Menilai Titik Rawan Antara Prabowo dan Jokowi
20 June 2014 | 12:26 pm | Dilihat : 1378
Pada saat penulis mengikuti pendidikan sebagai analis intelijen ABRI dalam masalah pertahanan, dalam pelajaran dasar di tekankan oleh instruktur bagaimana seorang analis harus mampu mengolah informasi yang telah dikumpulkan menjadi sebuah intelijen. Pengertian intelijen dalam kaitan sebuah produk adalah informasi yang telah diolah, dikonfirmasikan, dinilai baik sumber maupun isinya. Maka hasil olahan itu, disebut sebagai intelijen yang disampaikan kepada user (pengguna) untuk dipakai dalam mengambil keputusan.
Dalam bidang pertahanan, para analis melakukan koleksi informasi yang dikumpulkan oleh para action agent baik dari sumber terbuka maupun terutup. Dalam briefing awal, para agen diarahkan mengumpulkan informasi berupa Kekuatan, Kemampuan, Kerawanan dan Niat (K3N) lawan atau bakal lawan.
Secara umum, kekuatan diartikan dalam jumlah, berapa kekuatan penggempur lawan strategis yang mampu mencapai garis belakang pihak sendiri, kekuatan defensif dibandingkan dengan kekuatan penggempur yang kita miliki dan banyak lagi, secara prinsip kekuatan dalam pengertian jumlah. Kalau kemampuan adalah informasi tentang menerjemahkan dari kekuatan tersebut, seberapa besar kemampuannya, baik menyerang ataupun bertahan dibandingkan dengan kekuatan kita.
Nah, dalam hal kerawanan, ini adalah kelemahan yang dimiliki lawan atau pihak sendiri dimana apabila kerawanan berhasil dieksploitir, akan menyebabkan sebuah kelumpuhan, dan bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan potensial. Niat, adalah bagian penting, membaca gerak dan langkah lawan kemana dan apa niat lawan, apakah akan menyerang sektor atau menyerang total. Membaca niat sebaiknya dikaitkan dengan strategi lawan yang berlaku. Kemana arah dan sasarannya. Yang harus diketahui dan diwaspadai adalah apabila niat atau strategi lawan akan menyerang titik rawan pihak kita.
Nah, penulis mencoba membaca perkembangan politik menjelang pilpres yang semakin dinamis dan agak keras. Kedua belah pihak baik kubu Prabowo maupun kubu Jokowi kini diperkuat oleh para mantan personil militer (terutama digawangi oleh beberapa Jenderal purnawirawan mantan pejabat TNI AD). Yang kemudian nampak, perseteruan dikalangan elit bukan dilakukan oleh politisi murni, tetapi terjadi antar para serdadu tua berpengalaman itu.
Konflik statement keras terjadi karena serangan dilakukan terhadap kubu Prabowo, terkait dengan polemik berhentinya karir Prabowo dengan keputusan hasil DKP (Dewan Kehormatan Perwira). Beberapa tokoh DKP kini berada di kubu Capres Jokowi, berseberangan dengan kubu Prabowo. Kemudian pernyataan beberapa tokoh DKP yang terakhir dijelaskan oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Pur) Wiranto, mendapat tanggapan keras dari Letjen (Pur) Suryo Prabowo dan Mayjen (Pur) Kivlan Zein. Statement berkembang bukan hanya menyentuh substantif masalah, tetapi semakin dalam menyentuh pribadi dan citra.
Pertanyaannya, apakah soal berhentinya Letjen (Pur) Prabowo yang sudah disahkan oleh KPU menjadi capres itu merupakan kerawanan? Serangan frontal beberapa Jenderal Pur itu menurut penulis tidak akan menyebabkan kelumpuhan, mungkin bisa mengganggu trend positif kenaikan elektabilitasnya. Prabowo sudah terjun ke politik di tingkat nasional cukup lama, dan pada tahun 2009 maju sebagai cawapres Megawati, perjalanannya aman-aman saja. Pasangan Mega-Prabowo bukan kalah dari SBY-Boediono karena sebab itu juga, tetapi pembangunan popularitas dan elektabilitas SBY sebagai petahana saat itu sangatlah kuat. Karena itu kubu Prabowo tidak perlu menanggapi dengan terlalu keras, efek politis serangan DKP itu tidaklah besar.
Kemudian bagaimana dengan Capres Jokowi? Yang selalu diangkat oleh tim suksesnya, dan memang mengangkat popularitas dan elektabilitas Jokowi adalah sisi kesederhanaan, merakyat dan terutama kejujuran. Dari ketiganya, faktor utamanya (esensial) adalah soal kejujuran. Masyarakat Indonesia kini sudah muak dengan soal korupsi, dimana demikian banyak pejabat, tokoh politik dan bahkan pedagang yang terlibat dan ditangkap KPK. Mereka menyimpulkan bahwa Indonesia akan makmur apabila dipimpin oleh presiden yang jujur. Inilah kekuatan utama Jokowi yang harus dijaga benar oleh tim suksesnya, tetapi perlu diingat, ini sekaligus merupakan kerawanannya.
Bbeberapa waktu terakhir, beredar transkrip pembicaraan telpon antara Ketua Umum PDIP Megawati dengan Kepala Kejaksaan Agung Basrief Arief yang intinya permintaan Bu Mega agar Kejagung jangan melibatkan Jokowi dalam kasus korupsi bus Trans Jakarta. Terlepas benar dan tidaknya transkrip tersebut, karena berita ini terus digoreng media, dan ada yang memelintir, sebaiknya kubu Jokowi harus sangat berhati-hati menyikapinya. Ini merupakan titik rawan Capres Jokowi seperti yang penulis utarakan diatas.
Isu ataupun rumor memang bisa saja disebut fitnah, tetapi dalam disiplin intelijen, keduanya merupakan sarana penggalangan (conditioning) dalam penciptaan kondisi, disamping propaganda, sabotase dan lain-lainnya. Sekali saja mereka yang terkait dengan isu tersebut salah angkat bicara, termasuk merasa membenarkannya, maka opini konstituen akan berubah. Jangan mudah membuat kata "fitnah", karena fakta awal adanya korupsi pengadaan bus Trans Jakarta sudah menjadi sasaran penyidikan Kejagung. Langkah semacam ini bukan black campaign, tetapi merupakan upaya pembentukan opini pembenaran logika berfikir konstituen. Dilain sisi, pihak PDIP harus bijak dan cerdas apabila tidak menginginkan masuk dalam killing ground. Dalam teori pertempuran pihak bertahan harus lebih kuat tiga kali dibandingkan penyerang.
Jadi, dari uraian diatas, terlihat bahwa (the battle of DKP) bukan inti peperangan, apabila diukur dengan ilmu intelijen, itu hanyalah salah satu bagian dari pertempuran yang mana dalam peperangan antar kedua kubu, banyak palagan lainnya yang lebih membutuhkan enersi untuk menang. Keruntuhan Prabowo bukan di medan itu, persaingan antara Prabowo dengan Jokowi adalah soal ketegasan, kejujuran, perhatian dengan rakyat dan siapa yang dipercaya akan mampu membawa negara ini jauh lebih maju dan makmur.
Dalam waktu yang sangat pendek menjelang pemili 9 Juli 2014, rakyat sebagian besar pasti sudah menentukan pilihannya. Penulis perkirakan yang masih ragu berada di bawah 10 persen, yaitu para undecided voters. Para tim sukses penulis sarankan menggunakan teori intelijen tingkat tinggi tetapi sederhana untuk menang, yaitu teori "Let them think and let them decide." Maksudnya adalah keputusan rakyat akan bisa dirubah apabila sang capres mampu menyampaikan sesuatu yang positif dan logic, dialah pemimpin yang didambakan. Biarkan rakyat berfikir dan biarkan mereka memutuskan.
Kesempatan masih ada, dalam kemunculan capres, performance, cara berbicara, bijaksana, mencintai rakyat, tegaskan dia akan menjadi pemimpin yang jujur, tegas dan merakyat. Kunci terakhir kemenangan kini ada pada sang Capres bukan yang lainnya, beranikah menyebutkan,"Saya Wakafkan Diri dan Jiwa Saya untuk memimpin Bangsa dan Negara Indonesia, Semoga Allah meridhoi." Selesai sudah, dan rakyat akan memutuskan.
Oleh : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net
Artikel terkait :
-Elektabilitas Capres, Siapa Lebih Unggul?http://ramalanintelijen.net/?p=8470
-Kini Pejabat TNI Yang Masih Aktif Ikut Prihatin, http://ramalanintelijen.net/?p=8465
-Antara Hierakki, Pilpres dan Keprihatinan Seorang Old Soldier, http://ramalanintelijen.net/?p=8458
-Jenderal Pada Dua Poros dan Wilayah Perang Opini Dua Media Berita, http://ramalanintelijen.net/?p=8441
-Purn Jenderal Terbelah, Menunjukan Demokrasi Semakin Baik, http://ramalanintelijen.net/?p=8417