Penciptaan Kondisi Kemenangan Pilpres

15 July 2014 | 2:00 am | Dilihat : 673

IndonesiaElection-05c40

Capres Jokowi setelah mengumumkan kemenangan (Sumber Foto: AP)

Seperti yang telah diramalkan, saat berlangsungnya pilpres, situasi keamanan terjaga dengan baik, dan justru beberapa jam setelah penyoblosan, mulailah tercium aroma potensi akan muncul  keributan. Ternyata kemudian benar adanya, dari kedua kubu mengeluarkan pernyataan bahwa mereka telah mengungguli perolehan suara dibanding lawannya. Dari kubu Jokowi-JK yang mengumumkan tidak main-main, Ibu Megawati, yang menegaskan kemenangan disusul oleh Capres Jokowi. Sementara kemudian disusul kubu Prabowo-Hatta yang diumumkan oleh Ketua Tim sukses Mahfud MD, disusul oleh Prabowo sendiri, yang menyatakan mendapat mandat dari rakyat.

Kedua kubu meyakini bahwa kemenangannya dengan berdasarkan kepada hasil quick count beberapa lembaga survei. Apakah itu bisa dipercaya? Justru kini masyarakat luas justru meragukan para lembaga survei itu. Kalau mereka benar-benar independen, mestinya dengan metodologi yang benar hasil akhir atau kesimpulannya dapat dipastikan akan sama. Tetapi justru kini berbeda, ada tujuh yang memenangkan pasangan Jokowi-JK dan ada empat yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta.

Menurut aturannya, maka pemenang dari pilpres akan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum yang selama ini telah bekerja dengan sungguh-sungguh. Nah, kini bagian terberatnya, KPU harus melakukan penghitungan manual dan mengumumkannya pada tanggal 22 Juli 2014.

Disadari atau tidak, kini euforia kemenangan lebih terasa pada kubu Jokowi-JK, hingga harian Washington Post di negara nun jauh disana pada tanggal  10 Juli nampaknya juga agak percaya Jokowi-JK lebih berpeluang menang. Mengapa? Nah mari kita bahas dengan sedikit ilmu intelijen yang terkait dengan penciptaan kondisi (conditioning).

Conditioning ini merupakan salah satu cabang dari ilmu intelijen yang disebut penggalangan (dalam terminologi intelijen) berbeda dengan istilah penggalangan yang dikenal secara umum. Penggalangan (Gal) disini merupakan sebuah usaha dan kegiatan menciptakan kondisi agar target mau berfikir dan berbuat serta memutuskan seperti yang dikehendaki si perencana. Sarana penggalangan mempunyai saudara kandung yang bernama penyelidikan (Lid)  dan pengamanan (Pam), dengan urutan Lid, Pam dan Gal. walau termuda, Gal adalah kegiatan paling ekstrem, karena bisa dilengkapi dengan sarana seperti teror, sabotase, kerusuhan, provokasi, propaganda dan lain-lain.

Jadi mengapa kedua kubu melakukannya? Quick count hanyalah sebuah proyek pekerjaan lembaga survey yang melakukan hitung cepat secara keilmuwan, ilmiah, mendapatkan hasil dengan mengambil sample di sebagian TPS, dengan metodologi tertentu, kemudian setelah hasil yang masuk ke mereka sekitar 90 persen, akan didapat data yang stabil, merupakan gambaran pasangan mana yang mendapat prosentase lebih banyak. Kini makin banyak lembaga survei menangani pemilu dan pilkada, karena mereka mencium besarnya uang yang beredar, proyek sesaat yang menghasilkan uang miliaran rupiah.

Kedua kubu kemudian menampilkan lembaga survei yang mereka percayai, yang menggambarkan kemenangan di media elektronik dan arus utama, tidak ketinggalan di sosial media. Lantas mengapa mereka menggebu-gebu menginformasikan kepada masyarakat hasil quick count-nya? Lembaga survei selalu memberitakan dan masyarakat mulai faham bahwa quick count adalah sebuah cara menghitung cepat dan bisa dipercaya, untuk mengamankan kubunya dari kemungkinan dicurangi oleh KPU. Secara teori, memang apabila lembaga survei itu independen dan benar-benar jujur, ya memang seperti itu. Entah juga kemungkinan terkontaminasi karena berfungsi juga sebagai konsultan..

Yang terjadi kini, quick count mampu dipergunakan untuk menciptakan kondisi. Karena jumlah lembaga survei di kubu Jokowi-JK lebih banyak dan lebih dimunculkan, maka banyak dikalangan masyarakat menjadi percaya bahwa Jokowi-JK lebih dipercaya menang. Kemampuan mengondisikan kubu ini lebih bagus dibandingkan kubu Prabowo-Hatta. Bahkan salah satu tokoh lembaga surveinya berani mengatakan apabila KPU sampai mengalahkan Jokowi-JK maka KPU yang salah. Selain masyarakat umum yang percaya, maka pendukung Jokowi-JK sangat percaya berita-berita yang terus dimunculkan.

Di media kini sudah bukan hasil beberapa lembaga survei, tetapi hanya satu yang ditayangkan yaitu survei dari RRI (Radio Republik Indonesia), ditayangkan hasilnya Prabowo-Hatta (47,51 persen), Jokowi-JK (52,49 persen). Mengapa RRI? Karena RRI sangat dikenal masyarakat dan disebut independen. Inilah kehebatan kubu Jokowi-JK dari sisi langkah propaganda, menginformasikan quick count kepada publik. RRI tersebar hingga pelosok-pelosok desa terpencil, yang tidak terjangkau kendaraan, belum tentu ada TV, disitulah masyarakat umumnya  hanya punya radio, dan mereka akan percaya karena ini adalah radio republik Indonesia atau radio resmi pemerintah, kira-kira begitu.

Bagaimana dengan kubu Prabowo-Hatta? Nampaknya urusan propaganda tidak dilakukan hingga sejauh itu. Lembaga survei-nya kalah jumlah, kalah suara dan kurang lantang. Karena itu dari sisi psikologis maka banyak yang mengatakan, wislah (sudahlah), kalah. Kekuatan politis kubu merah putih kini adalah kebulatan tekad bersama membangun koalisi permanen. Menurut penulis apabila Prabowo-Hatta kalah, belum tentu juga akan permanen, bisa saja bubar, namanya juga politik, pada umumnya  tidak ada kesetiaan disitu, yang ada lebih kepada kepentingan.

Jadi sebenarnya mengapa mereka melakukan seperti itu? Itulah langkah pressure kepada KPU, kalau nanti sampai mengumumkan kubunya kalah dalam penghitungan, maka para KPU dan bahkan negara atau pemerintah akan berhadapan dengan para pendukung itu yang tersebar di 33 propinsi. Jelas tekanan ini tidak main-main, dan sangat berbahaya apabila kita hitung dengan teliti. Walau nanti yang kalah berpeluang bisa mengajukan tuntutan ke Mahkamah Konstitusi, tetapi apabila pendukung merasa dicurangi, mereka diperkirakan akan marah. Kita tahu sendiri kalau yang marah jumlahnya sekian juta, bagaimana mengatasinya?

Panglima TNI Jenderal Moeldoko juga sudah mengingatkan kemungkinan akan ada kenaikan tensi pada tanggal 22 Juli mendatang. Beberapa langkah Lid dan Pam sudah dilakukan. TNI dan Polri kini dalam siaga tingkat tertinggi. Untuk menjaga ekses-ekses yang tidak dikehendaki. Yang patut diperhitungkan, masih ada mereka-mereka yang bukan  pendukung capres, ingin menimbulkan  kekisruhan, keributan, terjadinya konflik horizontal, kalau perlu perpecahan.

Disinilah dibutuhkan kesadaran para elit dari dua kubu. Apakah mereka mau mengorbankan stabilitas politik dan keamanan? Yang rugi ya rakyat dan negara pastinya. Kedua kubu jangan terlalu pasti dengan kemenangan, nanti kalau kalah belum tentu pendukungnya tidak siap kalah. Kita percayakan kepada KPU, kawal semua hasil secara berjenjang.

Demikian pendapat penulis dengan persoalan cipta kondisi. Para pendukung sudah diberi fakta quick count oleh masing-masing kubu, mereka telah menyerapnya, dan apabila dinyatakan kalah, mereka akan memutuskan nanti, akan ribut  atau  patuh kepada arahan capresnya masing-masing. Nampaknya tidak semua pendukung akan patuh kepada capresnya apabila mereka marah. Apa yang bisa menyelamatkan Indonesia? Allah Maha Besar, Maha Mengetahui, pada tanggal 22 Juli kita masih berpuasa, Insya Allah kita bisa menahan diri dan emosi, itulah harapan penulis dan juga kita bersama yang bisa menyelamatkan bangsa ini.  Semoga.

Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.