Prabowo masih Harus Kerja Keras untuk bisa Maju
4 April 2014 | 3:19 pm | Dilihat : 773
Panasnya dunia perpolitikan menjelang pelaksanaan pemilu legislatif tanggal 9 April 2014 seolah-olah sudah masuk ke arena Pilpres. Walau parpol melaksanakan kampanye, ada sisi pertempuran terbuka diantara calon presiden yang diusung. Kini Prabowo yang menjadi capres Partai Gerindra terus melakukan serangan terhadap PDIP, Bu Mega dan Jokowi. Selain ungkapan keras dan pedas, aroma sindiran Gerindra terus digulirkan oleh elit Gerindra Fadli Zon, yang sering muncul di media.
Prabowo mengungkit soal perjanjian Batutulis yang dibuat pada tahun 2009 saat dia menjadi cawapres Megawati (akhirnya kalah oleh SBY). Inilah dunia politik yang harus diwaspadai dan difahami dinamikanya.
Posisi parpol dan capres kini hanya bisa diukur melalui hasil survei yang mulai panen sebagai bisnis ramalan kepercayaan. Penulis sejak tahun 2004 mempercayai beberapa lembaga survei sebagai dasar pembuatan analisa. Beberapa negara besar yang sangat erat kaitannya dengan siapa the rulling party dan the next president juga melakukan spotting dan menggunakan lembaga survei khusus. Pada tahun 2004 dimana Partai Demokrat sebagai parpol baru yang hanya bertengger di posisi ke lima (7,45 persen), dibawah Golkar (21,58 persen), PDIP (18,53 persen), PKB (10,57 persen) dan PPP(8,15 persen) akhirnya berhasil mendudukan SBY menjadi Presiden RI.
Persoalannya, karena saat itu rakyat sudah terkondisikan, dibuat berfikir dan diberikan ruang untuk memutuskan, disitulah SBY tampil sebagai sosok yang mereka dambakan. Jenderal yang gagah, diharapkan akan membawa Indonesia menuju cita-citanya yang luhur. Semua tidak hanya bergulir demikian saja, jelas ada upaya-upaya strategis untuk tercapainya sasaran. Legislatif memang pokok, tetapi eksekutif yang mengatur dan menguasai sebuah negara, kira-kira begitulah.
Pada pilpres 2004, dengan bermodal lembaga survei yang kredibel dan benar-benar terpercaya, sebuah kegiatan intelijen tertutup mampu menyimpulkan dan melaporkan kepada pimpinan negaranya tiga bulan sebelum pilpres, siapa the next presiden itu. Itulah kehebatan survei yang walau hanya merupakan sebuah persepsi publik, tetapi mampu meramal dan menyimpulkan hasil surveinya mendekati kebenaran.
Nah, pada pemilu tahun 2014 ini, kita melihat bahwa beberapa lembaga survei telah menyampaikan hasil surveinya. Sementara ini PDIP serta Golkar tetap menjadi parpol papan atas dan sulit tergoyahkan. Capres yang muncul resmi adalah Jokowi, Prabowo, Aburizal Bakrie, dan Wiranto. Partai Demokrat sebagai partai yang berkuasa saat ini belum memutuskan hasil konvensinya.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menggelar survei pada tanggal 22-26 Maret 2014 menyebutkan dua parpol (Golkar dan PDIP) yang akan menang pada Pemilu 2014. Elektabilitas Partai Golkar dan PDI Perjuangan masing-masing 21,9 dan 21,1 persen. Sementara ini dua calon presiden yang sudah aman mendapatkan tiket pencalonan adalah Aburizal Bakrie (Golkar) dan Joko Widodo (PDI Perjuangan).
Peneliti LSI, Adjie Alfaraby, di kantor LSI Jakarta pada hari Rabu 2 April 2014 menyatakan , "Dari hasil elektabilitas tersebut, LSI memprediksi bahwa akan terjadi pergantian rezim pemerintahan dari koalisi pemerintahan yang dipimpin oleh Demokrat-Golkar pada Pemilu 2009, ke koalisi PDI Perjuangan-Golkar pada Pemilu 2014." Posisi PDIP masih berpeluang menyalib Golkar.
Selain Aburizal Bakrie dan Jokowi, dengan dasar ketentuan presidential threshold yang 25 persen suara nasional (20 persen jumlah kursi di parlemen), capres ketiga akan diperebutkan diantara Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Wiranto dari Hanura, serta pemenang Konvensi Demokrat dan koalisi partai Islam. Sesuai dengan UU Pilpres 2009, kemungkinan besar pilpres tahun ini hanya akan diikuti oleh tiga capres saja.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) melakukan survei pada tanggal 22-26 maret 2014 di 33 provinsi Indonesia, dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden. Margin of error sebesar 2,9 persen. Hasil survei tersebut adalah Partai Golkar (21,9 persen), PDIP (21,1 persen), Gerindra (11,1 persen), Demokrat (7,6 persen), PKB (5,9 persen), PKS (5,2 persen), Hanura (4,5 persen), NasDem (4,3 persen), PPP (3,4 persen), PAN (3,0 persen), PBB (0,9 persen), PKPI (0,5 persen).
Dari gambaran hasil survei tersebut, nampak PDIP dan Golkar tidak akan terlalu sulit untuk mengajukan capres masing-masing. Kedua parpol tersebut hanya membutuhkan koalisi satu parpol untuk mencapai syarat presidential threshold.
Bagi capres ketiga sesuai ramalan LSI, maka Prabowo, Wiranto, capres hasil konvensi Demokrat harus berjuang keras untuk memenuhi persyaratan pengajuan capres. Gerindra jelas sulit berkoalisi dengan PDIP maupun Partai Demokrat, peluangnya yang terlihat baru dengan PPP. Demikian juga tidak bisa berkoalisi dengan Golkar karena sudah sama-sama mempunyai capres. Peluang yang terbuka hanya dengan parpol Islam, karena dengan Hanura juga sulit. Nasdem jelas sudah merapat ke PDIP dengan keluwesannya.
Oleh karena itu, maka Prabowo sebagai capres Partai Gerindra beserta elit-elitnya harus bekerja keras menaikkan perolehan suaranya, paling tidak mempertahankan perolehan suaranya diatas 10 persen. Bargaining position Prabowo sementara ini terletak kepada elektabilitasnya sebagai capres, yang ternyata mampu mendongkrak elektabilitas partai Gerindra.
Entah mengapa, kini baik Prabowo maupun elit Gerindra terus menggempur Bu Mega maupun Jokowi? Strategi menurunkan citra dengan penyebutan boneka, ikan kurus apakah efektif? Yang perlu diingat, masyarakat Indonesia akan berfihak kepada orang yang terzholimi. Terlebih kini para 'lover' Jokowi sudah terbentuk banyak dibandingkan dengan para 'hater.'
Sesuatu hal yang sangat prinsip tentang presiden pilihanku, mengacu pilpres 2004 saat masyarakat 'gandrung' kepada SBY, kini masyarakat nampaknya gandrung kepada Jokowi. Conditioning terhadap konstituen telah terbentuk, mereka membutuhkan presiden yang berasal dari rakyat, bukan presiden yang penuh dengan gaya birokrasi, bukan calon presiden yang sukanya duduk di singgasana emas tetapi jauh dari rakyat. Sejak setahun terakhir, langkah Jokowi yang dikenal dengan blusukan, masuk ke lorong-lorong sempit, masuk memeriksa got, berbicara dengan gaya yang sederhana, bahasanya sederhana, itulah diterjemahkan dari rakyat untuk rakyat.
Nah terbentuklah opini, ini presidenku, rakyat biasa yang tidak perlu hebat-hebat sekali, tetapi menunjukkan kejujuran, mau dan mampu bersatu serta merapat dengan rakyat. Menurut teori intelijen penggalangan, rakyat dibiarkan berfikir dan biarlah rakyat yang memutuskan, mau memilih siapa. Sederhana sekali strateginya, tetapi memang itu yang dikehendaki rakyat. Kalau presiden rakyat kan akan memikirkan mereka, nah kalau presidennya orang hebat, belum tentu mau ingat sama rakyatnya, akan sibuk dengan pencitraan, menjaga kepentingan diri dan kelompoknya.
Itulah kondisi saat ini. Disinilah Prabowo sebagai salah satu aset bangsa harus berfikir ulang dengan strateginya. Jangan main gempur saja bak operasi militer, terakhirnya bisa-bisa bukan kemenangan yang didapat, bahkan bisa menimbulkan kerusakan yang tidak perlu bukan? Yang perlu diingat, strategi politik berbeda dengan strategi militer.
Oleh : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net