Berunding dengan OPM Lebih Sulit Dibandingkan Dengan GAM
6 December 2011 | 10:01 am | Dilihat : 6984
Lagu dari Sabang sampai Merauke adalah ungkapan salah satu dari empat pilar bangsa Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lagu itu menggambarkan berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia. Indonesia tanah airku, aku bersumpah padamu, menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia. Ini berarti tidak boleh ada satupun pulau-pulau itu yang terlepas.
Nah kini NKRI terusik dengan kemelut di Papua, tindak kekerasan berupa penyerangan bersenjata semakin meningkat, mengerikan. Korban jatuh tidak hanya dikalangan masyarakat tetapi juga aparat keamanan. Pada hari Minggu (3/12), dua anggota Brimob tewas karena serangan dari kelompok orang tak dikenal di Kali Semen, Kampung Wandigobak, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Bripda Feriyanto Kaluku akibat luka tembak di kepala dan Bripda Eko Afriansyah yang juga mengalami luka tembak di kepala. Keduanya anggota organik Gegana Brimob Mabes Polri.
Kita semua berfikir, kenapa kekerasan seakan kini menjadi rutinitas kehidupan bangsa ini yang dulu terkenal damai? Jawabannya sederhana sebetulnya, Indonesia terdiri dari demikian banyaknya pulau, demikian banyaknya etnis, bahasa, budaya, adat istiadat, norma, dan mulut yang setiap hari membutuhkan makan. Itulah masalahnya, semua mempunyai kebutuhan dan kepentingan, tidak peduli dimanapun mereka berada, semua butuh.
Begitu kita terkena pengaruh demokrasi liberal, maka penguasa menjadi tidak berdaya, rakyat adalah pemilik negara ini. Mereka bisa melakukan apa-apa yang dibenarkan oleh demokrasi mencontoh dari negara-negara Barat. Beberapa negara kemudian menjadi kisruh karena demokrasi, dan juga terjadi di beberapa wilayah negara kita. Apakah demokrasi buruk? Jawabannya jelas tidak. Inilah sistem yang diakui terbaik didunia, hampir 80 persen negara di dunia menggunakan demokrasi. Kita bersama sepakat menggunakan sistem ini. Hanya masalahnya kita masih dalam tahapan transisi, yang penuh dengan gejolak.
Secara teori, bahaya perpecahan dan ketidak tenteraman sebuah bangsa dihadirkan karena berkembangnya ide separatisme, mengingatkan kita bahwa konflik-konflik yang tidak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial. Konflik yang berkepanjangan mendorong timbulnya kebencian dan keinginan balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan utama mengobarkan kekerasan bahkan perang. Kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. .
Kerusuhan yang kini timbul di Papua adalah produk dari konflik berlarut-larut di pulau paling Timur Indonesia itu. Aceh walaupun sudah tenang sejak tercapainya perdamaian dan diberikan kesempatan kepada GAM untuk ikut membangun Aceh, sisa kekerasan dan beredarnya senjata masih saja tetap terjadi. Belum reda serangan dan letusan AK-47 di Papua, di Aceh kembali terjadi aksi pembunuhan dengan penembakan menggunakan senjata laras panjang.
Minggu malam (4/12/2011) tujuh pekerja perkebunan karet ditembaki sekelompok orang bersenjata tak dikenal di Desa Uram, Kecamatan Gereudong Pase. Tiga orang tewas, dan empat lainnya kritis. Para pekerja PT Satya Agung, saat ditembaki sedang duduk santai. Penembak yang berjumlah empat sampai lima orang, semuanya menggunakan penutup muka, bersenjata AK, SS-1 dan M-16. Menurut Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan, pembunuhan bermotif kejahatan ekonomi. "mungkin pekerja lokal tidak diterima bekerja, lalu muncul sakit hati," katanya.
Selain Aceh, tindak kekerasan berupa serangan senjata di Papua terus meningkat. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Saud Usman Nasution mengatakan, tercatat kasus kekerasan di Papua pada 2009, satu anggota Polri tewas, 12 mengalami luka. Dari masyarakat 2 tewas dan 9 luka. Pada 2010, 64 anggota Polri terluka, dari masyarakat 3 orang terluka. "Pada 2011 ada 3 anggota Polri meninggal dan 8 mengalami luka. Sedangkan 5 orang masyarakat meninggal dan 6 mengalami luka-luka," kata Saud di kantornya Senin (5/11/2011).
Dari data tersebut terlihat bahwa kekerasan semakin meningkat dan belum terselesaikan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diketuai oleh Bambang Dharmono dan diharapkan bisa mempercepat penyelesaian masalah Papua. Melalui surat khusus dari Presiden Yudhoyono, Farid Husain, 61 tahun, dalam enam bulan terakhir terus berusaha membuka pintu dialog dengan elit, pimpinan, dan aktivis OPM di Papua. Farid dikenal sukses sebagai negosiator kasus di Poso dan Aceh. Menurut Farid, Presiden Yudhoyono meminta agar upaya dialog di Papua itu menggunakan “cara” perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka, GAM, yang berhasil tersebut.
Farid tidak bersedia menyebut siapa pihak yang diajaknya berdialog di Papua. Farid menyebut pertemuannya dengan berbagai pimpinan atau elit kelompok separatis di Papua itu sebagai “dialog demi kemanusiaan”. Farid menyampaikan kepada warga Papua bahwa dialog itu tidak membicarakan soal aspirasi kemerdekaan. “Karena memang ini sudah NKRI. Jadi (soal keinginan keluar dari Indonesia) tidak kita bicarakan. Yang kita bicarakan kenapa masih ada begini (berbagai persoalan di Papua),” katanya.
Farid yang sukses sebagai juru runding di Aceh, menyampaikan adanya perbedaan penyelesaian di dua tempat tersebut. Kalau Aceh ada pemimpinnya. Papua ada pemimpinnya, tetapi terlalu banyak,” ungkapnya. Sehingga, “masih membutuhkan waktu dan pendekatan yang lebih dekat”, katanya. Salah-satu masalah yang menjadi titik fokus Farid dalam dialognya itu adalah menyamakan persepsi “cara menyelesaikan” persoalan di Papua.
"Di sana ada terlalu banyak faksi, saya cuma membagi dua, politik dan tentaranya atau TPN. Nah di dalam tentaranya itu ada lagi faksi yang berbeda, ada yang di pesisir, pegunungan dan perbatasan. Masing-masing ada panglima dan masing-masing saling tidak mengakui panglima," kata Farid Husein.
Farid, menjelaskan bahwa bisa saja perundingan Papua meniru perundingan Aceh, dengan melibatkan pihak asing sebagai pengawas. "Perundingan Papua bukan internasionalisasi, tetapi mengajak orang (lain) untuk mengawasi, supaya kita masing-masing menahan diri.” Farid menerangkan, selama perundingan damai Indonesia-GAM, sosok Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia) semata-mata hanya bertugas menyediakan tempat, mengatur waktu, serta mendengarkan.
Farid sendiri yakin persoalan Papua tetap bisa diselesaikan secara damai, asal pihaknya diberi kesempatan bernegoisasi. “Asal masing-masing elitnya bersabar, tenang saja, jangan ramai dulu”. Maksudnya baik kelompok separatis Papua pemerintah Indonesia dan aparat keamanan tetap sabar. Menurut Farid, juru runding harus menguasai permasalahan yang dihadapi, peta politik di daerah konflik. Pada saat itu sosok Jusuf Kalla demikian besar dalam keberhasilan perundingan.
Dikatakan oleh Farid, “Perdamaian gampang, jabat tangan sudah selesai. Tapi kapan perdamaian itu bisa bertahan, itu harus dijaga,” jelasnya. Menjaga hasil kesepakatan damai di Aceh merupakan tanggungjawab Indonesia dan masyarakat Aceh.“Persis model dokter, yaitu preventif-promotif. Dan kalau ada apa-apa, kita kuratif,” paparnya. “Jadi yang paling penting, jagalah kepercayaan untuk kepanjangan perdamaian”tegasnya.
Nah, kini kita tunggu perkembangan upaya perdamaian di Papua yang nampaknya agak berbeda dengan Aceh. Masyarakat Papua relatif lebih sederhana cara berfikirnya, akan tetapi disitulah kerawanannya. Farid dan UP4B harus adu cepat dengan pengaruh asing yang mengompori kelompok separatis Papua untuk Merdeka. Cetusan internasionalisasi OPM sudah dilebarkan ke Belanda dan AS, ada anggota parlemen Belanda yang menghadiri upacara peringatan OPM di Belanda.
Beberapa oknum di Belanda nampaknya masih memandang Papua sebagai bagian jajahannya. Terlebih kini melihat harta Tuhan yang ada di Freeport, siapa yang tidak mengilar. Selamat bertugas Mas Farid, semoga sukses. Pahala anda jelas besar karena bisa menghentikan aksi saling bunuh. Dilain sisi anda akan menjadi pahlawan karena berperan aktif dalam menjaga NKRI. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )