PKS Berjibaku, Siap Dikeluarkan dari Koalisi, Mengapa?
6 April 2012 | 9:51 am | Dilihat : 373
Strategi dalam berpolitik tidak jauh berbeda dengan strategi bermain catur. Politisi harus pandai membaca situasi, kondisi lawan bermainnya, sehingga dia bisa menyerang dan lawan di schack matt (skak mat), tumbanglah lawan, menyerah.
Nah, beberapa waktu berakhir rakyat Indonesia melihat sebuah theater di negara ini dalam keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bensin, yang berarti mengurangi subsidi. Maksud pemerintah jelas baik, karena kalau tidak, bila harga minyak mentah dunia naik, dan tidak dilakukan penyesuaian harga, ekonomi Indonesia akan "mandek" (berhenti) begitu-begitu saja menurut presiden. Kemelut dan perseteruan, catur politik berlangsung dalam sidang paripurna DPR yang membahas RUU APBN Perubahan.
Rencana pemerintah tersebut kemudian dijadikan komoditas politik, melibatkan emosi masyarakat yang ramai melakukan demo menekan pemerintah, khususnya melakukan pressure terhadap politisi di DPR. Nah, kondisi tersebut kemudian dilihat sebagai peluang oleh parpol untuk berada disisi atau diantara rakyat. PDIP, Hanura dan Gerindra menurut pengamat Burhanudin kelaminnya jelas sebagai oposan, sementara Golkar dan PKS tidak jelas katanya dalam sebuah talk show disebuah stasiun televisi.
Partai Golkar yang pandai memainkan catur politik ya akhirnya tetap berada bersama koalisi. Berkembang isu katanya ada kompensasinya(?). Nah, saat itu dalam sidang paripurna, seperti kita ketahui, PKS mengambil jalan yang bertolak belakang dengan Setgab Koalisi berseberangan dengan Partai Demokrat. Setgab Koalisi solid menyetujui penambahan ayat 6A pada Pasal 7 RUU APBN-P 2012 yang artinya memberi keleluasaan bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Saat itu justru PKS menolak penambahan ayat 6A yang berarti menutup peluang pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Setelah "geger" isu bensin itu, permainan catur politik memasuki babak saling menjepit dan memakan korban setingkat perwira catur itu, PKS bak bidak catur yang sulit terbaca gerakannya, terancam terlempar dari papan catur koalisi.
Setgab koalisi yang merupakan gabungan partai-partai koalisi minus PKS melakukan pertemuan di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Selasa malam (3/4). Setelah pertemuan, Sekretaris Setgab Syarif Hasan mengungkapkan, peserta rapat sepakat bahwa sikap PKS merupakan bentuk pelanggaran kontrak koalisi. Yakni, ketika memilih opsi menolak kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR akhir pekan lalu. Meski menolak disebut PKS dikeluarkan dari koalisi, Syarif mengatakan bahwa jumlah parpol koalisi tinggal lima. "Jumlah anggota koalisi sekarang ini ada lima, soalnya yang masih bersama-sama," katanya.
Keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak lagi menjadi bagian dari partai anggota koalisi belum disampaikan secara langsung oleh Pak SBY sebagai ketua sekretariat gabungan (Setgab). Menarik yang dikatakan pengamat Ary Dwipayana, ada tiga opsi mengenai nasib PKS. Pertama, PKS dikeluarkan dari koalisi dan dikeluarkan juga menterinya dari kabinet. Kedua, mengurangi jatah menteri sebagai bentuk hukuman seperti yang dilakukan pada reshuffle kabinet Oktober lalu. "Berarti masih di dalam koalisi," katanya. Ketiga, jatah menteri untuk PKS di kabinet tetap, tetapi PKS tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan sebagai bentuk tekanan agar PKS menentukan sikapnya.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa Rabu (4/4) mengatakan, "Perhatian utama Presiden SBY saat ini adalah menyusun kembali formasi koalisi yang lebih rapi dan dapat diandalkan." Selanjutnya dikatakannya "Presiden SBY berpandangan bahwa koalisi yang rapuh hanya akan menimbulkan masalah bagi jalannya pemerintahan.
"Kondisi selama dua tahun terakhir, dinilai banyak merepotkan. Nah, saat ini merupakan waktu untuk meluruska dan memperbaikinya. "Ini saatnya pula bagi Presiden SBY memimpin koalisi yang walau sedikit lebih ramping, lebih mampu mengawal kebijakan pemerintahan SBY-Boediono,"kata Daniel. Walaupun demikian, keputusan akhir tentang PKS belum mendapat kata putus dari SBY.
Nah, dari perkembangan kondisi diatas, mari kita sedikit ulas secara sederhana. Semua perkembangan dan strategi politik diarahkan menuju ke tahun 2014, dimana akan diadakannya pemilihan umum dan pemilihan presiden. Semua parpol terus berusaha menarik dan membangun citranya. Penulis tertarik dengan analisa politik dari LIPI, Ikrar Nusa Bhakti. Sebagian partai di koalisi, seperti PKS dan Golkar, menurut Ikrar, berpandangan bahwa keputusan politik Demokrat akan menguntungkan Demokrat saja melalui program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Bila opsi kenaikan harga BBM didukung, kemudian pemerintah memberikan BLSM, partai lain akan berpikir kembali. Sebab, bila 18,5 juta orang miskin mendapat BLSM dan dikalikan empat orang dalam keluarga, kegiatan ini akan menjadi pencitraan yang baik buat 74 juta orang.
Penulis melihat, mengapa PKS nekat mengambil keputusan berseberangan dengan Setgab. Nampaknya elit PKS melihat bahaya, dimana citra PKS dimata masyarakat sudah mulai turun. dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilaksanakan pada 25 Pebruari-5 Maret 2012, posisi PKS hanya berada di posisi tujuh ( mendapat apresiasi persepsi publik 4,2 persen), bahkan dibawah Nasdem, PKB dan PPP. Pada pemilu 2004 PKS meraih suara 7,34 persen dan pada pemilu 2009 (7,88 persen). Penurunan sebesar 3 persen bukan hal yang sederhana dalam sebuah pemilu.
Karena itu rupanya Dewan Syura kelihatannya berjibaku , nekat berseberangan dengan Setgab. Kita lihat penekanan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi H Ishaak, PKS siap tidak "satu perahu" lagi dengan koalisi. Dalam pidato politiknya pada penutupan Musyawarah Kerja Nasional PKS di Medan, Rabu 28 Maret 2012 malam, Luthfi menyebutkan, keluar koalisi itu ditempuh jika pemerintah tidak memperdulikan kondisi rakyat dalam kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. "Formulasi yang ditawarkan PKS adalah kombinasi postur APBN yang sehat dan tidak mengabaikan rakyat," kata Lutfi.
Disitu terlihat dengan cerdik PKS menekankan bahwa rakyat adalah segala-galanya. Negara harus memikirkan apapun juga demi rakyat. Peryataan tersebut jelas menarik hati masyarakat, dimana pada milis-milis yang memberitakan dikeluatrkannya PKS dari Setgab justru menuang simpati. Kini posisi PKS menjadi parpol yang dizholimi, sebuah teori psikologis yang sering berhasil dalam menarik simpati.
Nah, dengan demikian maka PKS bisa mengharapkan hilangnya tiga persen simpatisannya akan bisa kembali. Posisinya di Setgab dirasanya tidak lebih baik dibandingkan apabila berada diluar. Atau mungkin dipandang sudah cukup.Mereka sudah menghitung apabila tiga kadernya yang berada di kabinet akan dicopot. Menjelang pemilu yang tersisa dua tahun lagi, mengambil hati rakyat adalah sesuatu hal prinsip dan pokok yang harus dikerjakan. Terlebih apabila melihat posisi di Pilkada DKI Jakarta, PKS hanya berdiri sendiri, berbeda dengan parpol lainnya yang membangun koalisi.
Pilkada DKI akan menjadi test case bagi citra PKS, apakah suaranya masih solid seperti pada pilkada 2007 dan pemilu 2009 atau sudah semakin menciut. Kedua, Dewan Syura juga akan menguji elektabilitas Hidayat Nurwahid yang kabarnya akan mereka calonkan sebagai cawapres 2014. Demikian sedikit ulasan mengapa PKS nekat berjibaku menentang Partai Demokrat dan parpol koalisi lainnya.
Dalam ilmu intelijen, nilailah segala sesuatu dari kepentingannya, dalam substansi ini jelas kepentingan masing-masing parpol dalam memainkan catur politik. Tapi yang ada hal sangat penting, yang abadi yaitu kepentingan nasional Indonesia yang kini justru sering menjadi bagian terabaikan oleh para politisi tersebut . Salam, Prayitno Ramelan ( www.ramalanintelijen.net )