Mega, Penumpang Gelap dan Blunder Politik Prabowo
15 October 2012 | 7:36 am | Dilihat : 783
Hari ini Jakarta sebagai ibukota akan mempunyai pemimpin baru, pasangan Joko Widodo-Basuki Cahaya Purnama akan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Sebuah bukti persaingan politik antara kelompok parpol penguasa melawan semacam parpol oposisi yang pada akhirnya dimenangkan oleh PDIP-Gerindra yang posisi politiknya berada diluar kelompok koalisi parpol penguasa. Pada pembukaan Rapat Kerja Nasionas (Rakernas) II PDIP di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (12/10/2012), Megawati mengatakan dari delapan Pilkada yang baru berlangsung, pemilu DKI Jakarta yang paling fenomenal. Karena itu para kader PDIP sepatutnya bangga dengan kemenangan kadernya tersebut.
Mega merasa bangga dengan Pilkada DKI Jakarta, meskipun dalam perjalanan kampanye diwarnai perdebatan isu SARA, tetapi prosesnya tetap berada di jalur demokrasi yang sehat dan santun. Menurutnya, mayoritas rakyat Jakarta masih mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Dia mengaku bersyukur karena Pilkada DKI Jakarta telah mematahkan keyakinan parpol selama ini bahwa uang menjadi fundamental dalam pertarungan politik.
"Mitos uang adalah segala-galanya telah dipatahkan di Pilkada Jakarta. Kita juga semakin paham bahwa politik pencitraan ternyata ada batasnya," tegasnya. Hal ini terkait dengan beredarnya berita saat kampanye, Fauzi Bowo didukung dana yang sangat besar untuk menaikkan citranya. Selain itu Mega menilai rakyat kini tidak lagi melihat politik transaksional, tidak memperhitungkan untung rugi. Namun, rakyat rela menceburkan diri dalam politik secara bersama-sama
Yang menarik, pada rakernas tersebut sebuah sentilan diutarakan Mega, yang menyatakan bahwa ada banyak penumpang gelap yang menikmati kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta. "Ikut menikmati sukses tanpa merasa terganggu sedikit pun secara moral," katanya. Memang Mega tidak menyebutkan siapa pihak-pihak yang dimaksud menunggangi kemenangan jagonya tersebut. Banyak pihak kemudian mengkaitkan rasa kurang nyamannya Megawati dengan meningkatnya elektabilitas Partai Gerindra dan Prabowo Subianto terkait Pilkada DKI Jakarta tersebut.
Berdasarkan survei yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada 7 hingga 12 September 2012, dirilis tanggal 23 September 2012. Survei pra-pilkada dan exit poll putaran kedua itu menunjukkan bahwa, jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, 19,1 persen responden akan memilih Prabowo, sedangkan Mega hanya berada di urutan kedua dengan prosentase 10,1 persen. Yang menarik, sebanyak 25 persen pemilih Jokowi-Basuki memilih Prabowo dan hanya 13 persen memilih Megawati sebagai presiden pada Pemilu 2014. Sementara itu, 13 persen pemilih Foke-Nara cenderung memilih Prabowo, hanya 8 persen yang memilih Megawati.
Pilkada DKI Jakarta dan hasilnya menunjukan trend lebih memperkuat Prabowo di tingkat massa pemilih dibandingkan dengan Megawati. "Ini merupakan fakta baru sebab tidak pernah terjadi dalam survei nasional maupun pilkada di daerah lain, pendukung Prabowo jauh lebih besar dari pemilih Megawati ketika simulasi dilakukan secara terbuka," papar CEO SMRC Grace Natalie saat menyampaikan hasil survei SMRC di Morrissey Serviced Apartment Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (23/92012).
Secara lebih rinci, SMRC mengeluarkan rilis hasil survei yang menyangkut Pilpres 2014, Prabowo 19,1 persen, Megawati 10,1 persen,Aburizal Bakrie 10 persen, Jusuf Kalla 6,5, persenDahlan Iskan 5,6 persen, Hidayat Nurwahid 5,2 persen, Sultan Hb 4,9 persen, Hatta Rajasa 3,7 persen, Sutiyoso persen, Wiranto 1,9 persen, Sri Mulyani 1,6 persen, Anas Urbaningrum 1,5 persen, Mahfud MD 1,4 persen, Djoko Suyanto 1,1 persen, Surya Paloh 1,1 persen.
Sebelum pernyataan Megawati, rasa kecewa juga disampaikan Politikus senior PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas. Dia membenarkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting soal kemenangan Jokowi yang lebih menguntungkan Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto. Menurutnya, PDI Perjuangan sudah kapok berkoalisi dengan Gerindra. "Saya rasa kapok juga. Kami tidak mau jadi anak kecil. Untung Saiful Mujani ngomong, jadi bahagia juga kami ini," ujarnya di kompleks parlemen Senayan, Senin 24 September 2012.
Nah, dari ungkapan kedua tokoh besar PDIP tersebut, terlihat bahwa kemenangan Jokowi-Ahok memang telah berhasil dimanfaatkan secara politis oleh Prabowo dan Gerindra. Kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama berpotensi dapat menghapus citra negatif Prabowo yang selama ini dikaitkan dengan tragedi kekerasan pada 1998 dan kekerasan terhadap etnis Cina. Upaya keras Prabowo mendorong Ahok yang juga bukan kadernya sebagai wakil gubernur, lebih menampilkan citra Prabowo sebagai tokoh yang pluralis. Survei yang sama justru tidak menunjukkan peningkatan elektabilitas Mega pasca-kemenangan Jokowi sebagai tokoh utama pada pilkada tersebut.
Memang proses politik serta momentum sekecil apapun harus dijadikan pelajaran bagi PDIP yang oleh banyak pihak dinilai kurang "lihai" dalam memenangkan pergulatan politik. Taufik mengakuinya dan mengatakan bahwa PDI Perjuangan sendiri menyadari hal ini. Hal ini, menurut dia, patut jadi pelajaran dan tak patut disesali. "Kalau bilang kami ditunggangi, kan kami yang malu. Kalau bodoh, ya bodoh saja, jangan marah-marah," katanya.
Dalam proses pilpres 2014 mendatang, walau geliat pilkada DKI menguntungkan Prabowo, dilain sisi jelas merugikannya. Peluangnya untuk kembali bergabung bersama Megawati nampaknya mulai mengecil dan mungkin akan hilang. Menurut penulis, dalam sebuah hitungan sederhana, apabila mengulang pilpres 2009, Mega dan Prabowo kembali bersatu sangat besar kemungkinan keduanya akan menang pada 2014. Menjelang dua tahun pilpres, elektabilitas keduanya berada diurutan teratas, tidak tersaingi. Tetapi itulah, nasi sudah menjadi bubur.
Di internal PDI Perjuangan, semangat anti-koalisi dengan Gerindra dan Prabowo sudah muncul. "Ini membuat semangat kami untuk tidak berkoalisi lagi semakin besar," kata Taufik Kiemas. Maka selesailah cerita Prabowo di PDIP. Menurut penulis, pertempuran di DKI dimenangkan Prabowo, tetapi justru dalam perang besar perebutan pimpinan nasional kemungkinan besar dia akan kalah. Entah parpol kuat mana lagi yang akan didekatinya? Itulah blunder politik Prabowo menurut penulis.
Prayitno Ramelan. www.ramalanintelijen.net
Ilustrasi gambar : Ciar-ciar.blogspot.com