Hanya Mega dan SBY sebagai Queen dan Kingmaker Terkuat pada Pemilu 2014
31 December 2013 | 9:45 am | Dilihat : 1274
Jokowi diantara dua King dan Queenmaker (foto: rmol.co)
Jakarta, 31 Desember 2013. Secara umum, pemahaman dari King atau Queenmaker adalah istilah yang mengacu kepada orang yang memiliki pengaruh besar dalam kegiatan suksesi di sebuah kerajaan atau negara dalam bidang politik. Mungkin para maker tersebut disebut sebagai penentu. Dimana yang bersangkutan dapat berperan tanpa juga harus maju sebagai calon, karena Queen atau Kingmaker dapat menggunakan pengaruh dan kekuatannya di bidang politik, moneter, agama, dan militer untuk memengaruhi jalannya suksesi.
Nah, semakin dekat bangsa Indonesia menuju pemilu dan pilpres pada April dan Juli 2014, sebuah peta abu-abu mulai nampak. Secara psikologis terlihat baik personal/tokoh maupun kelompok yang mempunyai kekuatan berpeluang akan memengaruhi kemenangan. Secara personal, queen dan kingmaker yang semakin menguat adalah Ketua Umum PDIP Megawati dan Ketua Umum Partai Demokrat, SBY yang kini masih menjabat sebagai presiden.
Secara umum elit kelompok parpol bukanlah penentu. Lembaga Survei Nasional (LSN), pada Selasa 16 Juli 2013 menyebutkan, “Tingkat kepercayaan publik terhadap integritas parpol hanya 42,6 persen. Sementara 53,9 persen mengaku kurang percaya pada parpol, dan sisanya 3,5 persen menjawab tidak tahu,” katanya. LSN menyatakan setidaknya ada empat alasan yang membuat publik tidak mempercayai parpol. Pertama, publik menilai banyak parpol di parlemen yang terlibat kasus korupsi. Kedua, publik menilai parpol kurang mempedulikan masalah rakyat.
Ketiga, para pengurus partai dipersepsikan cenderung berperilaku pragmatis dalam menghadapi berbagai isu nasional. Keempat, banyak kasus amoral yang melibatkan kader-kader partai, misalnya perselingkuhan, beristri banyak, skandal seks, narkoba. Kini publik justru menaruh kepercayaan besar terhadap mahasiswa (70,8 persen), lembaga survei (69,3 persen), dan media massa (65,1 persen). Sementara itu, LSM mendapatkan kepercayaan 58,5 persen, dan ormas 57,5 persen.
Oleh karena itu maka yang akan berperan sebagai penentu lainnya adalah media. Peran dan pengaruh mahasiswa, LSM serta ormas tidak/belum menonjol. Demikian kuatnya media hingga bisa disebut sebagai silent revolution, sebuah revolusi senyap. Pengaruh dari media yang terkendali dan terencana akan menyusup tanpa disadari ke benak para konstituen. Kini, kekuatan media terpecah kedalam kepentingan pemiliknya yang ikut bersaing dalam politik. Sebagai contoh, Capres Partai Golkar, Capres dan cawapres Hanura, Partai Nasdem terlihat di dukung media secara signifikan. Sementara capres lain yang tidak menguasai media hanya membayar agar tetap dapat tampil di media. Parpol dan tokoh lainnya juga menggunakan jejaring sosial seperti face book dan twitter serta blog agar dikenal.
Penentu ketiga yang juga besar pengaruhnya adalah lembaga survei. Sejak pemilu tahun 2004, lembaga survei mulai dikenalkan di Indonesia sebagai dasar berpijak pengukuran baik popularitas maupun elektabilitas parpol dan capres dan bahkan kepala daerah. Walau hasil survei hanya sebuah persepsi para responden, tetapi dengan metodologi yang sahih, hasilnya dinilai sangat penting.
Dari ketiga kekuatan yang masuk dalam katagori penentu tadi, yang akan sangat menentukan masa depan Indonesia adalah Megawati dan SBY sebagai queen dan kingmaker personal. Media hanya berperan memengaruhi tidak memutuskan, demikian juga lembaga survei. Oleh karena itu penulis akan lebih fokus mengulas kedua tokoh personal ini yang mulai bersaing tanpa kontak fisik (berkomunikasi).
Dari hasil survei, sementara dapat diperkirakan kekuatan parpol akan bertumpu kepada tiga parpol papan atas yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar dan Partai Demokrat. Dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) lainnya, yang melaksanakan suvei antara 12-15 Oktober 2013. Hasilnya, menyebutkan, Partai Golkar dengan perolehan 20,4 persen, kedua PDIP dengan capaian 18,7 persen, dan Partai Demokrat 9,8 persen, sedangkan partai lainnya di bawah 7 persen. Menjelang lima bulan pemilu, elektabilitas Demokrat masih dibawah 10 persen.
Hasil Survei LSN (Lembaga Survei Nasional) yang digelar pada tanggal 1-10 Mei 2013 di 33 provinsi, elektabilitas Golkar menempati posisi teratas dengan 19,7 persen dan PDI-P di posisi kedua meraih suara 18,3 persen, Partai Gerindra (13,9 persen), Partai Hanura (6,9 persen), Demokrat (6,1 persen), PKB (4,8 persen), Partai Nasdem (4,6 persen), Partai Persatuan Pembangunan (4,3 persen), Partai Amanat Nasional (3,8 persen), Partai Keadilan Sejahtera (3,8 persen), Partai Bulan Bintang (1,4 persen), dan PKPI (0,5 persen). Adapun undecided (yang tidak memilih) sebanyak 11,9 persen.
Antara Megawati dan SBY, siapa yang kuat?
Posisi Politik Megawati
Beberapa lembaga survei memprediksi bahwa PDIP akan tetap menjadi parpol papan atas dengan perolehan diatas 18 persen dan bahkan lebih. Posisi PDIP yang selama ini oleh Ratu Banteng di posisikan diluar pemerintah nampaknya kini menarik perhatian masyarakat. Dari dua pemilu (2004 dan 2009), terlihat soliditas Mega, selalu menjadi runner up dibawah SBY, pendukungnya (pecinta Soekarno) masif. Ini berarti kekuatan dan kemampuannya memimpin PDIP terbukti ampuh dalam sepuluh tahun (dua periode pemilu) terakhir. PDIP tidak goyah walaupun terus didekati Partai Demokrat agar mendudukkan kadernya di Kabinet. Megawati tetap kukuh menolak koalisi yang dianggapnya kurang tepat bagi PDIP. Kini prediksi Mega terbukti, PDIP menjadi parpol yang tidak menjadi sasaran tembak dalam kasus-kasus korupsi.
Pada awal Tahun 2011, penulis membuat artikel dengan judul “Ramalan Intelijen dan Ramalan Jayabaya Presiden 2014” (http://ramalanintelijen.net/?p=4315), yang meramalkan pada saat itu bahwa Megawati yang akan menjadi presiden pada 2014. Ramalan intelijen di dasarkan dengan data-data the past (basic descriptive intelligence), the present (yang kini berkembang) dan akan dapat disusun sebuah forecast (the future). Mega adalah seorang patron, pengikutnya masif dan dikenal tegar dan setia sesuai dengan budaya paternalistik
Dalam waktu setahun terakhir mendadak muncul Jokowi (Joko Widodo) yang kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tanpa banyak mengiklankan diri, dengan sikap keterbukaan, kejujuran, keserhanaan, dekat dengan rakyat Jokowi menjadi sosok sangat terkenal dan disukai rakyat. Bahkan media Jerman, Der Spiegel kagum dengan Jokowi. Si penulis, Follath, menyebut Jokowi sebagai lelaki berkarakter "aneh", yang menjelma menjadi tokoh penting di Indonesia dan Asia. Dikatakannya, Jokowi kadang berperilaku seperti Khalifah legendaris di zaman kejayaan Islam, Harun al-Rasyid, yang suka keluar dari istananya di Baghdad pada malam hari untuk berbaur dengan orang biasa, dan mempelajari apa yang mereka pikirkan. Di sisi lain, kadang Jokowi menjelma bak Nelson Mandela yang charming dan selalu tampil optimistis.
Maka jadilah Jokowi yang disebut sebagai media darling menjadi public darling. Bahkan ada pemberitaan selangit, dikatakan oleh lembaga survei Cyrus, bahwa Jokowi adalah manusia setengah dewa. Siapapun yang nanti akan bergabung dengannya, maka dia akan menang baik dalam pemilu legislatif maupun pilpres.
Dalam kasus ini, yang diuntungkan secara politis adalah PDIP pastinya. Maka, Megawati akan mendapat tambahan vitamin politik yaitu Jokowi sebagai vote getter terbaiknya. Oleh karena itu, kemanapun Mega bergerak, Jokowi selalu dibawa serta. Masyarakat makin menggilai Jokowi, karena dengan elektabilitas tak terkalahkan, dia tetap setia dan menunjukkan sikap hormat kepada sang ibu Ketua Umumnya. Jokowi selalu menjawab datar apabila disentuhkan kepada masalah capres, dia hanya menyatakan masalah urusan banjir dan macet di Jakarta.
Kini, Megawati dengan ringan akan mudah menentukan dengan siapa PDIP akan berkoalisi. Penulis perkirakan PDIP akan mampu mengajukan capres dan cawapresnya tanpa berkoalisi. Kemungkinan PDIP akan memperoleh suara diatas 30 persen seperti pemilu tahun 1999. Maka Mega akan menjadi penentu terkuat pada pilpres 2014 mendatang, baik dia akan maju sendiri dengan wapres diluar parpol, bersama Jokowi ataupun mengajukan Jokowi sebagai capres dan menunjuk cawapresnya. Semua ditangan Mega. Kita tunggu saja setelah 9 April nanti. Yang pasti PDIP akan sulit dan kecil kemungkinannya berkoalisi dengan Hanura, Golkar dan Partai Demokrat.
Posisi Politik SBY
Walaupun Partai besutannya, Demokrat kini mengalami degradasi elektabilitas sebagai akibat beberapa kasus korupsi dan perseteruan dengan mantan ketua umumnya Anas Urbaningrum, posisi politik SBY masih kuat. Partai Demokrat pada pemilu 2009 meraih suara diatas 20 persen, penulis perkirakan pada pemilu 2014 masih akan mendapat suara diatas 10 persen. Bahkan kemungkinan bisa mencapai 13-15 persen. SBY bahkan realistis mentargetkan perolehannya maksimal 15 persen.
Secara perlahan SBY melaksanakan strategi perbaikan citra partainya. Metoda memilih capres melalui konvensi adalah langkah memberdayakan para tokoh baik internal maupun di luar Demokrat untuk menaikkan elektabilitas. Kita lihat pergerakan para tokoh-tokoh tersebut yang paling tidak dengan dana sendiri berkampanye keliling Indonesia, yang pasti membawa dan mengharumkan nama Partai Demokrat.
Langkah lain, gerakan politik dilakukan SBY. Setelah bertemu dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, pada hari Jumat(27/12/2013) Presiden SBY mengundang Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Keduanya menggelar pertemuan di Kantor Presiden sekitar satu jam. Pertemuan yang awalnya terbuka kemudian dilakukan dengan tertutup.Pertemuan tersebut di cover dengan pemberitaan umum, disebutkan hanya membahas secara garis besar persoalan perkotaan di DKI Jakarta. Salah satunya banjir. SBY pun sempat berpesan agar Jokowi memperhatikan ancaman banjir di ibukota.
Yang dilakukan SBY adalah sebuah langkah penjajakan. Dengan Ketua Dewan Pembina Prabowo, kemungkinan karena elektabilitas Prabowo dinilai SBY cukup bagus. Apabila perolehan Gerindra baik dan Partai Demokrat juga cukup baik, kemungkinan Demokrat akan berkoalisi dengan Gerindra. Kunci terakhir adalah perolehan hasil pemilu dan kedua elektabilitas capres antara Prabowo dan pemenang konvensi. Kemungkinan Prabowo capres, dari Demokrat sebagai cawapres. SBY meyakini bahwa Prabowo tidak akan bergabung kembali dengan PDIP. Sementara posisi Yusri yang diundang SBY besar kemungkinan akan menjadi mediator koalisi antara Demokrat dengan parpol-parpol Islam.
Yang menarik adalah pertemuan antara SBY dengan Jokowi. Dalam posisi politik Jokowi adalah magnet teratas capres masa kini. SBY menginginkan pandangan serta pendapat Jokowi dalam pilpres. Sebagai politisi PDIP, Jokowi akan tetap lekat dengan petunjuk Megawati pastinya. Mengingat PDIP serta Jokowi kini diunggulkan, kemungkinan SBY secara halus akan menawarkan koalisi kedua parpol, bahkan apabila mungkin menggandengkan Jokowi apabila nanti diajukan Mega menjadi capres PDIP. SBY akan menyodorkan capres hasil konvensi Demokrat sebagai cawapres Jokowi atau PDIP (Megawati).
Dengan langkah politiknya, maka SBY pada pemilu dan pilpres 2014 akan menjadi kingmaker. Sebagai presiden, jelas power SBY masih cukup besar, kredibilitasnya tinggi. Bagaimana dengan Golkar dan Aburizal Bakrie, dan Wiranto dengan Hanura serta elit lainnya? Baik Aburizal Bakrie, Wiranto, Surya Paloh, mereka bukanlah kingmaker. Mereka hanya sibuk dengan upaya bagaimana menaikkan elektabilitas dan upaya memenangkan pemilu dan pilpres. Sulit untuk menandingi gerak langkah misterius Megawati serta langkah cerdik SBY yang sarat pengalaman itu.
Kesimpulan
Kesimpulannya, hanya Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia, Megawati serta Ketua Umum Partai Demokrat SBY sebagai Queen dan Kingmaker terkuat pada tahun 2014. Keduanya akan bertarung, bersaing dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia. Ditangan keduanyalah akan ditentukan siapa yang akan menjadi Presiden RI periode 2014-2019.
Penulis hanya mengingatkan pengalaman pahit PDIP berdasarkan cerita Alm. Bapak Matori Abdul Djalil. Pada pemilu tahun 1999, PDIP memperoleh 33,74 persen suara nasional, Golkar 22,44 persen, PKB 12,61 persen, PPP 10,71 persen, PAN 7,12 persen. Yang terjadi adalah bukan Megawati yang menjadi presiden, tetapi Gus Dur yang didukung Amien Rais dan parpol koalisi. Para politisi PDIP di DPR nampak tidak berdaya menghadapi jepitan koalisi parpol Islam.
Menurut Pak Matori kepada penulis, saat itu hampir saja Ibu Megawati tidak diajukan dalam pemilihan cawapres, karena adanya penolakan dan rasa kecewa para politisinya. Pak Matori kemudian pasang badan dan sebagai Ketua Umum PKB mencalonkan Megawati sebagai Cawapres. Akhirnya jadilah Mega menjadi Wakil Presiden, dan kemudian feeling Pak Matori benar, Mega menggantikan Gus Dur menjadi Presiden.
Dari pembahasan diatas, nampaknya kini PDIP harus solid, akui dan ikuti apa keputusan Ketua Umum, para politisi PDIP sebaiknya mengurangi celotehan ke media. Diam itu belum tentu kalah, diam adalah kekuatan, menyimpan rahasia, misterius, tidak mudah diintervensi. PDIP sudah mendapat momentum yang tepat. Disitulah rahasia kemenangan masa depan. Percayakan kepada Megawati, jangan belum apa-apa sudah banyak ide yang justru merugikan partainya sendiri. Penulis rasa ide seperti PDIP Projo tidak perlu. Justru akan menimbulkan kekecewaan dan menimbulkan faksi yang saling berbenturan. Semoga bermanfaat
Oleh : Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net