Sebuah Dilema di PDI-P

10 April 2013 | 12:44 pm | Dilihat : 469

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dilema mengandung arti situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan atau situasi yang sulit dan membingungkan.

Dilema, suatu pilihan yang kadang-kadang sulit sekali untuk menentukan pilihan.  Dari dilema ini, bisa timbul suatu yang menyenangkan. Itu akan terjadi kalu kita memilih dan mengambil keputusan mana yang benar untuk dijadikan sebuah solusi dari dilema yang dihadapi.

Tapi bagaimana jika dilema menimbulkan/menyebabkan  sesuatu yang buruk?Banyak orang mengalami akibat dilema yang satu ini. Beberapa di antaranya menyesal kenapa menentukan pilihan yang salah, beberapa lagi merasa putus asa dengan kejadian yang telah terjadi, beberapa lagi mencoba untuk bangkit lagi dari sebuah keterpurukan.

Membaca media hari ini, penulis melihat sebuah dilema muncul di PDI-P. Pasalnya, ada sebuah berita menyebutkan "Kiemas rela PDIP cuma mendapat posisi cawapres." Kiemas, Maksudnya Taufik Kiemas (TK), suami Ibu Megawati menurut surat kabar itu sedang merancang koalisi dengan Golkar atau Demokrat. Nampaknya memang benar bahwa TK sudah tidak menempatkan isterinya Megawati sebagai capres potensial untuk diajukan sebagai calon dari PDI-P.

Menurutnya tidak ada capres atau cawapres yang sanggup mengusung calonnya sendirian tanpa berkoalisi. Hal ini menurut TK karena syarat dukungan pencapresan (presidential threshold) menentukan syarat 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dari hasil pemilu 2014. Golkar tetap menyalonkan Aburizal Bakrie, maka PDI-P menyiapkan cawapres. "Demikian juga dengan Demokrat," katanya. TK tetap menginginkan, calon dari PDI-P adalah yang muda, tanpa menyebut siapa kadernya.

Sebenarnya, beberapa waktu yang lalu TK sudah menyatakan hal serupa, tidak setuju apabila Mega kembali maju sebagai capres. Menanggapi apa yang disampaikan TK, Megawati menyatakan bahwa antara suami isteri, pandangan politik mereka bisa berbeda. Rasanya di Indonesia sebaiknya suami isteri saling sepakat dan saling mendukung, terlebih mereka satu perahu yaitu PDI-P.

Penulis hingga saat ini masih melihat bahwa Megawati masih kuat dan berada di posisi atas sebagai capres potensial, pesaing utamanya adalah Aburizal Bakrie (Ical). Kelemahan PDI-P hanya karena tidak dimilikinya media sebagai sarana mengangkat elektabilitasnye. Berbeda dengan Ical, yang terus gencar beriklan. Memang dalam setahun terakhir, posisi Mega dibayang-bayangi oleh Ical yang memainkan kartu medianya untuk mengenalkan dirinya kepada masyarakat. Dan hasilnya Mega elektabilitasnya agak turun dan Ical melambung 90 persen, menempel ketat. Baca "Aburizal kini Ancaman Potensial bagi Mega",  http://ramalanintelijen.net/?p=6612.

Dalam situasi tersebut di internal PDI-P, muncul dilema, Mega tetap dimajukan atau tidak. Apabila maju, lantas dapat tentangan TK, pasti terjadi konflik internal dikalangan PDI-P yang jelas merugikannya sendiri, disamping akan semakin meruncingnya perbedaan poltik antara suami isteri panutan tersebut. Apabila tidak maju, sebagian besar kader PDI-P nampaknya masih menginginkan Mega tetap maju. akan terjadi perpecahan yang merugikan nampaknya. Peluang Mega sebagai capres terkuat saat ini akan sirna. Nah, disinilah akan teruji kepemimpinan Mega, yaitu mengambil keputusan yang jelas harus menguntungkan parpolnya.

Bagaimana posisi koalisi? Menurut pengamat, pernyataan TK membuka peluang calon lain diluar Mega, penjajakan awal dalam komunikasi politik. Parpol yang disebutnya hanya Golkar dan Partai Demokrat. Apabila berkoalisi dengan Golkar, nampaknya mudah, karena Ical sudah menetapkan menjadi capres, hanya tinggal menentukan siapa kader PDI-P yang elektabilitasnya tertinggi. Nah, masalah muncul apabila PDI-P akan berkoalisi dengan Demokrat.

SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, menyatakan kedepan, duet presidennya sipil-militer. Anggota Wanbin PD, Ahmad Mubarok menyatakan bahwa duet sipil-militer merupakan kombinasi sempurna. Keseimbangan keterbukaan dengan menajemen power ala TNI yang mengaturnya," katanya.

Nah, dengan demikian, maka PDIP harus mengajukan cawapresnya  dari militer apabila mau berkoalisi dengan Demokrat. Masalah kedua, Demokrat akan menggelar konvensi seperti yang dilakukan Golkar pada era kepemimpinan Akbar Tanjung. Apakah PDI-P akan mengikuti ritme politik dari Demokrat? Selama ini PDI-P selalu memosisikan dirinya sebagai oposisi dari Demokrat. Mengapa tidak dari dahulu saja PDI-P dibawa berkoalisi?

PDI-P bukanlah parpol yang lemah, pada pemilu 2009 parpol papan atas.  Walau saat ini menurut survei elektabilitasnya dibawah Golkar, partai ini masih kuat sebagai parpol papan atas. Megawati masih di posisi teratas. Pertanyaannya, mengapa rasa percaya diri TK demikian rendah? Masalahnya, kini terkait dengan harga diri PDIP. Pemilu masih setahun lebih, mengapa seakan-akan PDIP sudah digambarkannya menyerah kalah? Pertanyaan ini yang membuat penulis terus berfikir saat tidur. Partai banteng moncong putih yang militan ini justru dilemahkan oleh elitnya sendiri, ada apa? Aneh memang.

Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi gambar :   ipungrausyanfikr.wordpres.com

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.