Rahasia Kekuatan Capres Jokowi dan Prabowo
27 May 2014 | 10:30 am | Dilihat : 1908
Dua Capres Jokowi dan Prabowo (Foto : nefosnews.com)
Kalau kita ikuti berita di media, menjelang pilpres 9 Juli 2014 mendatang, kini kedua capres baik Jokowi maupun Prabowo terus melakukan safari, mengunjungi tokoh-tokoh nasional, pesantren, organisasi massa dan bahkan selebritis untuk mendapatkan dukungan.
Sebenarnya apa yang dibutuhkan kedua calon untuk memenangkan persaingan? Nah mari kita bahas rahasia sukses tersebut dengan cara analisa intelijen, yaitu mempelajari informasi masa lalu (the past), kejadian yag sedang berlaku (the present). Setelah diolah maka bisa dibuat paling tidak sebuah ramalan masa depan (the future). Dari fakta masa lalu yang disebut sebagai informasi dasar (basic descriptive intelligence), kita mengaitkan dengan kejadian-kejadian menjelang pilpres 2014 atau pemilihan serupa yang ditentukan langsung oleh rakyat.
Dalam pemilihan umum presiden, semua ahli strategi dan elit politik pasti sangat memahami bahwa yang akan dipilih oleh rakyat selaku konstituen adalah si tokoh (calon presiden). Penulis jadi teringat pada tahun 2004 saat akan pemilihan presiden di Indonesia, bertemu dan berdiskusi dengan seorang ilmuwan AS, Profesor Jeffrey Winters , ilmuwan politik yang meraih gelar PhD dari Yale University. Winters adalah pengamat politik Indonesia, dan terkenal dengan bukunya Oligarchy.
Winters mengatakan kepada penulis bahwa Hasyim Muzadi saat itu salah memesan tempat di first class cabin PDIP, menjadi cawapres dari Megawati, dimana diumpamakannya parpol tersebut mirip dengan kapal yang sedang bocor. Ini dikatakan karena merosotnya perolehan suara PDIP pada pemilu 2004 yang 18,53%, dibandingkan perolehan suaranya pada pemilu 1999 sebesar 33,74%. Kedua, pada pilpres 2004, rakyat Indonesia menginginkan perubahan, dimana saat itu muncul tokoh pembaruan seorang Jenderal gagah, yang bisa diharapkan yaitu SBY.
Dari perjalanan sejarah dari sisi Jokowi dan PDIP, pada pilkada Walikota Solo (2010), pasangan Jokowi-FX Hadi Rudyatmo ini telah memenangkan persaingan. Jokowi-Rudy yang diusung koalisi PDIP Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) unggul telak atas pasangan Eddy S Wirabhumi-Supradi Kertamenawi yang diusung koalisi Partai Demokrat dan Partai Golkar. Berdasarkan perhitungan perolehan suara saat itu, Jokowi-Rudy meraih 248.243 suara atau 90,09%, sedangkan Wirabhumi-Supriadi mendapat 27.306 suara atau 9,91%. Yang menyolok, dari 931 TPS yang ada, Jokowi hanya kalah di satu TPS. Ini rekam jejak pertamanya.
Dalam pilkada Gubernur DKI Jakarta, pasangan Jokowi-Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pada putaran pertama maju hanya dengan dukungan koalisi PDIP dengan Gerindra. Sementara pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi didukung oleh PAN, Hanura, PKB, PBB, PMB dan PKNU. Untuk pasangan Alex Nurdin-Nono Sampono didukung oleh parpol Golkar, PPP, PDS, PP, PKPB, PKDI, RepublikaN, PPIB, Partai BUruh, PPNUI, dan PNI Marhaenisme. Pasangan Jokowi-Ahok meraih dukungan 42,60% dan Fauzi-Nachrowi mendapat 34,05%.
Pada putaran dua pasangan Jokowi-Ahok tetap didukung duo koalisi PDIP dan Gerindra, sementara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi didukung oleh PD, PAN, Hanura, PKB, PBB, PMB, dan PKNU. Pasangan Jokowi-Ahok meraih 53,82% dan Fauzi-Nachrowi 46,18.
Nah dari dua pilkada di Solo dan DKI Jakarta, terlihat faktor ketokohan Jokowi merupakan kunci kemenangan, bukan karena wakilnya. Pertanyaannya mengapa? Karena Jokowi adalah tokoh yang sederhana, mengesankan tokoh jujur, dan dapat menempatkan dirinya sebagai bagian dari rakyat. Disinilah kekuatannya. Jokowi dikatakan dicintai oleh rakyat, di Solo dia menguasai total, hanya kalah di satu TPS. Di DKI Jokowi walaupun hanya didukung dua partai dan dikeroyok parpol besar lainnya tetap menang. Kini dalam perjalanan menuju ke kursi RI-1, pasangan Jokowi yang didampingi Jusuf Kalla diajukan oleh koalisi PDIP, Partai Nasdem, PKB dan Hanura.
Kini kita lihat dari sisi Prabowo. Tokoh yang satu ini adalah mantan petinggi TNI dengan pangkat Letnan Jenderal, mantan Komandan Kopassus, mantan Panhkostrad, dan pernah mendampingi Megawati dalam pilpres 2009, tetapi dikalahkan oleh pasangan SBY-Boediono. Yang menarik dari Prabowo, parpolnya Gerindra yang pada pemilu tahun 2009 hanya berhasil mendapatkan suara 4,46%, perolehan suaranya pada pemilu 2014 tercapai 11,81%. Sangat fantastis karena perolehan suaranya hampir mencapai kenaikan 300%.
Pertanyaannya, mengapa? Selain Gerindra mampu menata mesin partainya hingga ke daerah, faktor Prabowo sebagai magnet merupakan rahasia pengangkat perolehan suara Gerindra. Di Indonesia, pada umumnya ketokohan seorang ikon parpol akan berpengaruh mengangkat atau menurunkan perolehan suara, disamping berita negatif pastinya. Kondisi ini mirip dengan Partai Demokrat dimana SBY sejak 2004 sebagai tokoh politik yang lebih besar dibandingkan dengan partainya.
Penggorengan nama Prabowo saat menjadi Komandan Kopassus yang selalu dikaitkan dengan penculikan aktivis pada 1998 nampaknya tidak berpengaruh terhadap citra dan nama besarnya. Prabowo dalam perjalannya ditampilkan sebagai patriot bangsa, yang gagah, berani, tegas, merupakan antitesa dari SBY yang disebutkan banyak orang kurang tegas.
Disitulah citra Prabowo diangkat, dan sukses. Terbukti kemudian elektabilitasnya tertinggi kedua setelah Jokowi bahkan mengalahkan tokoh-tokoh kelas satu nasional lainnya. Dengan kemampuan diplomasi politik SST (Sama Sama Tahu), kemudian banyak parpol yang setuju berkoalisi dengan Gerindra. Muncul PAN yang Ketua umumnya disepakati sebagai cawapres, kemudian merapat PKS, PPP dan Golkar. Disamping itu banyak ormas dan tokoh-tokoh yang bergabung dengannya. Koalisinya berupa tenda besar dan dkini demikian banyak media mendukungnya. Dengan demikian maka kekuatan Prabowo sebagai capres jelas tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kenaikan perolehan suara Gerindra sebanyak hampir 300% jelas merupakan sebuah hasil olahan dan penerapan strategi yang tepat dan sesuai dengan kondisi yang berlaku. Pada saat Prabowo didera isu-isu tidak sedap, mengapa justru partainya membesar? Ini suatu yang harus diwaspadai oleh lawan politiknya. Jangan pandang rendah Prabowo dan Gerindra apabila tidak mau kecewa.
Nah, dari beberapa fakta tersebut diata, terbayang apa sebenarnya rahasia kekuatan kedua capres calon pemimpin bangsa Indonesia. Jokowi dinilai mampu mewakili rakyat, berasal dari rakyat, sederhana, diharapkan akan memperhatikan rakyat. Kekuatan utamanya adalah karena dia dinilai jujur. Rakyat menyukai ini. Oleh karena itu titik rawannya adalah apabila dia tersentuh dengan masalah kejujuran. Kerawanan adalah kelemahan yang apabila berhasil dieksploitir akan dapat menyebabkan kelumpuhan, bahkan permanen.
Jokowi akan menjadi sangat kuat dan sulit dikalahkan, bertahan pada elektabilitasnya yang tinggi apabila dia menunjukkan sedikit saja ketegasan, keberanian untuk mengimbangi kelebihan Prabowo. Parpol pendukungnya (PDIP) kini berada pada kondisi stabil, asli pendukung Megawati yang disebut Soekarnois. Dari perbandingan perolehan 18,53% pada pemilu 2004, (2009, 14,03 %) dan 18,95% pada 2014, itulah suara riil PDIP, dikisaran 18%. Dengan demikian berarti penunjukan Jokowi sebagai capres tidak berpengaruh terhadap perolehan suara PDIP. Ini yang perlu diwaspadai oleh PDIP.
Belum tentu simpatisan parpol koalisi PDIP mampu menutup kekurangan suara. Simpatisan PKB juga terbelah ke sisi Prabowo. Jadi intinya Jokowi harus terus dijaga elektabilitasnya. Dalam empat bulan terakhir elektabilitas Jokowi menurut survei telah turun 10 persen.
Harapan poros PDIP adalah tetap unggulnya elektabilitas Jokowi seperti yang dibuktikan dalam dua pilkada sebelumnya. Apakah ini akan berpengaruh dalam pilpres? Mestinya para analis poros PDIP sudah memahaminya, sebuah kesalahan dalam strategi mungkin saja akan menyebabkan kekalahan pahit bagi jago PDIP tersebut.
Prabowo jelas saat ini dapat disebutkan posisinya berada dibawah Jokowi dalam penilaian beberapa lembaga survei. Akan tetapi dalam beberapa polling dari beberapa media online justru Prabowo-Hatta berhasil unggul diatas Jokowi-JK. Mereferensi berita Antara, hingga Jumat ((23/5), di situs rmol.co pendukung Prabowo-Hatta (86,3%), Jokowi-JK12,2%. Beritasatu.com, Prabowo-Hatta (70%), Jokowi-JK (30%), situs tribunnews (Kompas Group), Prabowo-Hatta (53,4%), Jokowi-JK (43,77%).
Seperti yang kita ketahui, bahwa para pengguna internet hingga akhir Desember 2013 sudah berjumlah 71,19 juta orang, sementara jumlah pemilih diperkirakan sekitar 190 juta. Karena itu timses harus ketat memantau pergerakan informasi dari kedua pasang calon di media sosial. Media disebut perannya sebagai sebuah silent revolution, dari perkembangan beberapa polling diatas mestinya jangan dipandang ringan oleh timses Jokowi.
Timses Prabowo nampaknya kini di media sosial telah berada satu langkah di depan timses Jokowi. Prabowo untuk mengimbangi Jokowi juga harus masuk ke wilayah citra kejujuran dan menjadi bagian dari rakyat. Kira-kira begitulah. Dalam empat bulan terakhir, menurut survei elektabilitasnya naik sekitar 13 persen.
Dengan membaca, orang akan terinspirasi dan bisa tercuci otaknya, terlebih apabila seseorang diberikan stimulus yang masuk akal, maka dia akan dapat terpengaruh dan bisa berubah pilihannya. Itulah yang disebut conditioning, ilmu intelijen penggalangan, dimana target mau berfikir, berbuat dan memutuskan seperti apa yang dikehendaki oleh si pengondisi. Semoga bermanfaat.
Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen
www.ramalanintelijen.net