Konflik Suriah, Sebuah Pelajaran dalam Berbangsa dan Bernegara
9 August 2012 | 3:20 pm | Dilihat : 4554
Perkembangan situasi dan kondisi di Suriah (Syria) pada minggu kedua Agustus ini semakin menunjukkan tanda-tanda tidak menentu, menjurus kearah kebuntuan dan perang saudara yang dapat menyebabkan kehancuran total seperti yang dulu terjadi di Libanon. Konflik keras dan mematikan di negara tersebut yang telah berlangsung selama 17 bulan lebih, telah menyebabkan jatuhnya korban yang sangat besar, sekitar 19.000 orang diperkirakan telah tewas baik dari kalangan sipil ataupun tentara.
Berita pembelotan demi pembelotan terus terjadi, yang diperkirakan akan melemahkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad ternyata tidak menunjukkan kelemahan sedikitpun. Berita terkini pembelotan terjadi setelah Perdana Menteri Suriah Riad Hijab yang menduduki jabatan karena tekanan Presiden Assad. Hijab yang dikenal sebagai penganut Islam Sunni, berhasil melarikan diri ke Yordania dan mendeklarasikan dirinya melalui TV Al Jazeera sebagai pembelot pemerintahan Assad. Hijab menyatakan rezim Assad adalah teroris dan pembunuh, dan dia akan bergabung dengan revolusi kebebasan bagi rakyat Suish.
Kondisi Suriah dan Posisi Politik Presiden Assad
Bashar al-Assad menjadi Presiden sejak tahun 2000, dimana dia menggantikan ayahnya Hafez al-Assad yang memerintah Suriah selama seperempat abad. Assad muda memerintah sebagai pemimpin dengan wawasan jauh kedepan dalam kondisi pemikiran kuno di negara tersebut. Pada saat terjadinya protes terhadap rezimnya pecah sejak bulan Maret 2011, dia menggerakkan militer untuk menindas protes tersebut dan diperkirakan telah menewaskan sekitar 8.000 warga sipil pemerotesnya. Assad menuduh bahwa ada pemain asing yang menunggangi protes tersebut. Upaya meredam protes dengan kekuatan senjata, menyebabkan oposisi yang pada awalnya damai kemudian berubah melawan dengan kekuatan senjata.
Konflik yang penuh dengan komplikasi didasari oleh perpecahan etnis, dimana Assad didukung militer dari sekte Alawit sebagai minoritas di negara yang mayoritasnya penganut Islam Sunni. Alawi sebagai minoritas (12 persen dari populasi 23 juta penduduk Suriah), sementara muslim Sunni yang merupakan tulang punggung dari kelompok oposisi adalah mayoritas (75 persen dari populasi).
Langkah Assad yang meredam gejolak dengan senjata menuai protes seluruh negara di dunia, terutama Amerika Serikat. Kritik keras datang justru dari negara tetangga dekatnya, Yordania, Turki dan Liga Arab. Suriah dikeluarkan sebagai anggota Liga Arab setelah tetap melakukan kekerasan walau menyatakan menyetujui rencana perdamaian. Pada Pebruari 2012, Majelis Umum PBB dalam sidangnya menyetujui dengan suara bulat sebuah resolusi mengutuk Presiden Assad atas langkah kekerasan terhadap pemberontakan yang terjadi. Tercatat dua negara Rusia dan China sebagai pelindung tradisional Suriah menolak serta semua langkah Dewan Keamanan PBB tersebut.
Pemerintahan Assad terus melancarkan upaya sapu bersih di beberapa daerah, khususnya konsentrasi terbesar pemberontak di kawasan Barat Laut (Idlip) serta daerah pusat (Homs). Konflik tersebut diperkirakan menewaskan lebih dari 10.000, menyebabkan ribuan penduduk mengungsi dan lebih dari 40.000 orang telah ditahan. Ketegangan meluas keperbatasan dengan Libanon, Irak, Turki dan Yosdania, yang oleh beberapa kalangan dikhawatirkan akan menjadi sumber perekrutan kelompok Islam radikal dan sel teroris Al-Qaeda.
Pada akhir Mei 2012, tekanan internasioonal semakin keras, setelah militer melakukan pembantaian yang meyebabkan tewasnya 108 warga disebuah desa, dimana korban sebagian besar perempuan dan anak-anak. Beberapa negara Barat bereaksi mengusir Duta Besar Suriah. Amerika Serikat pada Juli 2012 merundingkan dengan Israel dan Turki langkah untuk menurunkan Presiden Assad. Pejabat di AS nampaknya keberatan untuk memberikan bantuan senjata kepada pemberontak (oposisi), mereka hanya menyetujui pemberian pelatihan bidang komunikasi dan peralatan efektivitas tempur pasukan serta beberapa dukungan informasi intelijen.
Didalam negeri, Presiden AS, Barack Obama mendapat tekanan dari partai Oposisi (Republik), agar AS melakukan intervensi militer di Suriah, tetapi Obama tetap bergeming. Pada posisi ini, nampaknya pemerintahan Obama banyak belajar besarnya kerugian AS apabila terlibat langsung seperti ofensif di Afghanistan dan Irak. Sesuai dengan kebijakan strategi globalnya, dimana kawasan yang mendapat prioritas utama kini sudah bergeser ke Laut China Selatan. Suriah bukanlah negara kunci dalam sebuah kepentingan strategi globalnya. Dalam posisi politik, Obama terus mendorong Rusia untuk bergabung dengan AS dalam upaya menekan Assad agar mundur. Langkah AS tersendat, karena Rusia dan China justru menolak resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap Suriah.
Negara-negara Barat dan Arab memahami bahwa tidak ada cara mudah untuk keluar dari sebuah jalan buntu di Suriah, dan situasi ini dapat mengancam stabilitas Timur Tengah secara keseluruhan. AS harus mendekati Iran agar membantu menemukan jalan keluar pengaturan pembagian kekuasaan posisi Assad, tetapi nampaknya AS sulit berbicara dengan Iran karena adanya perbedaan soal program nuklir Iran. Beberapa pengamat melihat AS khawatir, konflik Suriah dapat melebar ke negara tetangganya, Libanon, Turki dan Irak, dimana terdapat persaingan antara pengikut Sunni dan Alawit di ketiga negara tersebut.
Posisi Assad agak goyah beberapa minggu terakhir, dimana pasukan loyalis Assad telah kehilangan kendali pada beberapa bagian wilayah, pasukan pemberontak oposisi yang di dukung oleh dunia internasional mampu menyerang titik rawan dengan meledakkan bom dan berhasil menewaskan pejabat kunci pendukung Assad yaitu Menteri Pertahanan Daoud Rajha, Kakak ipar presiden, Asef Shawkat yang menjabat Kepala Staf Militer Suriah dan Hassan Turkmani, mantan Menhan dan sebagai Penasihat Wakil Presiden Farouk Sharaa. Selain itu Menteri Dalam Negeri Mohamed Sha'ar menderita luka-luka. Presiden Assad segera mengangkat Jenderal Fahed Jassem al-Freij sebagai Menhan baru, simana Freij adalah Kepala Staf Militer yang pernah sukses menaklukkan propinsi Idlib di Utara yang bergolak. Jenderal Freij adalah loyalis Assad yang keras dan menyatakan bahwa militer tetap tidak goyah dan "akan memotong setiap tangan yang merugikan keamanan tanah air dan warga negara."
Pembelotan Terhadap Presiden Assad
Walaupun sebagian besar militer masih loyal dan kuat mendukung pemerintahan Assad, pukulan politis serta citra Presiden Assad secara perlahan mulai runtuh di dunia internasional. Sebelum pembelotan PM Rijad Hijab, terjadi juga pembelotan beberapa pejabat Suriah pada pos luar negeri. Kuasa Usaha Suriah di Inggris, Khaled Al-Ayoubi, menyatakan mengundurkan diri, juga diplomat Suriah di Irak, Siprus dan Uni Emirat Arab telah membelot.
Konflik bersenjata yang terjadi antara oposisi dengan militer loyalis terjadi terus dan makin meluas. Seorang pejabat dari Turki, tetangga dekat Suriah mengatakan bahwa 60.000 tentara telah melakukan desersi, meninggalkan tentara Suriah, termasuk 20.000 dalam satu bulan. Ia menambahkan bahwa sebagian besar desertir adalah perwira muda dan tentara. Secara total, tercatat ada 24 jenderal dari Angkatan Darat telah membelot dan menyeberang ke Turki. Pada tahun 2010 Order of Battle tentara reguler diperkirakan mencapai 220.000 personil dengan 300.000 lagi berupa tambahan sebagai cadangan. Secara total Suriah memiliki 11 Divisi pasukan. Para pembelot tersebut membentuk satuan dengan nama Free Syrian Army (FSA) atau Al-Jays Al-Suri Al-Hurr. Angkatan Darat Suriah bernama Syrian Army.
Pimpinan FSA adalah Riad al-Asaad, yang menyatakan bahwa FSA tidak memiliki tujuan politik kecuali menurunkan Bashar al-Assad sebagai presiden Suriah. FSA juga mengklaim bahwa ini bukanlah konflik sektarian. Ditegaskannya bahwa mereka juga memiliki di jajarannya, pengikut Alawi yang menentang pemerintah. Pada tanggal 23 September 2011, FSA bergabung dengan kelompok pembelot lainnya, Free Officer Movement. FSA beroperasi di seluruh Suriah, baik di daerah perkotaan dan di pedesaan. Pasukan aktif beroperasi di barat laut ( Idlip, Aleppo), pusat ( Homs, Hama , dan Rastan ), pantai sekitar Latakia , selatan (Deera dan Houran), timur ( Dayr al Zawr, Abu Kamal), dan di Damaskus. Konsentrasi terbesar dari kekuatan ini berada dalam wilayah tengah (Homs, Hama, dan sekitarnya), dengan sembilan atau lebih batalyon penuh.
Free Syrian Army (FSA) adalah sayap militer gerakan oposisi, bertujuan untuk menjatuhkan pemerintah dengan melindungi demonstran sipil. FSA mendorong pembelotan tentara dan dengan melakukan serangan bersenjata. Sebagai bekas tentara Suriah yang sangat terorganisir dan terlatih, anggota FSA kemudian melakukan taktik perang gerilya baik di pedesaan ataupun di kota melawan tentara loyalis. Kelemahan FSA adalah kelemahan persenjataan, dimana mereka hanya memiliki senapan serbu AK-47 dan peluncur sejenis RPG. Tidak berimbang dibandingkan militer loyalis, yang masih menguasai arsenal senjata berat, seperti 4.950 Main Battle Tank, 1125 tank Amfibi, 1.860 kendaraan angkut lapis baja, 4.815 Towed Artillery Pieces, 1,136 Self-Propelled Artillery Pieces, 6,890 Anti Tank Guided Weapon Launchers (4,290 in storage), 500 Multiple Launch Rocket System, 102 Surface to Surface to Air Missile Launchers. Karena itu para pemberontak menghindari perang frontal karena kalah persenjataan, mereka lebih mengutamakan perang gerilya, melakukan serangan hit and run.
Selain itu AU Syria (Syrian Air Force) mempunyai kekuatan sekitar 50 skadron udara, yang terdiri dari pesawat tempur buatan Rusia seperti Mig-21, Mig-23, Mig-25, Mig-29, SU-22, pesawat Helli, Mi-8, Mi-17, pesawat transport Tu-134. Dari pihak Angkatan Udara tercatat pejabat yang membelot adalah Kolonel Afeef Mahmoud Suleiman. Pada tanggal 21 Februari 2012, dilaporkan bahwa Jenderal Fayez Amro dari Angkatan Udara Suriah, yang berasal dari Bab Amr kabupaten di Homs dan yang berasal Turkmenistan, juga membelot ke oposisi. Helikopter tempur AU Suriah sering melakukan serangan udara dan menimbulkan banyak korban. AU Suriah mengontrol penuh kawasan udaranya.
Kekuatan militer Suriah walaupun secara teknologi militer beberapa alutsistanya dibandingkan dengan negara-negara Barat agak ketinggalan jaman, kekuatan dan kemampuannya tetap menjadi perhitungan AS dan negara-negara Barat apabila akan melakukan ofensif militer. Kekuatan daratnya masih menggiriskan dan harus sangat diperhitungkan. Walau terjadi pembelotan, pada umumnya alutsistanya masih dikuasai loyalis militer Presiden Assad. Pasukannya cukup berpengalaman dalam beberapa palagan tempur khususnya saat perang melawan Israel. Walau Menhan AS Leon Panetta sudah berkunjung ke Israel, AS mau tidak mau harus berfikir ulang apabila akan memainkan kartu Israel untuk menyerang Suriah, karena hasilnya akan kontra produktif, justru akan merangsang negara-negara Arab bisa berbalik akan mendukung Suriah. Karena itu seperti operasi clandestine di Libia, bantuan yang akan diberikan kepada para pemberontak oposisi terbatas bantuan komunikasi serta intelijen, khususnya intelijen udara yang sama sekali tidak dimiliki FSA.
Dengan dukungan kekuatan pembelot dari pihak militer, banyak wilayah yang kemudian dikuasai pemberontak, walaupun nilainya semu. Kelemahan dan kesulitan pemberontak oposisi itu menurut analis militer Barat jumlahnya terdiri lebih dari 100 kelompok yang tidak jelas kepemimpinan politiknya. Jalur komandonya menjadi tidak jelas, Sehingga upaya pemberian bantuan senjata sering tidak tepat sasaran. Seorang komandan pasukan pemberontak Abu Mohammed di Aleppo menyatakan bahwa mereka sedang mempersiapkan perang gerilya yang akan panjang dan sulit. Menurut para analis intelijen, apabila Presiden Assad berhasil dijatuhkan, maka banyak daerah yang kremudian tidak jelas siapa yang berkuasa dan mengontrolnya. Suriah akan mirip seperti Libanon, dan bahkan diperkirakan lebih parah kondisinya. Diperkirakan akan terjadi pembersihan etnis, pengungsi akan lebih mengalir, terjadinya bencana kemanusiaan dan tumbuh berkembangnya kelompok teroris Al-Qaeda. Upaya dukungan negara Barat untuk menjatuhkan Assad saat ini menurut Vali Nasir, Dekan Sekolah Kajian Internasional, Universitas John Hopkins merupakan tujuan yang salah dan tidak akan mengakhiri perang.
Iran menjadi negara penting untuk berperan menyelesaikan konflik di samping Rusia, dimana Iran sangat prihatin, karena terdapat satu juta Muslim Syiah di Suriah. Kejatuhan Assad diperkirakan akan menyebabkan pertumpahan darah yang lebih besar. Iran jelas pada posisi sulit menurut Valli, berada di jalan buntu, tidak dapat meninggalkan Assad, tetapi juga tidak dapat menyelamatkannya. Korban yang akan jatuh dikalangan Syiah diperkirakan akan besar pada negara dengan mayoritas Sunni itu. Konflik hanya akan selesai apabila Amerika serta negara Barat lainnya bersama Rusia dan Iran bersama-sama mengelola kejatuhan Assad, sekaligus menetralisir kemungkinan meluasnya konflik ke negara tetangga Suriah.
Hal yang lebih berbahaya dari konflik adalah masih dimilikinya senjata kimia oleh pemerintahan Assad. Pada tahun 2011, Badan Intelijen AS, CIA dalam laporannya ke Kongres menyatakan bahwa Suriah selama bertahun-tahun telah memiliki sejnata kimia (Chemical Weapon). Senjata kimia yang dikuasai oleh Syrian Army dapat digunakan untuk menyerang lawan dengan sarana bom udara, peluru kendali jarak jauh dan peluru meriam. Laporan serupa pernah dilaporkan CIA pada tahun 2006, dimana persenjataan Suriah termasuk agen syaraf Sarin yang dapat ditembakkan melalui pesawat tempur atau peluru kendali jarak jauhnya. Disebutkan Suriah sedang mengambangkan senjata kimia Syaraf VX, yaitu senjata kimia yang lebih toksik dan persisten. Senjata kimia diakui oleh Presiden Assad, dan dikatakannya sebagai senjata untuk menyerang apabila terjadi invasi asing.
Pemerintah Suriah secara resmi menyatakan akan menyebarkan senjata kimia dalam setiap terjadinya intervensi asing. Ancaman tersebut merupakan upaya detterent Suriah menghadapi kemungkinan terburuk terhadap serangan negara-negara Barat. Pejabat tersebut menyatakan tidak akan pernah menggunakan senjata tersebut terhadap warga negaranya sendiri, demikian dinyatakan juru bicara Kemlu Suriah, Jihad Makdissi dalam konperensi persnya (27/7). Dengan pengumuman tersebut yang walaupun kemudian dilunakkan, agak dibantah, psychological warfare Suriah nampaknya merupakan upaya menekan isolasi internasional dan upaya membatal niatkan Amerika Serikat, Turki dan Israel terhadap rencana ofensif menyerbu ke Suriah.
Demikian perkembangan serta beberapa informasi yang penulis coba susun dalam menilai situasi dan kondisi konflik di Suriah, yang masih menemui jalan buntu. Penyelesaian konflik tidak hanya bisa diselesaikan hanya oleh bangsa Suriah semata, tetapi keterlibatan dunia internasional merupakan penentu utama. Hal ini membuktikan bahwa dalam era globalisasi, sebuah negara tidak bisa berdiri sendiri, pasti ada keterlibatan negara-negara lain. Terlebih apabila konflik melibatkan soal sektarian, maka kekuatan asing akan masuk dengan segala kepentingannya masing-masing.
Indonesia sebaiknya belajar dari konflik Suriah, dimana kekuasaan otokratis sudah harus di tinggalkan jauh-jauh, pemerintah harus mampu menjaga keseimbangan kemungkinan potensi konflik yaitu Suku, Agama Ras dan Antar golongan. Konflik dalam skala kecil telah terjadi disini, baik di level elite, middle class dan grass root. Semua harus dikelola dengan bijak dan tidak berat sebelah. Era kebebasan demokrasi harus kita jaga dan kelola bersama, agar tidak menjadi dasar berkembangnya potensi konflik yang ada. Inilah sebuah pelajaran berharga yang perlu dipelajari.
Korban di Suriah yang mencapai 19.000 jiwa mengerikan, tetapi dari pengalaman masa lalu, apabila terjadi konflik horizontal dan vertikal di Indonesia, maka korbannya bukan hanya puluhan ribu, bisa mencapai ratusan ribu dan bahkan diatas satu juta. Mengerikan membayangkannya. Semoga Allah Swt melindungi kita semua, dan kita tidak menjadi fanatis dan berfikiran radikal, hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, yang jelas sangat berbahaya dalam menjaga dan mempertahankan sebuah kesatuan dan persatuan, Aamiin. Semoga.
Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Ilustrasi Gambar : indonesiarayanews.com