Bila Situasi Politik Mendidih, Harganya Mahal, Bill Clinton Datang
16 July 2014 | 7:16 am | Dilihat : 1389
Mantan Presiden AS Bill Clinton (Foto: capitolcommentary.com)
Presiden SBY pada tanggal 11 Juli 2014 melakukan telewicara dengan Ketua KPU Husin Kamil, yang kemudian diunggah di Youtube melalui akun twitter resmi @SBYudhoyono. Pada kesempatan itu presiden berharap agar Komisi Pemilihan Umum proaktif meminta kedua kubu pasangan calon presiden dan calon presiden untuk ikut mengawasi perhitungan resmi yang dilakukan KPU. Menurut Presiden, langkah itu perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan karena saat ini kedua kubu saling mengklaim memenangkan pemilu presiden 2014.
Kedua pasangan ketika bertemu Presiden di kediaman SBY di Cikeas, Bogor, Rabu (9/7/2014) malam memberikan janji akan menjaga ketertiban dan keamanan. SBY merasa tidak cukup janji kedua pasangan hingga pengumuman hasil resmi KPU pada 22 Juli mendatang. Dikatakan SBY, "Tapi saya mengikuti bahwa permasalahannya tidak sesederhana itu. Dibangun opini di sana sini, misalnya kalau perhitungan KPU memenangkan pasangan manapun, dianggap oleh yang dikalahkan itu tidak kredibel. Bahkan mengancam akan ada aksi rakyat dan sebagainya," kata Presiden.
Karena itu, Presiden berharap KPU mengundang kedua pasangan dan tim sukses masing-masing, lalu meminta mereka mengawasi rekapitulasi sejak saat awal. SBY berharap kedua kubu tidak hanya menyerahkan sepenuhnya kepada KPU tanpa pengawasan. Namun, ketika hasilnya diumumkan, masing-masing kubu malah menyebut KPU tidak objektif, melakukan rekayasa, atau hasil itu pesanan.
"Maka situasi politik kita akan mendidih. Kalau mendidih, cost ('harganya') tinggi sekali. Presiden sebagai Kepala Negara akan netral, bersama TNI dan Polri akan mengawal penghitungan suara oleh KPU hingga selesai. Tanggal 22 Juli adalah waktu yang kritis, posisi KPU akan sangat sulit, apapun hasil yang akan diumumkan. Oleh karena itu, agar KPU proaktif saja mengajak mereka, ayo silahkan diawasi, kami profesional, netral, bekerja di atas kebenaran dan tidak ada niat sedikitpun dari KPU untuk bermain-main karena ini urusan kebenaran, urusan kedaulatan rakyat," tegas Presiden.
"Jadi poin saya, bapak harus membangun opini yang positif, rakyat tahu, pers tahu, semua tahu bahwa KPU sudah mengundang kedua belah pihak, silahkan diawasi. Kalau nanti ada yang tidak percaya kepada KPU silahkan, terbuka," kata Presiden. Menurut Presiden, jika hal itu dilakukan, maka nantinya tidak bisa pasangan yang dinyatakan kalah lalu menuduh KPU melakukan kecurangan. "Anda dikasih kesempatan ke KPU tidak menggunakan dengan baik, sekarang menyalahkan KPU, ngga bisa dong. (opini) itu yang kita harapkan dari rakyat kita kalau (ada kubu) tidak mengakui hasil perhitungan KPU," katanya.
Pada acara buka puasa bersama di kediaman Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Senin (14/7/2014), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membandingkan kondisi Indonesia saat ini seperti pemilu presiden di Afghanistan di mana dua kubu yang maju dalam pemilu presiden itu tak mencapai kata sepakat atas hasil pemilu hingga pihak Amerika Serikat turun tangan menjadi juru damai. SBY meminta agar hal itu tidak terjadi di Indonesia. "Saya lihat tayangan TV menyangkut kemelut Pilpres yang terjadi di Afghanistan, Menlu Kerry datang ke Kabul mengundang kedua capres yaitu Abdullah dan Ashraf Ghani, keduanya diakurkan bahkan Kerry mengatakan perlu diaudit kembali hasil KPU. Saya ajak rakyat Indonesia kalau ada kemelut mari kita selesaikan sendiri tidak perlu ada pihak lain yang jadi wasit jadi juru damai," kata SBY. Menurut beberapa informasi mantan Presiden AS Bill Clinton akan berada di Jakarta tanggal 16 s/d 23 Juli 2014. Ada pengakuan kedatangannya atas undangan DPR RI.Analisis
Pembicaraan antara Presiden Sby dengan Ketua KPU merupakan sebuah langkah bijak dari presiden yang melihat sebenarnya bertapa bahaya dan kritisnya situasi dan kondisi saat nanti KPU mengumumkan hasil penghitungan suara secara manual. Presiden melihat bahwa kedua kubu kini dengan senjata “quick count” sudah merasa menang. Walau kedua pasangan sudah berjanji akan menjaga keamanan dan ketertiban, tetapi presiden mampu membaca bahwa masalah tidak sesederhana itu.
Kedua pasangan hanya berjanji, tetapi apakah kedua kubu sadar bahwa bangsa ini dalam pilpres telah terbelah? Penulis menilai bahwa militansi dan fanatisme para pendukung serta simpatisan masing-masing kubu sudah demikian merasuk, dan bahkan menjurus kepada rasa benci yang berlebihan. Ini yang berbahaya. Karena kondisi fanatisme sempit yang sudah matang seperti ini akan sangat mudah disulut, terlebih oleh mereka yang ahli dan sengaja melakukannya.
Melihat apa yang disampaikan Presiden SBY tentang pemilu di Afghanistan, rasanya miris juga apabila sampai bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sampai membutuhkan negara ketiga (Amerika?) sebagai wasit. Afghanistan oleh para pengamat politik di AS dikategorikan sebagai salah satu negara gagal. Jadi apabila kita dalam menyelesaikan tahapan akhir pemilu saja membutuhkan wasit luar, maka dunia internasional bisa saja memberi cap kepada Indonesia sebagai negara gagal, gagal dalam menyelesaikan persoalannya sendiri. Apakah AS memang juga telah membaca sikon sangat rawan ini, mempersiapkan mantan Presiden AS, Bill Clinton di Jakarta untuk sewaktu-waktu akan menjadi wasit apabila kesepakatan pilpres gagal? Dari indikasi pernyataan presiden mungkin saja.
Sayangnya pesan presiden agar penghitungan disaksikan bersama (secara resmi) tidak terlalu dilaksanakan dan disebarkan kepada masyarakat. Mestinya KPU secara resmi menyampaikan siapa-siapa perwakilan kubu kedua capres yang duduk mengawasi penghitungan suara. Selain itu juga kedua kubu secara resmi menyampaikannya juga kepada pendukungnya bahwa mereka mengawasi. KPU kini hanya berjalan sendiri dengan jajarannya, kedua kubu juga hanya membuat pernyataan akan mengawasi dengan ketat. Ketiga jajaran (kedua kubu dan KPU) yang akan menentukan situasi politik akan mendidih atau tidak, telah menganggap ringan pesan presiden.
Dengan demikian, menurut penulis, situasi politik yang sudah hangat ini dan bahkan sudah mulai matang, tinggal selangkah lagi akan bisa mendidih. Penulis tidak yakin kedua pasangan akan mampu mengendalikan sepenuhnya pendukung yang tidak terima karena jagonya ditetapkan kalah. Mereka terlalu menyederhanakan masalah, tidak mampu membaca situasi bahaya. Sebagai contoh, lihat saja betapa mudahnya timbul perkelahian antar kampung karena hal yang sepele.
Selain itu, kita harus ingat terjadinya beberapa konflik keras di tanah air, konflik di Ambon, konflik Mesuji, konflik suku Dayak dengan Madura di Kalbar, konflik G30S/PKI, betapa kejam dan banyaknya korban yang jatuh. Karena itu nampaknya kedua kubu membiarkan terbangunnya opini bahwa mereka yang menang. KPU hanya sibuk dengan jajarannya tidak membangun opini kesepakatan dengan kedua kubu.
Nah, mari kita tunggu dan siap-siap apa yang akan terjadi pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2014. Apakah akan menjadi Selasa ceria atau justru Selasa kelabu. Apakah kita akan seperti Afghanistan? Semua kini terserah kepada kita semua, walau ada informasi bahwa korlap di kedua kubu sudah saling telpon, tetapi apakah para “die hard” itu bisa dan mau dikendalikan? Persoalannya kemudian menjadi harga diri bangsa, ini yang belum tentu diketahui dan disadari oleh kita semua barangkali. Itu intinya.
Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net