Akan Runtuhkah Partai Demokrat?
20 February 2012 | 9:36 am | Dilihat : 554
Partai Demokrat adalah partai penguasa, dibentuk pada era reformasi. Partai ini didirikan pada 9 September 2001 dan disahkan pada 27 Agustus 2003. Partai ini didirikan untuk mengusung Pak SBY menjadi presiden. Selain Partai Demokrat, tercatat beberapa partai yang juga didirikan setelah reformasi seperti PKB dan PKS. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) didirikan lebih awal di Jakarta pada 20 April 2002, yang merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan (PK) yang didirikan di Jakarta pada 20 Juli 1998.
Pada pemilu 2004, Demokrat mampu menarik konstituen sebanyak8.455.225 (7,45 persen) dari total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) yang dinyatakan sah. Pada pemilu 2009, Partai Demokrat mampu menangguk 21.703.137 suara (20,85 persen) dari jumlah Jumlah suara sah: 104.099.785 (dari jumlah pemilih : 121.588.366 orang.
Kedigdayaan Partai Demokrat nampaknya mulai runtuh sejak kasus mantan bendaharanya M Nazaruddin diberitakan secara intens di media massa. Terlebih setelah nyanyian Nazar mampu menyentuh dan menyeret Angelina Sondakh, wanita manis yang demikian populer di Partai Demokrat. Terkenal sebagai mantan putri Indonesia yang cerdas dan fasih berbahasa Inggris, mantan isteri Almarhum Adjie Masaid, dan politisi yang selalu tampil indah dan menonjol pada setiap acara besar Demokrat.
Nah, setelah Anggie diseret KPK ke sidang pengadilan, maka semakin runtuhlah citra partai hebat ini. Kini pada bulan Februari 2012, survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) merilis hasil surveinya tentang parpol Minggu (19/2/2012) tentang turunnya elektabilitas parpol secara umum. Walaupun survei hanya merupakan persepsi publik, tetapi dari pengalaman penulis dalam memanfaatkan dan menggunakan survei sebagai fakta untuk analisa, persepsi tersebut sebaiknya jangan diabaikan semata. Ada sesuatu gambaran pendapat konstituen yang sangat perlu dicermati.
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (19/2/2012) menyampaikan hasil survei LSI tersebut. Survei nasional LSI dilakukan pada 1-12 Februari 2012 di 33 provinsi Indonesia, dengan pengambilan responden multistage random sampling dari 33 provinsi dan mensurvei 2.050 orang. Metode wawancara tatap muka, terhadap 38 pilihan partai dan lainnya (merujuk jumlah parpol pada Pileg 2009).
Hasil survei, pemilih apabila pemilu dilaksanakan hari itu, mereka yang di survei akan memilih Partai Golkar 15,5 persen, Demokrat 13,7 persen, PDIP 13,6 persen, Gerindra 4,9 persen, PPP 4,9 persen.Sementara PKB 4,6 persen, PKS 3,7 persen, Hanura 1,2 persen, dan partai lainnya 1,2 persen. Sisanya belum menentukan pilihan (undecided voters) jumlahnya 28,9 persen.
Apabila diteliti prosentase Partai Demokrat pada pemilu 2004 (7,45 persen), Pemilu 2009 (20,85 persen) maka gambaran persepsi publik pada survei Pebruari 2012 memperlihatkan posisi elektabilitas Partai Demokrat menurun drastis menjadi 13,7 persen.
Apa yang bisa dilihat dari kasus tersebut? Sejak kasus Century, publik setiap saat menonton tayangan di media bak silat hebat. Perseteruan politik diawali di DPR, Partai Demokrat terus dikepung dan digebuki dengan berita miring beraroma korupsi. Kasus berlanjut dan mencapai klimaks setelah mantan bendaharanya Nazaruddin membuat pengakuan adanya upaya sistematis pencarian uang untuk kepentingan beberapa tokoh atau elit utama partainya. Bahkan terjadi money politic dari uang haram saat Anas terpilih sebagai ketua umum.
Publik yang setiap hari dijejali berita tergerusnya uang negara oleh beberapa koruptor yang diindikasikan dari Demokrat akhirnya semakin percaya bahwa Partai Demokrat menjadi sarangnya koruptor. Hal ini kemudian dipertegas dengan sinetron Anggie yang cantik dan diberi lebel sebagai kartu 'tukang bohong'. Makin lengkaplah kerusakan Partai Demokrat tersebut. Maka kita lihat, persepsi publik menyatakan mereka yang akan memilih Partai Demokrat pada posisi 13,7 persen. Dibawah Partai Golkar yang 15,5 persen.
Peremukan partai Demokrat bisa terjadi diantaranya hanya karena Demokrat tidak memiliki media massa. Maka jadilah beberapa elit Demokrat menjadi mainan media. Gurauan media terhadap sikap dan perkataan Anggie di pengadilan menjadi trade mark Partai Demokrat. Itulah kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Media kini dikenal sebagai 'silent revolution', yaitu kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat. Pengaruhnya jauh diatas jejaring partai.
Penulis melihat perang media yang sudah pasti juga melibatkan beberapa parpol lawan Demokrat dan SBY pada awalnya ditujukan untuk menyerang khusus Demokrat dan SBY, menurunkan citra dan merebut simpati publik. Upaya ini berhasil, Partai Demokrat mulai tergerus secara perlahan, dan bahkan puting beliung mengerikan bisa terjadi kapan saja apabila KPK suatu saat menyeret Ketua Umum Partai Demokrat menjadi tersangka. Maka tercapailah saat itu teori yang dalam intelligence conditioning disebut sebagai "Let them think, let them decide." Rakyat dijejali info, dibiarkan berfikir dan dibiarkan memutuskan sendiri bahwa Partai Demokrat memang buruk.
Pertanyaannya kini, apakah penggerusan citra hanya menghantam Partai Demokrat semata? Ternyata tidak. Jelas terlihat bahwa penurunan elektabilitas Demokrat pada Februari ini juga menyeret parpol lainnya, tidak mengangkat citra dan elektabilitas parpol lainnya. Golkar yang pada pemilu 2004 memperoleh dukungan 14,45 persen hanya diapresiasi pada survei tersebut 15,5 persen. PDIP yang pada 2009 mendapat 14,03 persen bahkan kini hanya di apresiasi 13,6 persen. PKS pada pemilu 2009 mendapat dukungan 7,88 persen merosot ke 3,7 persen. PPP pada pemilu 2009 mendapat 5,32, pada survei awal 2012 ini hanya mendapat 4,9 persen. Jangan dilupakan siapapun partai yang ada, kesemuanya itu oleh masyarakat dikelompokkan sebagai partai politik, hanya tanda gambarnya yang berbeda.
Nah, angka-angka tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan citra dan elektabilitas Partai Demokrat juga berpengaruh terhadap parpol lainnya. Justru yang membesar adalah massa mengambang yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) sebesar 28,9 persen. Partai Demokrat menurut penulis tidaklah akan langsung runtuh. Keruntuhan elektabilitas sebuah partai akan terjadi paling tidak dalam dua periode pemilu, seperti yang terjadi pada PKB, saat dipimpin oleh Almarhum Matori kemudian ke era kepemimpinan Muhaimin Iskandar. Dalam kondisi terburuknya Demokrat penulis perkirakan masih mampu bertahan sebagai partai papan atas.
Angka 13,7 persen nampaknya angka riil para pendukung Partai Mercy ini. Yang perlu dihitung, Demokrat besar dan kuat karena Pak SBY, yang kini masih menjadi presiden, bukan karena kadernya semata. Bagaimana nasib partai berbaju biru dengan sikap tangan mengepal didada itu setelah SBY turun nanti?. Yang menolong hanya satu, bersatu, tapi nampaknya sulit, karena terbentuknya faksi, mengemukanya kepentingan individu adalah bahasa terang dan adat istiadat di Demokrat dan juga pada parpol manapun di negara kita.
Menyikapi demokrasi membuat para pemimpin menjadi gamang mengambil keputusan. Banyak dari kita yang harus membersihkan hati dan kembali mencari makna demokrasi dalam membangun bangsa ini, bukan hanya berteriak, demo, dan "eker-ekeran". Apakah begitu? Prayitno Ramelan (www.ramalanintelijen.net)