Mengapa PKS Meleburkan Diri ke Foke
16 August 2012 | 1:29 pm | Dilihat : 450
Walau umat muslim mendekati Idul Fitri, disamping kesibukan warga DKI yang berasal dari daerah lain pulang kampung, suasana perayaan HUT RI Ke-67, pembahasan persaingan perebutan kursi DKI 1 dan 2, antara Foke-Nara lawan Jokowi-Ahok tetap menjadi topik menarik untuk dibahas. Beberapa hari yang lalu penulis membuat artikel dengan judul "PKS Dukung Foke, Sebuah Blunder Politik?," dimana selain ditayangkan di ramalanintelijen.net, kompasiana.com dan terakhir juga diangkat ke kompas.com ( http://megapolitan.kompas.com/read/2012/08/13/12303248.) Pembaca di kompasiana.com dalam empat hari mencapai 12.550 dengan tanggapan dua arah 197 buah. Sementara dari postingan di kompas.com, pembacanya mencapai 19.600 dengan tanggapan searah para pembaca berjumlah 501 buah.
Dari dua media online tersebut, apa yang terlihat? Ternyata mayoritas penanggap lebih cenderung mendukung Jokowi dibandingkan Foke, jumlah yang ke Jokowi sekitar 90 persen. pendukung Foke hanya beberapa saja. Sementara pada umumnya penanggap kecewa dengan keputusan PKS yang mendeklarasikan mendukung Foke. Yang memperihatinkan bagi PKS sebagai partai kader yang selama ini dikenal disiplin dan militan kadernya, beberapa simpatisannya menyatakan di kompasiana akan meninggalkan PKS, walau pernyataan tersebut belum teruji, tetapi paling tidak ungkapan kekecewaan tersebut perlu diperhatikan oleh DPP PKS.
Beberapa penanggap menyatakan kekesalan dengan menulis agak kasar tentang PKS di kompasiana. Yah, itulah resiko psikologi politik bagi PKS yang pada putaran pertama menyerang Foke tapi kemudian setelah kalah justru bergabung. Apakah salah para pengurus PKS itu? Sebenarnya tidak salah, pasti ada pertimbangan esensial keputusan yang penulis sebut sebagai "blunder politik." Penanggap yang mengaku kader atau simpatisan PKS nampaknya lebih suka apabila PKS menyatakan abstain atau golput saja, sementara beberapa menyatakan lebih baik bergabung ke Jokowi, yang pada putaran pertama bersama-sama anti Foke sebagai incumbent.
Sebenarnya mengapa PKS kok meleburkan diri ke Foke? Apabila disimak, menarik pernyataan Pengamat politik Universitas Indonesia Donny Gahral Ardian, yang menyatakan bahwa PDI Perjuangan dan Partai Gerindra sebagai partai pengusung cagub nomor 3 ini memiliki ideologi berseberangan dengan partai lain. Selain itu, penyebab banyaknya parpol beralih mendukung incumbent, karena koalisi parpol tersebut merupakan cerminan koalisi di sekretariat gabungan (Setgab). Partai Demokrat sebagai partai utama di Setgab berusaha melakukan konsolidasi dengan parpol di dalam koalisinya. Koalisi itu pun harus terjadi di tingkat Pilkada DKI Jakarta, itu setting politiknya.
Pendapat lain menyatakan “Ada sebuah mainstream partai yang memang melahirkan kegamangan untuk bisa koalisi dengan Jokowi-Ahok. Ini yang membuat PKS dan PPP lantas mendukung Foke,” demikian dikatakan Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggreini. Menurutnya, Jokowi-Ahok memang tidak bisa memaksakan koalisi dengan partai lain. Semua itu disebabkan oleh ideologi partai. Partai tidak mau mengambil risiko terlalu jauh, yakni dengan meleburkan ideologi dan mandat partai.
Yang lebih jauh lagi, karena pemilihan Gubernur DKI merupakan cermin situasi dunia perpolitikan nasional, maka pilkada juga akhirnya menjurus ke lingkup nasional, terlihat komposisi koalisi yang terjadi kini. PDIP serta Gerindra adalah kelompok disatu sisi yang mewakili partai oposisi, sementara koalisi besar pendukung Foke-Nara yang diusung partai Demokrat, kemudian diperkuat oleh parpol lainnya, PAN, Hanura, PKB, Golkar, PPP dan PKS merupakan cermin dari Setgab Koalisi. Posisi Hanura merupakan sebuah kekecualian, karena sejak awal Hanura menyatakan mendukung Foke, mungkin ada "sesuatu" pertimbangan khusus.
Lantas siapa yang mampu melakukan lobi dan pressure terbentuknya koalisi besar ini? Dengan kekuatan dukungan dana, Foke jelas menjadi produsernya. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti dalam diskusi Segitiga Institute di Jakarta, Selasa (31/7/2012) mengatakan, partai Islam justru dikendalikan oleh Partai Demokrat. Sebut saja PKB, PPP maupun PKS. "Partai islam seluruhnya masuk dalam koalisi kebangsaan di bawah Demokrat. Kalau sukses maka terbaca sebagai kesuksesan Demokrat." Nah, dengan demikian maka mungkin pertimbangan PKS masuk ke koalisi besar di DKI menurut penulis diantaranya karena pengaruh Demokrat juga. Akan tetapi para penanggap pada artikel penulis terdahulu mengatakan dengan bahasa minir, bahwa ada uang mahar dalam penggabungan itu.
Demikian sedikit informasi dalam membahas perkembangan pilkada Gubernur DKI Jakarta. Mungkin ada hal yang perlu di simak oleh tim sukses dari Foke, dari hasil survei Puskaptis yang diselenggarakan pada 9 Agustus 2012, Direktur Eksekutif, Husin Yasid mengatakan bahwa hanya 25 persen konstituen partai yang bakal manut memilih sesuai anjuran partainya. Sementara 75 persen lainnya bakal memilih sesuai hati nurani. Dari temuan tersebut, menurut Husin, mengisyaratkan koalisi besar yang berhasil dihimpun pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli bisa jadi hanya pepesan kosong. Besar di elite, tapi tak menetes ke bawah. Kalau 75 persen ke Jokowi, artinya Jokowi menang? Entahlah, hanya Allah Yang Maha Tahu. Kita tunggu tanggal mainnya.
Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Ilustrasi Gambar : Surabayapagi.com