasional, karena itu terus mendapat perhatian dari masyarakat dan media.
Kubu Jokowi-JK yang unggul dan ditetapkan KPU sebagai pasangan capres dan cawapres yang menang dalam pilpres, kini mempunyai harapan yang lebih besar untuk dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Kita akan menunggu tanggal 22 Agustus 2014 sebagai batas akhir MK untuk memutuskan perselisihan tersebut.
Kekuatan Politis Kubu Merah Putih di DPR
Bagaimana apabila pasangan Capres Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang nantinya dilantik? Jelas elit politik (terutama PDIP) dan tim pemerintahan transisi sudah memikirkan kondisi pemerintah yang akan dibentuk sebaiknya didukung oleh kekuatan parpol di DPR. Apabila hanya di dukung parpol dalam koalisi kerakyatan saja, maka pemerintah akan menjumpai banyak masalah pastinya. Kursi DPR kubu Merah putih (Prabowo-Hatta) adalah 358 dari total 560 kursi (63,54 persen), sementara jumlah kursi kubu koalisi kerakyatan (Jokowi-JK) adalah 202 dari 560 kursi (36,46 persen). Dominasi kubuPrabowo-Hatta nampak sangat kuat saat ini di parlemen.
Bagaimana strategi kubu koalisi kerakyatan? Jelas mereka tidak bisa berdiam diri saja, PDIP sebagai pimpinan koalisi harus berusaha menarik parpol yang kini tergabung dalam koalisi merah putih untuk memperkuat koalisi di DPR. Dalam politik, merupakan hal biasa perpindahan elit ataupun parpol. Sebagai contoh, elit Partai Golkar Agung Laksono dan Agus Gumiwang misalnya, saat pilpres mendukung pasangan Jokowi-JK, sedang Golkar dibawah ARB mendukung kubu Prabowo.
Dari perkembangan situasi politik, nampaknya batas waktu adanya pergeseran parpol koalisi menunggu pengumuman keputusan sidang MK paling lambat tanggal 22 Agustus 2014.
Dari perkembangan politik beberapa waktu terakhir, DPR periode tahun 2014-2019 diprediksi akan lebih politis, hal tersebut menyusul disahkannya Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014. Inilah bukti bahwa koalisi merah putih sementara ini membuktikan mampu menguasai panggung DPR, sehingga UU MD3 berhasil disahkan. Tiga fraksi di DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), memutuskan walk out setelah muncul perubahan pasal 82 terkait mekanisme pimpinan DPR yang dinilai sebagai pasal siluman.
Kubu koalisi Prabowo-Hatta yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PPP, PKS dan Partai Demokrat berada dalam satu kubu yang mendukung alternatif kedua dan ketiga pada pasal 84 RUU MD3. Melalui proses voting dalam sidang paripurna DPR, Selasa (8/7/2014), kursi ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi serta merta diserahkan kepada partai pemenang pemilihan umum legislatif.
Pasal itu menetapkan calon ketua DPR dan keempat wakilnya harus diajukan gabungan fraksi dan dipilih anggota DPR masa bakti 2014-2019 dalam sidang paripurna. Inilah bukti kekuatan kubu merah putih di DPR yang apabila tidak ditanggulangi akan merupakan hambatan bagi pemerintah yang di dukung kubu koalisi kerakyatan.
Diketahui, selain PDI-P sejumlah lembaga seperti DPD dan KPK yang berkepentingan dalam UU MD3 juga menolak sejumlah ketentuan di dalamnya. KPK menilai, Pasal 220 UU MD3 membatasi ruang hukum karena mengatur ketentuan pemeriksaan anggota DPR harus atas izin presiden. Dalam UU MD3 juga tidak diatur larangan anggota DPR menerima gratifikasi. Sedangkan DPD merasa keberatan karena dalam pembahasannya tidak dilibatkan secara intens. Artinya, UU MD3 dibahas secara tidak transparan dan tidak melibatkan pihak-pihak terkait di parlemen.
Menurutnya, UU MD3 tersebut bukan sembarang UU karena bisa disebut jantung parlemen Indonesia baik pusat maupun daerah."Kami melihat proses lahirnya UU ini kurang transparan, diksriminatif dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri," ujar Irman di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Rabu (23/7/2014).
PDI Perjuangan (PDI-P) secara resmi mendaftarkan gugatan uji materi Undang-Undang (UU) MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). PDI-P memperkarakan Pasal 84 Ayat (1) UU MD3 yang mengatur kursi Ketua DPR serta empat wakilnya dipilih secara voting oleh anggota. Artinya, partai politik (parpol) pemenang pileg tidak otomatis mendapat kursi pemimpin.
Khusus untuk pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR. Pimpinan MPR yang berasal dari DPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Prediksi Koalisi Pasca Putusan MK
PDI Perjuangan meyakini pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2014-2019, maka Koalisi Merah Putih (KMP) akan pecah dengan sendirinya dan sebagian besar anggotanya akan berbalik arah untuk bergabung ke Koalisi Kerakyatan yang mengusung pasangan Jokowi-JK . PDI-P mulai mencium dan mengincar parpol pada kubu merah putih diantaranya Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat dan PPP bisa berpindah kamar. Dua parpol yang kemungkinannya tidak akan bergeser adalah Partai Gerindra dan PKS.
Posisi parpol yang mungkin bergeser :
Partai Golkar. Golkar merupakan parpol yang belum pernah berada di kedudukan oposisi. Karena itu, walaupun kini nampaknya Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (ARB) akan tetap bersikukuh di posisi koalisi merah putih, di internal sudah mulai menunjukkan gejala-gejala akan mengganti ketua umumnya.
Wakil Ketua Umum Partai Golongan Karya Agung Laksono menyatakan posisi politik partainya dalam Koalisi Merah Putih akan ditentukan ketua umum yang baru. Sosok ketua umum baru ini juga dapat mengubah haluan berkoalisi dengan pemerintah. "Selama ini Ical (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie) arahnya Koalisi Merah Putih. Tapi itu bisa berubah kalau pemimpinnya berubah," kata Agung di Istana Negara, Senin, 28 Juli 2014.
Agung mengklaim partai beringin tetap kritis dan demokratis dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Sikap ini menempatkan Golkar untuk lebih nyaman di dalam pemerintahan tapi tetap kritis terhadap seluruh kebijakan. Agung menyatakan Golkar seharusnya menggelar musyawarah nasional pada Oktober 2014. Munas ini akan lahir setelah dilakukan rapat pimpinan nasional yang mengevaluasi hasil pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. "Tak perlu munas luar biasa, cukup munas biasa saja. Sesuai dengan aturan, seharusnya Oktober sudah munas." Saat itulah akan dilakukan pemilihan ketua umum baru.
Menurut elit Golkar, Indra Piliang, "Jika coba dipetakan, dari garis yang terdekat dengan JK (Jusuf Kalla) adalah Agung Laksono. Baru setelah itu ada Agus Gumiwang. Di tengah-tengah ada M.S. Hidayat. Mulai ke kanan ada Airlangga Hartarto, dan paling kanan Bang Ical itu ada Mahyuddin," katanya (7/8/2014). Di atas posisi M.S. Hidayat dalam pemetaan tersebut, ada nama Akbar Tandjung. "Jadi ini bisa dibilang ada pertarungan segitiga antara dua mantan ketua umum dan satu ketua umum yang masih menjabat," katanya.
Nampaknya yang terkuat bisa menjadi Ketua Umum Golkar menurut penulis adalah Agusng Laksono, karena kedekatannya dengan cawapres Jusuf Kalla. Para elit Golkar nampaknya merasa lebih nyaman dengan konsep Agung. Sementara MS Hidayat jelas lebih dekat dan akan di dukung pemerintah. Dengan demikian, besar kemungkinan Golkar akan berubah haluan menjadi bagian dari koalisi parpol pendukung pemerintah, dengan syarat Agung Laksono berhasil menjadi ketua umum.
Partai Amanat Nasional dan PPP. Dalam perkembangan politik selama pilpres, di tubuh masing-masing parpol pada koalisi merah putih terdapat elit yang berbeda pendapat dan membentuk faksi. Pada PPP misalnya, ada faksi Suharso Monoarfa yang condong Jokowi. Dengan kemenangan pasangan Jokowi-JK, otomatis faksi ini akan semakin kuat posisinya dalam menentukan masa depanPPP. Cepat atau lambat dengan semakin menurunnya dan dinyatakan terlibat masalah oleh KPK,pengaruh ketua umum PPP Suryadarma Ali semakin menurun. Besar kemungkinan PPP akan berpindah hati.
Pada PAN, masih terdapat jaringan mantan ketua umum, Soetrisno Bachir dan juga ada faksi-faksi yang mendukung Jokowi. Memang kini Ketua Umum PAN Hatta Rajasa masih menjadi cawapres dari Prabowo, akan tetapi bisa saja terjadi Hatta akan ditarik ke kubu Jokowi, karena dialah yang paling luwes dalam dunia perpolitikan. Hubungan Hatta Rajasa dengan Ratu Banteng Megawati diketahui sangat baik.
Partai Demokrat. Posisi Partai Demokrat paling terunik, dimana tidak secara eksplisit pernyataan koalisi ke kubu merah putih tidak pernah dinyatakan secara terbuka oleh Pak SBY sebagai ketua umumnya. Tetapi para elit Demokrat selama ini sangat jelas mendukung Prabowo. Nah, setelah tanggal 22 Agustus 2014 apakah Demokrat akan bergabung ke PDIP? Apabila melihat kondisi psikologis hubungan antara Ibu Mega dengan Pak SBY, nampaknya penulis tidak terlalu yakin Demokrat dan PDI-P akan bersatu.
Nampaknya seperti yang dikatakan pengamat politik Universitas Tarumanegara, Jakarta, Eko Harry Susanto (8/8/2014), mungkin Partai Demokrat akan lebih memilih jalan moderat. Dengan dalih mendukung kebijakan yang pro rakyat bisa saja dalam bentuk koalisi semu yang tidak dilembagakan. Merupakan jalan penting bagi Demokrat, untuk kembali menarik simpati rakyat. Bahkan dalam posisi netral dan berpihak kepada rakyat, Partai Demokrat bisa semakin mengkokohkan posisi SBY sebagai orang kuat dalam peta politik Indonesia.
Kesimpulannya, Demokrat akan mendukung kebijakan pemerintah tetapi tidak menyatakan secara langsung. Beberapa isu yang kini beredar, terdengar Jokowi-JK akan mendukung Pak SBY menjadi salah satu calon Sekjen PBB yang akan melakukan pemilihan pada tahun 2016. Tetapi beberapa teman yang berada di inner circle menyatakan kemungkinannya tidak karena Sekjen PBB sudah dipilih. Sebenarnya kita bangga apabila SBY memang bisa menjadi Sekjen PBB, sebuah jabatan yang sangat prestisius.
Peta Kekuatan Bila Rekonsiliasi
Dari pembahasan beberapa fakta diatas, terlihat bahwa pada posisi saat ini kubu pada koalisi Prabowo (merah Putih) masih mendominasi DPR RI. Kursi DPR kubu Merah putih memiliki 358 kursi (Gerindra 73, PKS 40, Golkar 91, PAN 49, PPP 39) dari total 560 kursi (63,54 persen), sementara jumlah kursi kubu koalisi kerakyatan (Jokowi-JK) adalah 202 kursi (PDIP 109, Nasdem 35, PKB 47 dan Hanura 16) dari 560 kursi (36,46 persen).
Kemungkinan peta koalisi apabila terjadi dibawah pendukung Jokowi-JK dan apabila penuh, akan menjadi koalisi gemuk berjumlah 386 kursi (PDIP 109, Nasdem 35, PKB 47, Hanura 16, Golkar 91, PAN 49, PPP 39) sementara kubu Prabowo terdiri dari Gerindra 73 dan PKS 40 (113 kursi). Posisi Partai Demokrat tidak memihak secara pasti (semu) yaitu 61 kursi. Dalam posisi ini maka pemerintahan Jokowi-JK akan mampu melaksanakan tugasnya dengan lebih aman.
Apabila PAN dan PPP tetap berada di kubu Prabowo maka Koalisi Merah putih akan memiliki kekuatan 201 kursi, dan kubu koalisi kerakyatan dengan 274 kursi. Dengan demikian, maka sebagai syarat melindungi pemerintahan Jokowi-JK apabila menang dan sah akan menjadi Presiden dan wakil presiden RI, elit PDIP khususnya harus melakukan loby politik sesegera mungkin sebelum pelantikan 20 Oktober 2014. Kunci terpentingnya adalah bagaimana Golkar dapat bergabung dengan koalisi PDIP.
Penutup
Demikian prediksi disusun dengan asumsi pada tanggal 22 Agustus 2014 Mahkamah Konstitusi mengumumkan tidak mengabulkan tuntutan Capres Prabowo dan tim kubu Merah Putih. Prediksi akan gugur dengan sendirinya apabila pada tanggal 22 Agustus 2014, Mahkamah Konstitusi memenangkan tuntutan Prabowo. Tanpa prediksi apapun, kubu Prabowo-Hatta jelas tidak perlu rekonsiliasi, jumlah kursi koalisi parpol kubu merah putih kini sudah menguasai mayoritas di parlemen. Mereka tidak kesulitan dalam mendukung program-program pemerintahnya, seperti yang telah dibuktikannya kini, tanpa kesulitan apapun mampu menggolkan UU MD3. Demikian.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net