Pengakuan Bayu Teroris Solo dan Bom Pipa di Jakarta

7 September 2012 | 5:52 am | Dilihat : 826

Sebuah testimoni yang lebih memperjelas  ulah teror beberapa anak muda di Solo di publikasikan oleh  Mabes Polri, dimana salah satu tersangka teror, Bayu Setiono yang ditangkap  di Karanganyar, Solo  memberi pernyataan berupa pemutaran video di Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta, pada Kamis, (6/9/2012).

Bayu Setiyono, lahir 15 Maret 1990 di Surakarta, Jawa Tengah, menjadi salah satu tersangka teroris dan berhasil ditangkap hidup-hidup oleh Densus 88 Anti Teror Polri pada Jumat malam 31 Agustus 2012.  Bayu Setiono memberi pernyataan  bagaimana dirinya bersama, Farhan, Firman, Muchsin, dan dua orang yang tidak disebutkan namanya melakukan penyerangan terhadap polisi yang bertugas di Pospam 05 yang terletak di Serengan, Solo, Pos Pengamanan Lebaran di Pos Gladag, Solo, dan Pos Polisi Singosaren, Solo.

 

Testimoni Bayu Setiono

 

Bayu menceritakan kisahnya sampai kemudian menjadi seorang teroris. Ia mengatakan awal mula mengenal jihad dalam Islam adalah tahun 2007. Saat itu, ia bekerja sebagai penjaga di Pondok Pesantren Ngruki sehingga mengenal banyak santri. Di tempat tersebut, Bayu mempelajari Islam dan meminta pendampingan."Saya ingin mempelajari tentang Islam sebaik-baiknya. Saya ketemu Muchsin dan Firman tahun 2011. Pertama ketemu Firman yang dibicarakan adalah halaqoh (semacam diskusi)," kata Bayu.

Bayu menuturkan kegiatan halaqoh belum dapat berjalan karena Muchsin yang ada di Jakarta belum juga datang ke Solo. Hingga tiga hari kemudian, Muchsin akhirnya tiba, dan mereka pun bertemu di sebuah masjid bernama Al Huda. "Di situ berempat, saya, Muchsin dan Firman. Satu lagi nggak tahu namanya siapa. Kami merencanakan suatu halafa (sumpah). Pimpinan kami nggak tahu namanya siapa," ujarnya. Dalam kegiatan itu, kemudian datang seseorang dari Filipina yang bernama Farhan. Maka dibahaslah rencana perampokan toko emas Mahkota di Pasar Klewer, Solo, dalam rangka mencari dana untuk "perjuangan" mereka. Perampokan yang direncanakan gagal karena penjagaan cukup ketat.

Kegagalan itu membuat mereka sepakat bahwa dana operasional perjuangan mereka ditanggung bersama. Selain itu  ada seorang 'ikhwan', mahasiswa teman baik Farhan dan Muchsin yang menjadi donatur. "Namanya saya nggak tahu. Dia salah satu pendukung. "Pada 16 Agustus 2012, Farhan memberikan instruksi untuk melakukan penembakan terhadap polisi." kata  Bayu.

Diungkapkannya  alasan mengapa sasaran mereka adalah polisi.  Penentuan sasaran itu berdasarkan arahan dari salah satu pimpinan mereka yang mengupas sebuah buku karangan seorang ustad bernama Abdurohman. Dalam buku itu, sang ustad memerintahkan pembunuhan aparat polisi karena dinilai sering menzalimi dan menangkapi mereka.

"Yang sedang latihan takrim di satu gunung atau di satu hutan. Dan di situlah dia (polisi) sering menganiaya ikhwan-ikhwan. Makanya di situ pula kami merencanakan pembunuhan seorang polisi. Dan kami membuat pecah Solo seperti  Ambon atau Poso. Di situ pula bisa tegaknya syariat Islam, khalifah, khilafah Islamiah Indonesia," ucapnya.

 

Pelaksanaan Serangan Terhadap Polisi di Solo

 

Pada 16 Agustus 2012 Bayu mendapatkan SMS dari Farhan untuk melakukan survei ke Pos Pam 05 yang sedang digunakan untuk pengamanan mudik lebaran. Sekitar pukul 01.00 WIB, Farhan menghubungi Bayu melalui SMS untuk mengamati Pos Pam 05. Sesuai perencanaan semula Bayu melakukan survei terhadap target penyerangan.  "Saya ngecek di situ sudah siap. Farhan dan Firman bisa melakukan penembakan. Pada Jumat (17/8/2012) sekitar jam 01.30 WIB, dia melakukan penembakan," kata Bayu.

Saat itu Firman membonceng Farhan dengan menggunakan sepeda motor untuk melakukan penembakan terhadap polisi yang berjaga di Pos Pam 05. Dalam aksi teror perdana mereka yang menjadi eksekutor adalah Farhan, karena hanya Farhan yang mempunyai senjata api.

Hari Sabtu (18/8/2012) Bayu kembali dihubungi melalui HP oleh  Farhan untuk minta bertemu. Dalam pertemuan tersebut Bayu kembali mendapat tugas untuk melakukan survei di di Pos Pengamanan Lebaran di Gladag, Solo. Hal tersebut sesuai dengan saran pimpinannya yang juga bertindak sebagai penyokong dana aksi teror yangmengatakan bahwa mendekati lebaran banyak polisi di pos-pos. "Setelah itu saya survei, saya SMS ke Farhan. Jadi ini kantor Pos Gladak dan banyak polisi. Setelah itu kami konfirmasi.  pada pukul 21.00 pelemparan granat dimulai. "Setelah itu pula Farhan dan Muchsin melakukan pelemparan, saya mengawasi dari belakang," kata Bayu.

Setelah aksi pelemparan granat, Bayu pun pulang ke rumahnya di Karang Anyar, sehingga ia tidak mengetahui perencanaan aksi penembakan di pos polisi Singosaren, Solo, Kamis (30/9/2012). "Saya tidak ada kontak sama Firman atau Farhan bahkan Muchsin. Setahu saya dari penembakan yang di Singosaren si Farhan dan Firman (yang melakukannnya). Terlihat dari ciri-ciri postur tubuh orangnya dan motornya," ungkap Bayu. Ia menegaskan bahwa peran dirinya dalam aksi teror di Solo hanya sebagai pengintai dan survei terhadap sasaran dan target yang sudah ditentukan Farhan.

Mengakhiri testimoninya,  Bayu meminta maaf kepada seluruh warga Solo. Hal tersebut ia ungkapkan dari hati yang terdalam tanpa ada tekanan dari petugas yang menciduknya. "Untuk warga Kota Solo saya minta maaf sebesar-besarnya atas kelakuan saya atau saya pernah melakukan kesalahan. Saya ucapkan ini dari hati saya yang terdalam. Saya ikhlas dan tidak ada tekanan dari aparat polisi. Alhamdulillah saya sehat-sehat, karena ada pendampingan dari pihak polsi dan pihak TPM (Tim Pembela Muslim)," ungkap Bayu.

 

Penemuan Bom Rakitan di Jakarta

 

Polda Metro Jaya) menemukan lima bom pipa yang sudah dirakit pelaku terduga teroris atas nama Muhammad Thoriq di rumah ibunya, Iyot di Jalan Teratai 7, RT 02/04, Tambora, Jakarta Barat. "Thoriq sudah merakit lima bom pipa yang berukuran 40 centimeter," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Rikwanto.

Rikwanto mengatakan lima bom pipa tersebut hanya tinggal dipasang "power" detonator dan kabel penghubung untuk pemicu yang siap digunakan. Toriq diduga telah meracik beberapa bahan kimia sejenis bahan peledak yang dicampur dengan sejumlah paku dengan tujuan memberikan efek ledak yang besar.  Upaya pembuatan bom tersebut terbongkar, setelah warga melihat kepulan asap dan mencium bahan yang diduga mesiu di rumah yang dihuni Thoriq di Jalan Teratai tersebut pada hari  Rabu (5/9) sekitar pukul 14.30 WIB. Warga kemudian mendatangi dan memeriksa rumah milik Iyot tersebut, guna mencari penyebab kepulan asap, namun Toriq telah melarikan diri ke arah Jembatan Lima, Tambora.

Polisi kemudian melakukan penyitaan beberapa barang bukti berupa panduan cara merakit bom, 11 buku jihad dan agama, tiga buah kardus yang berisi botol, plakban, dua botol berisi paku, kaleng makanan, baterai, charger telepon selular, potongan pipa dan kabel, detonator, serta lembaran berisi cara membuat racun yang kerap disebut bubur California dan bahan lainnya. Polisi kemudian mengamankan istri Thoriq, Yanti bersama anaknya, serta ibunya, Iyot untuk dimintai keterangan. Berdasarkan pengakuan Ibunya, Thoriq rencananya akan membawa barang-barang tersebut ke Ambon.

Salah satu yangkemudian  menjadi target penelusuran Polri adalah kelompok pengajian Al Qiyadah. Penyidik menduga Thoriq masuk dalam kelompok pengajian Al Qiyadah karena ditemukannya  lembaran dirumah ibunya, yang menunjukkan Thoriq aktif pada perkumpulan pengajian tersebut. Menurut penjelasan para tetangganya, Thoriq mempunyai sifat yang keras dan banyak berbeda dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya apabila berbicara tentang agama, misalnya, dia menyatakan bahwa orang yang sudah meninggal tidak perlu dilakukan tahlilan.

Dari penyelidikan terhadap kasus teror akhir-akhir ini, Penyidik Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menduga kegiatan M Thoriq terkait dengan jaringan teroris di Solo, Jawa Tengah, dan Depok, Jawa Barat. "Sementara memang ada kaitannya Solo, Depok, dan Tambora," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Rikwanto di Jakarta, Kamis (6/9).

Dalam penjelasannya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, mengatakan bom yang diracik oleh Muhammmad Toriq sama dengan yang pernah digunakan oleh pelaku bom bunuh diri di Solo, Jawa Tengah. "Kalau dilihat, bom itu mirip dengan Solo yang dipakai teror," katanya, Kamis 6 September 2012. Bom Solo terjadi pada bulan September 2011,  dimana terduga teroris melakukan aksi bom bunuh diri di di Gereja Kepunton, di Jalan Arif Rahman Hakim, Solo, Jawa Tengah. Saat itu, pelaku bom bunuh diri, Ahmad Yosepa Hayat, tewas.

Menurut Ansyaad, Thoriq kemungkinan besar juga termasuk salah satu anggota jaringan Abu Omar. Sebab, kata dia, di Jakarta Barat pernah ada penangkapan anggota jaringan ini. "Tahun lalu ada yang ditangkap di sana. Kemungkinan jaringan ini," kata Ansyaad.

 

Komando Teroris

 

Kini yang menjadi pertanyaan, apa dan bagaimana rantai komando dari jaringan teroris tersebut. Dari kasus penyerangan terhadap polsi di Solo, tercatat nama dua orang yang dikenal dan disebut-sebut sebagai tokoh pada waktu lalu, yaitu Abu Omar dan Sigit Qurdowi. Sebagaimana sebuah jaringan teroris pada umumnya, susunan hierarhis adalah ketua/pimpinan, kader aktif, pendukung aktif, pendukung pasif, dan simpatisan. Dalam dunia intelijen dikenal dengan istilah principle agent, agent handler, agent action dan support agent.

Abu Omar yang kini dalam tahanan serta Sigit Qurdowi yang ditembak mati Densus 14 Mei 2011 bersama Hendro Yunanto di Solo termasuk banyak disebut sebagai kelompok kader aktif yang memimpin serta melakukan rekrut para pendukung aktif. Penulis memperkirakan bahwa terdapat beberapa simpul yang masih aktif sekelas dengan Abu Omar dan Sigit Qurdowi, yang masih berkeliaran dan terus berusaha melakukan recruitment calon teroris yang usianya masih muda dan masuk kategori labil. Farhan, Firman dan Muchsin  termasuk para pendukung aktif, sementara Bayu adalah  pendukung pasif . Dalam sebuah organisasi teror kecil para penyerang masuk dalam kelompok Unit Taktis (militer), dan Bayu memerankan sebagai Seksi Intelijen atau juga Seksi pendukung.

Sementara Thoriq bisa masuk sebagai pendukung aktif, sebagai pembuat bom. Sementara dua orang yang belum tertangkap dari kelompok Farhan kemungkinan justru kader aktif dan yang lainnya pendukung pasif.

Meluasnya jaringan/sempalan dalam ukuran kecil, nampaknya dimulai sejak kasus Jalin Jantho, dimana salah satu tokohnya Toni Togar yang ditangkap pada Februari 2010 pernah memberikan arahan. Toni, adalah salah satu tokoh teroris  yang terlibat dalam kasus JW Marriott, kasus pelatihan teroris Jalin Jantho dan perampokan CIMB Medan. Toni sempat membentuk KMI (Kumpulan Mujahidin Indonesia), yang memberi keleluasaan sel-sel untuk melakukan penyerangan individual.

Teroris melakukan serangan pada sasaran potensial dan sensasional, dimana setelah penyerangan, bukan hasil saat serangan, tetapi berita yang makin berkembang setelah serangan, dan efeknya, yaitu  kepanikan, baik masyarakat dan pemerintah. Selain berita teror walau nilainya kecil tetap hangat dan menjadi santapan media, sehingga gaungnya besar. Dengan demikian maka sel-sel kecil tersebut mereka harapkan mampu  melakukan serangan dengan inisiatif sendiri tapi dengan suatu tujuan yang sama.

Komando atau dalam organisasi baku teroris disebut sebagai Elemen Komando tidak menjadi pegangan mereka, mengingat semakin ketatnya operasi pihak keamanan. Yang mampu mereka lakukan adalah tetap melakukan semacam operasi clandestine, gerakan senyap menyerang aparat dan target terpilih lainnya disaat yang tak terduga. Kira-kira demikian pengakuan Bayu apabila dikaitkan dengan strategi terorisme di Indonesia.

Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen. www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi gambar : tribunnews.com

 

 

 

 

 

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.