Kritik Sarlito terhadap Rhoma Irama

9 December 2012 | 8:59 am | Dilihat : 1362

 

Pagi ini penulis membaca sebuah tulisan dari Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia disebuah media cetak, dengan judul "Gus Dur." Penulis mengenal baik beliau sebagai sesama anggota kelompok ahli di BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Disamping nama besar lainnya yang tergabung di  Pokahli, seperti Prof Komaruddin Hidayat (Rektor UIN) , Prof. Nasaruddin Umar (Wakil Menteri Agama), serta beberapa doktor lainnya.

Ketiga tokoh yang penulis kenal tadi mempunyai kehebatan, baik sebagai penulis di media cetak maupun sebagai narasumber di media elektronik. Pak Nasaruddin mempunyai kolom tetap "Tau Litik" di sebuah harian Ibukota, Pak Komaruddin selalu menjadi penulis di beberapa media cetak, disamping beliau-beliau juga menjadi narasumber di media elektronik. Alhamdulillah, penulis juga mempunyai hobi yang sama sebagai penulis dan sebagai narasumber dibeberapa stasiun TV berkaitan dengan masalah terorisme dan isu keamanan.

Nah, kita kembali ke teman penulis, Pak Sarlito ini. Pak Sar, menuliskan hasil diskusinya saat diundang sebuah stasiun televisi bersama pengamat politik, Hanta, dan Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (Wasekjen PKB) Jazilul Fawaid untuk membahas topik yang paling kontroversial terkini. Yaitu tentang sosok Rhoma Irama yang mencalonkan diri sebagai presiden RI 2014. Menurut catatan, nama asli Bang Haji yang tanggal 11 Desember 2012 ini berusia 66 tahun, adalah Oma Irama, tetapi kemudian sang satria bergitar setelah ditambah dengan gelar Raden dan Haji, lebih terkenal dengan panggilan Rhoma Irama.

Pak Sarlito dan Hanta menyatakan tidak mengerti cara berfikir elit PKB tersebut. Walau Jazilul menyatakan bahwa ini baru lirikan pertama, ini lirikan yang serius, tidak main-main, karena Rhomanya juga serius, itu kata Pak Sar. Pimpinan PKB sudah bertemu langsung dengan Rhoma Irama dan kesimpulannya PKB masih akan serius melirik Rhoma walaupun Hanta sudah mengingatkan bahwa masih banyak tokoh yang lebih layak dilirik PKB seperti Mahfud MD, KH Said Agil Siradj, dan Muhaimin Iskandar.

Dalam talk show tersebut, alasan Jazilul hanyalah karena “presiden” band Soneta ini tokoh populer dan punya sedikit pengalaman politik (pernah jadi anggota DPR di era Suharto). Yang membuat Pak Sar bingung (dalam bahasa psikologinya: disonan) adalah mengapa kok sosok seperti Rhoma Irama bisa “klik” dengan PKB, padahal PKB adalah partainya Gus Dur. Dalam pandangannya,  kepribadian Rhoma bertolak belakang dengan watak Gus Dur.

Menurut Pak Sar yang kenal baik dengan Gus Dur, beliau bacaannya sangat banyak dan hampir semua isi buku yang pernah dibacanya dia hafal luar kepala. Beliau adalah seorang pemikir dan budayawan yang punya visi yang sangat jauh ke depan. Pengakuan terhadap agama Kong Hu Chu dan menjadikan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional adalah salah satu keputusannya sebagai presiden RI yang sangat signifikan untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Suatu keputusan yang sangat berwawasan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat inklusif. Di sinilah Gus Dur berbeda dari Rhoma Irama yang justru sangat eksklusif.

Saat pilkada DKI Jakarta, Rhoma menurut Pak Sar, mengecam Ahok, calon Wagub DKI, hanya karena dia nonmuslim dan nonpribumi. Bahkan saking semangatnya, Bang Haji ini sempat menuding ibunya Jokowi juga nonmuslim. Kesimpulannya, jangan pilih pasangan Jokowi-Ahok. Tapi dia tidak mau mengakui ucapannya di salah satu masjid di DKI itu sebagai kampanye. Itu hanya sebuah khotbah yang wajib disampaikan dalam posisinya sebagai seorang ulama. Kesimpulannya, jangan pilih pasangan Jokowi-Ahok. Tapi dia tidak mau mengakui ucapannya di salah satu masjid di DKI itu sebagai kampanye. Itu hanya sebuah khotbah yang wajib disampaikan dalam posisinya sebagai seorang ulama.

Rhoma juga mengeritik Inul karena goyang ngebornya. Sebagai sesama penyanyi dangdut mungkin saja dia merasa terancam oleh kepopuleran Inul (di kampung-kampung banyak penyanyi dangdut yang gayanya lebih jorok dari Inul, tetapi tidak diganggu oleh Bang Haji), hanya saja alasan-alasan yang digunakannya selalu agama. Tapi mau agama atau bukan agama, yang jelas sikap Bang Haji ini adalah eksklusif diskriminatif, ini kesimpulan teman penulis tersebut.

Ditegaskannya "Sejauh saya tahu, sosok seperti Bang Haji itu bukan Gus Dur banget. Makanya saya bingung sekali melihat realitas bahwa Rhoma Irama dilirik PKB, partainya orang nahdliyin, partai yang merupakan realisasi ideologi Gus Dur. Popularitas seperti yang diargumentasikan oleh Jazilul memang penting untuk pemenangan pemilu. Pastinya tidak ada yang mau memilih orang yang tidak dikenal."

Popularitas adalah pintu masuk pertama sebelum elektabilitas. Orang populer saja belum tentu layak dipilih. Untuk itu masih diperlukan dua syarat lagi,yaitu kapabilitas dan integritas kepribadian. Soal kapabilitas memang masih perlu dibuktikan setelah yang bersangkutan terpilih dan menjalankan fungsinya sebagai presiden. Apakah dia bisa mengurus masalah kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan bangsa yang 250 juta jiwa ini?

Dituliskannya bahwa soal integritas seharusnya sudah bisa diketahui dari rekam jejak calon sejak awal. Dibandingkan dengan Rhoma Irama, beliau berpendapat bahwa Gus Dur jauh lebih berintegritas. Tapi sudah kapabel dan berintegritas pun Gus Dur tidak bisa terlalu lama menjadi presiden. Dia akhirnya dijatuhkan oleh MPR gara-gara faktor politik.Yang menjatuhkan juga pentolan-pentolan anggota MPR yang dulu ramai-ramai mendukungnya untuk jadi presiden (dengan mengatakan bahwa perempuan, maksudnya Megawati, tidak layak jadi pemimpin).

Jadi selain popularitas, elektabilitas, kapabilitas, dan integritas, masih ada lagi faktor politik yang bisa-bisa berada di luar batas kendali seorang presiden sekalipun. Kesimpulan Pak Sar, "Pertanyaannya sekarang, sampai sejauh mana penyanyi Begadang ini punya elektabilitas, kapabilitas, dan integritas?" Secara pribadi, setelah melihat acara Mata Najwa, penulispun juga  menjadi heran mengapa Rhoma berani tampil, dan  tanpa sadar dia dikuliti disitu. Habislah sudah.

Itulah coretan Pak Sarlito, sebagai seorang pakar psikologi yang demikian luas pengetahuannya dalam membahas masalah apapun. Setiap bertemu dengan beliau, penulis selalu mendapat ilmu baru, demikian juga apabila membaca tulisan beliau. Oleh karena itu penulis cuplik pemikiran beliau dalam konteks politik yang ditinjau dari sisi psikologi. Pak Sar tidak bermaksud menjelekkan Bang Haji. Intinya, Pak Sar mencoba menyadarkan bangsa ini, jangan ada yang berambisi terlalu besar, mau jadi pimpinan nasional tanpa mengukur diri. Lebih besar pasak daripada tiang, itu intinya. Bukan soal buang duit saja kerugiannya, tetapi yang repot ditertawakan banyak orang, malu kan.

Semoga apa yang penulis sampaikan juga menambah wawasan bagi pembaca. Membagi ilmu adalah bagian ibadah itulah dasar berfikir yang benar, tulisan tidak mencerca, tetapi menyadarkan, menginspirasi dan mendudukkan kita di tempat yang wajar, realistis dan tidak dalam kondisi bermimpi atau mungkin sedang "sakau", kira-kira begitulah.

Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi Gambar : skyscrapercity.com

 

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.