Informasi Internal, Mengapa Ruhut Ditolak

7 October 2013 | 3:48 pm | Dilihat : 389

Tiga Politisi Partai Demokrat (news.viva.co.id)

Kisah penolakan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menjadi Ketua Komisi III menjadi berita yang cukup ramai dibicarakan. Tercatat ada empat politisi yang dengan keras terus menolak Komisi Hukum DPR dipimpin oleh Bang Poltak, nama alias dari Ruhut. Mereka adalah Syarifudin Suding (Hanura), Bambang Soesatio (Golkar), Ahmad Yani (PPP), Desmon Mahendra (Gerindra), dan Nudirman Munir (Golkar).

Setelah sidang ditunda beberapa hari, saat dilanjutkan di rapat Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2013). Ruhut Sitompul akhirnya mundur dari calon Ketua Komisi III DPR. Kemudian Ruhut pun menyampaikan pidato pengunduran dirinya sembari berlinang air mata. Dikatakannya, "Saya tidak mau ada polemik di Komisi dan janji saya ingin menegakkan hukum tetap. Saya sedih sahabat saya menangis," kata Ruhut lirih.

Melihat kasus penolakan terhadap Ruhut, banyak yang kemudian bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dibalik itu semua? Apakah ada kepentingan politik tertentu?

Beruntung penulis pada hari Selasa (24/9/2013) saat menonton konser Yovie and his friends duduk bersebelahan dengan salah satu anggota DPR dari Komisi Hukum. Setelah berkenalan, penulis disela-sela konser banyak menanyakan ada apa sebenarnya dengan kasus penolakan Ruhut. Bukankah memang jabatan Ketua Komisi III tersebut adalah jatah dari Partai Demokrat. Lantas ada kepentingan apa penolakan itu. Apakah Ruhut akan membongkar kasus internal setelah menjadi pemimpin? Teman baru itu menjalaskan dari A hingga Z tentang persoalan tersebut.

Ternyata back ground penolakan hanya dilatar belakangi dengan tidak puas dan tidak yakinnya para anggota di komisi hukum tersebut dengan sikap Ruhut selama ini. Mereka mengkhawatirkan bahwa kewibawaan dan citra komisi hukum akan runtuh. Para anggota komisi III yang menolak dan bersuara keras itu dikenal sebagai anggota DPR yang kerap tampil di media, mereka berasal dari lintas parpol, sehingga kerasnya suara si Poltak tidak mampu meredam kerasnya penolakan ke empat lawannya. Poltak dikepung hingga persoalan yang kurang pantaspun dimunculkan, itu kata si teman tadi.

Politisi disebelah  juga mengatakan bahwa para anggota komisi hukum selama ini merasa tidak puas dengan penampilan Ruhut yang kalau berbicara kleras tapi lebih menjurus nekat, katanya suka kurang relevan.  Juga ada tidak puas dengan penampilan Ruhut dalam sidang di komisi saat membahas RDP, berpakaian kurang pantas. Kadang kalau berbicara di rapat dinilai tidak pantas.

Nah, rupanya alasan para anggota komisi hukum lebih kepada penilaian individu Ruhut. Tidak ada latar belakang politik, kata politisi disebelah penulis.

Setelah Ruhut ditolak, yang jelas elit Partai Demokrat kemudian berada di posisi sulit. Yang pasti pengajuan nama Ruhut atas persetujuan Ketua UmumPartai Demokrat (Pak SBY). Apabila Ruhut langsung diganti, maka kewibawaan partai akan turun dan wibawa Pak SBY juga akan turun. Kemudian diambil solusi, Ruhut mengundurkan diri, diganti yang lain dari PD. Mengundurkan diri jelas bukan tipe seorang Ruhut, tetapi apa mau dikata, jelas itu sebuah perintah atau keputusan DPP pastinya. Disini kelemahan sistem monitoring Fraksi atas situasi dan kondisi di komisi-komisi.

Ini sebuah pelajaran, bahwa kita jangan jumawa, belum tentu parpol pemenang akan terus berkuasa dan mampu mengontrol elit parpol lainnya, walaupun dalam kasus ini lobi sudah dilakukan, toh gagal juga. Bagus juga kasus ini, menunjukkan bahwa para anggota DPR masih bangga dengan komisinya, kalau mereka cuek-cuek saja, yah kita tidak tau akan kemana DPR menuju. Tapi yang pasti kita akan menonton adanya panggung keributan baru.

Penulis pernah talk show bersama-sama Bang Ruhut di TV One, memang gaya bicaranya keras dan bebas. Tidak usah dirubah Bang, karakternya ya memang begitu. Kadang sebuah parpol perlu juga orang-orang seperti itu, nekat, berani dan kadang urat malunya putus. Kalau di politik soal dikorbankan adalah hal biasa, harus siap bukan?  Maju terus Poltak, suarakan yang benar, beranikah?

Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

 
This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.