Black Campaign, Senjata Pengganda Efektif di Pilpres 2014
2 July 2014 | 2:30 pm | Dilihat : 780
Menjelang hari-hari penyoblosan, yang sangat menonjol adalah serangan black campaign dan negative campaign. Mengerikan, membaca serangan-serangan terbuka dimana kedua capres itu dihantam dari berbagai sisi khususnya yang menyangkut pribadi yang paling sensitifpun dibuka. Karena dalam sebuah pilpres di Indonesia, yang dominan adalah si capres itu sendiri bukan yang lainnya. Maka Prabowo dan Jokowi kini menjadi target utama gelombang kampanye hitam dan kampanye negatif.
Sebenarnya dalam sebuah persaingan dalam pilpres message atau pesan kebutuhan harus disampaikan kepada konstituen agar mereka tertarik kepada ide-ide si calon. Dalam pemilihan presiden Amerika Tahun 2008 John McCain pada awalnya digunakan pesan yang fokus pada masalah patriotisme dan pengalaman politik: "Negara Pertama"; kemudian pesan itu berubah untuk mengalihkan perhatian dengan perannya sebagai "The Original Maverick" dalam pendirian politik.
Sementara, Barack Obama bertumpu pada pesan sederhana yang konsisten konsisten "perubahan" di seluruh kampanyenya. Jika pesan ini dibuat dengan hati-hati, hal itu akan menjamin calon kemenangan di pemilu. Di India, pesan yang diberikan adalah perbaikan pendidikan anak perempuan, si capres akan melakukan pengembangan desa, jalan, persentase pajak akan diturunkan (Wiki).
Sementara di Indonesia, persaingan antara capres Prabowo dan Capres Jokowi, keterlibatan kampanye hitam adalah upaya menurunkan popularitas dan elektabilitas lawan politik. Disamping juga negative campaign yang menjadi marak. Disinilah peran sosial media, media elektronik dan media arus utama menjadi pemain utama. Media sosial menjadi alat dari para simpatisan untuk melakukan serangan tanpa takut dengan UU ITE. Sementara pemerintah tanpa tidak berdaya menghadapi sangat banyaknya gelombang kampanye serupa.
Capres Prabowo dihantam dengan masalah Hak Asasi Manusia (HAM), soal penculikan aktivis pada Tahun 1998, yang kemudian serangan berlanjut dengan hasil sidang DKP pemberhentian dirinya sebagai TNI aktif. Itulah inti serangan terhadap Prabowo. Tidak main-main, yang menyuarakan masalah DKP adalah para purnawirawan Jenderal yang dahulu menjadi pelaku dalam sidang DKP dan merupakan senior Prabowo. Kemudian muncul hantaman serius dari Pak Hendro Priyono soal karakter dan keburukan Prabowo sebagai anak buahnya yang dikatakan akan gila apabila menerima stress. Muncul juga tokoh-tokoh seperti Pak Wiranto (Mantan Pangab), Fachrul Razy (Mantan Wapangab), Luhut Panjaitan (Mantan Menteri). Semua membuka titik lemah Prabowo.
Sementara itu, capres Joko Widodo (Jokowi) mendapat serangan diantaranya keturunan Cina, orang tuanya tidak jelas, bahkan di tuduhkan keturunan dari bekas anggota PKI dan Gerwani, kemudian juga diberitakan bahwa Jokowi dikelilingi oleh aktivis PKI (Baca; Benarkah Tuduhan Jokowi Terafiliasi PKI?, Ronin Indonesia, Selasa 17 Juni 2014). Nah yang berbahaya, Jokowi disebutkan tidak jujur, selain menutupi asal-usulnya, dia diberitakan terlibat korupsi soal pengadaan bis karatan Bus Way. Juga adanya pemberitaan dari Staf Khusus Presiden Bidang Bencana dan Bantuan Sosial, Andi Arief, kolusi anak Jokowi dengan Luhut Panjaitan yang membuat perusahaan (nasional.inilah.com, 13 Juni 2014). Kini dimunculkan di sebuah media elektronik (Rabu, 2 Juli 2014) ungkapan para pegawai dari pemda Solo yang menyatakan Jokowi dikatakan korupsi dan ide-idenya di Solo kini kacau.
Analisis
Perang kampanye antar kedua kubu nampaknya kini mencapai puncaknya, dan sisi terkuat mereka dieksploitir menjadi titik terlemah. Titik rawan inilah yang diserang. Prabowo yang dihantam dengan masalah DKP, pemecatan dan keterlibatan dirinya dalam penculikan, kemudian memunculkan tiga tokoh keras dan berani, Fadli Zon, Mayjen (Pur) Kivlan Zein dan Letjen (pur) Suryo Prabowo yang dengan berapi-api menjelaskan soal penculikan, penolakan tuduhan pelanggaran HAM dari Prabowo. Mereka memberikan alasan, keterangan, membela dan bahkan berani menantang para tokoh militer di kubu Jokowi untuk berdebat terbuka. Masalah etika sudah hilang sama sekali. Kekerabatan dan rasa saling menghargai antara senior dan junior lenyap sudah. Apakah ini efek berdemokrasi?
Bagaimana hasilnya? Isu HAM dan penculikan aktivis SMID dan PRD pada masa lalu bukan merupakan isu baru, masalah ini pernah ditiupkan cukup lama. Oleh karena itu nampaknya serangan terhadap Capres Prabowo tidak mencapai titik terkuat dan terlemahnya. Terbukti elektabilitasnya tidak juga menjadi surut, rakyat tidak peduli masalah ini. Penyerang tidak berhasil mengeksploitir titik rawan Capres Prabowo.
Sebenarnya apa yang menjadi fokus rakyat yang notabene konstituen itu? Dalam sebuah survei dikatakan bahwa rakyat membutuhkan "aman." Selain itu yang menjadi perhatian rakyat adalah soal "kejujuran," yang paling dibenci rakyat itu adalah masalah korupsi. Ini adalah efek, karena pada pemerintahan Pak SBY, yang ditonjolkan adalah bagaimana pemerintah konsisten memberantas korupsi yang menyengsarakan rakyat. Jadi dua hal ini yang seharusnya menjadi fokus para tim sukses, yaitu rasa aman dan kejujuran.
Dari sisi Jokowi, gelombang serangan baik negative campaign maupun black campaign menurut penulis kurang dinetralisir dengan benar. Memang masalah adanya unsur faham PKI sulit dibantah, karena adanya beberapa orang yang diberitakan mengakui bahwa mereka adalah keturunan PKI atau penganut ajarannya. Tim sukses sulit menutup keberadaan mereka. Disamping itu semestinya tim sukses lebih keras meng-counter tuduhan Jokowi anak dari anggota PKI. Ini masalah yang sangat penting, karena masyarakat masih alergi dengan hal-hal yang berbau Komunis. Pembelaan nama baik Jokowi menurut penulis kurang keras.
Akan tetapi yang jauh lebih rawan adalah berita yang menyangkut kejujuran. Tim sukses seharusnya menetralisir tersentuhnya Jokowi dengan berita kasus korupsi pengadaan Bus Way. Jangan menganggap bahwa meredanya berita tersebut tidak akan memengaruhi elektabilitas Jokowi. Disamping itu, kini mulai dimunculkan dugaan/tuduhan amburadulnya Pemda Solo setelah ditinggal Jokowi, dimana beberapa pegawai keuangan Pemda pagi ini mengatakan di salah satu stasiun televisi adanya aliran dana ke rekening Jokowi. Ini berbahaya dan akan sangat meruntuhkan citra serta kredibilitas Jokowi pastinya. Jokowi disentuhkan kepada titik rawannya, yang justru menjadi kekuatannya dimata publik.
Nah, dari perang kampanye diatas, bisa dilihat efek serangannya. Yang lebih banyak terkena serangan bak cluster bom adalah Capres Jokowi. Dalam beberapa hasil survei menunjukkan kecenderungan trend menurun dari elektabilitasnya, sementara Capres Prabowo elektabilitasnya trend-nya cenderung naik. Memang kampanye hitan dan negatif bukan satu-satunya penyebabnya, ada faktor lain yang juga terkait dengan turun naiknya elektabilitas. Mesin parpol misalnya. Militansi tokoh-tokoh dalam koalisi merah putih nampak lebih solid dan berani, disamping dukungan media yang luas dan sangat masif.
Pemilu tersisa hanya enam hari lagi, para konstituen umumnya sudah menetapkan pilihannya. Tim sukses kini bersaing dalam memperebutkan swing voters yang masih ragu. Menurut beberapa lembaga survei, mereka yang masih ragu ini berkisar diantara angka 6-10 persen. Ini harus direbut, karena menurut penulis elektabilitasnya keduanya nampaknya kini berimbang. Siapa yang mampu menjamin rasa aman dan tidak ternodai dengan masalah kejujuran maka dialah yang akan menjadi pemenang.
Dari beberapa fakta tersebut diatas, nampak bahwa black campaign dan negative campaign merupakan sarana penggempur yang efektif dalam persaingan politik di negeri ini. Dalam ilmu intelijen, kampanye-kampanye seperti itu dapat dipastikan akan selalu terjadi, terlebih apaila calon hanya dua (head to head). Sulit membuktikan siapa pengelola black campaign yang sangat memprihatinkan tersebut, yang penting bagaimana tim sukses mampu menetralisirnya. Menurut penulis tim sukses Jokowi nampaknya agak kedodoran dalam menangani masalah ini dibandingkan tim sukses Prabowo.
Dalam hal ini yang akan menerima akibatnya adalah Capres Jokowi. Dilain sisi soal kalah dan menang bukan masalah baginya. Kalau menang jadi Presiden, kalau kalah ya balik lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta, yang masalah adalah para tim suksesnya itu. Sudah capek, punya banyak musuh lagi. Begitulah.
Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net
Artikel Terkait :
-Menilai Titik Rawan Antara Prabowo dan Jokowi, http://ramalanintelijen.net/?p=8475
-Elektabilitas Capres, Siapa Lebih Unggul?http://ramalanintelijen.net/?p=8470
-Kini Pejabat TNI Yang Masih Aktif Ikut Prihatin, http://ramalanintelijen.net/?p=8465
-Antara Hierakki, Pilpres dan Keprihatinan Seorang Old Soldier, http://ramalanintelijen.net/?p=8458
-Jenderal Pada Dua Poros dan Wilayah Perang Opini Dua Media Berita, http://ramalanintelijen.net/?p=8441
-Purn Jenderal Terbelah, Menunjukan Demokrasi Semakin Baik, http://ramalanintelijen.net/?p=8417