Perubahan Kebijakan AS dan Masalah Yang Tersisa
23 November 2011 | 11:21 pm | Dilihat : 626
Setelah berdiskusi dengan beberapa pakar ekonomi tentang krisis ekonomi AS, disusun sebuah artikel dengan judul "Negara Amerika Serikat pasca pelampauan batas utang,"( http://ramalanintelijen.net/?p=3891). Dari hasil analisa kemudian dibuat sebuah kesimpulan mendasar, bahwa persoalan ekonomi Amerika tetap tanpa penyelesaian. Para pakar kembali mengingatkan pada hukum besi ekonomi, yaitu bahwa keseimbangan yang terjadi dalam jangka pendek pada akhirnya akan menuju kepada keseimbangan jangka-panjangnya.
Meminjam Stein’s Law, “if something cannot go on forever, it will stop.” Apabila dengan exorbitant privilege-nya Amerika dapat terhindar dari abrupt adjustment, maka kita masih akan menyaksikan ketidakpastian yang tinggi dalam jangka panjang. Beberapa ekonom sudah memberikan peringatan bahwa dalam kondisi ini Amerika sedang berada dalam kondisi great distress, masa ketidakpastian yang diramalkan akan bertahan hingga satu dasawarsa ke depan.
Masalah yang melilit AS sedikit banyak akan mempengaruhi perannya di belahan lain dunia. Adapun tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negerinya ; "Amerika Serikat tetap ingin menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara bersar yang bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang senjata pemusnah massal (SPM), dan menyebar luarkan demokrasi dan menghormati hak azasi manusia."
Tujuan Kebijakan Luar Negeri AS
Pada saat AS diguncang serangan teroris (peristiwa 911), maka prioritas yang dilekatkan dengan tujuan-tujuan yang berbeda, prioritasnya kemudian menjadi berbeda. Sejak awal 2002, kampanye melawan terorisme global merupakan tujuan utama kebijakan luar negeri dan pertahanan AS, dan tujuan-tujuan internasional lain akan berada di bawah tujuan besar ini (Stephen M.Wald).
AS melakukan kampanye melenyapkan Al-Qaeda dengan menyerang di Afghanistan dan melenyapkan sel-selnya di negara lain. Juga tujuan saat itu mengganti pemerintahan Taliban. Terdapat dua sisi, yaitu menghilangkan penguasa pelindung kelompok Al-Qaeda dan menunjukkan kepada pemerintahan negara lain akan bernasib sama dengan Taliban jika mengijinkan serangan terhadap AS bila dirancang di negara mereka.
Dengan kondisi perekonomian dan besarnya biaya dan jatuhnya korban pasukan, maka AS mulai menggeser kebijakan keterlibatan mereka dalam pelaksanaan tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negerinya. AS semakin sadar bahwa keterlibatan pasukannya di negara atau wilayah luar dalam jumlah besar akan dapat mengakibatkan besarnya ongkos yang harus di tanggungnya, baik korban manusia ataupun biaya. Yang terpenting dan terberat adalah imbas yang berupa tekanan politik didalam negeri terhadap pemerintahan Obama akan semakin berat.
Obama telah dikritik karena gagal dalam melakukan diplomasi dalam mengakhiri peran AS di Irak, dan pengumuman penarikan pasukan sepenuhnya pada akhir tahun 2011 itu akan meningkatkan kekhawatiran, setelah menghabiskan ratusan miliar dolar dan hilangnya 4483 nyawa warga Amerika. AS tidak akan mempunyai pengaruh lagi di Irak yang dapat menekan Iran sebagai negara yang diduga menjadi sponsor teroris. Pasukan yang disisakan hanya sekitar 150 orang sebagai penjaga kedutaan besarnya di Baghdad.
Penarikan Pasukan dan Masalahnya
Presiden Obama memutuskan akan menarik pasukan di Afghanistan secara bertahap, mulai akhir tahun ini hingga tahun 2014. Kebijakan ini penulis perkirakan akan dapat mengakibatkan kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan, mengingat semakin kuatnya Taliban dan lemahnya pemerintah Afghanistan. Sel-sel Al-Qaeda serta kelompok Haqqani akan tumbuh subur di masa mendatang. Kebijakan mundur dari Afghanistan disebabkan karena prioritas tujuan dasar luar negerinya telah tercapai, dibunuhnya Osama bin Laden dan melemahkan Al-Qaeda. Dalam hal ini mungkin teroris tidak mampu menyerang ke AS, tetapi bukan tidak mungkin mereka akan memperbesar serangan melalui negara ketiga termasuk Indonesia.
Dalam kasus Lybia, Amerika tidak menurunkan pasukan sama sekali. AS membantu para pejuang pemberontak dengan dukungan peralatan, teknologi dan serangan udara. Bersama-sama dengan NATO, AS mampu melumpuhkan kekuatan pertahanan loyalis Khadafi selama perang sipil berlangsung. AS dan NATO mendukung rakyat yang berontak melawan pasukan loyalis Khadafi. Persoalan serius yang tersisa di Libya adalah perkiraan hilangnya rudal (peluru kendali) panggul pencari panas anti pesawat terbang.
Para pejabat di AS sangat mengkhawatirkan keberadaan rudal tersebut apabila sampai jatuh ketangan teroris. Pemerintah AS telah mengirim empatbelas kontraktor mantan militer ke Libya untuk membantu melacak dan menghancurkan rudal darat keudara tersebut. Kolonel Khadafi adalah salah satu pembeli terbesar rudal tersebut, sekitar 20.000 dibelinya pada tahun 1970-an dan 1980-an. Rudal tersebut kini dinilai tidak efektif terhadap pesawat tempur modern, tetapi tetap merupakan ancaman serius bagi pesawat penumpang komersial. Ribuan rudal itu telah dihancurkan dalam serangan bom NATO di depot senjata selama perang dan ratusan telah ditemukan oleh pemerintah baru. Tapi tidak diketahui jumlah yang dijarah oleh kelompok pemberontak Libya dan warga sipil yang menyerbu ke dalam area penyimpanan.
Pejabat dari Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan bahwa mereka telah menangkap lima kelompok penyelundup di Mesir yang mengangkut senjata, termasuk rudal anti pesawat dari Libya yang sedang dibawa menuju perbatasan dengan Israel. Ulah penyeludup pasar gelap tersebut telah meningkatkan kekhawatiran keamanan baru di Semenanjung Sinai. Seorang pejabat militer Israel menyatakan, "Kami jelas prihatin dengan laporan senjata Libya memasuki Gaza, terutama anti-pesawat dan anti-armor senjata. Kita tahu bahwa Hamas menginginkan mereka dan dapat membayar untuk mereka.''
Rudal anti pesawat kini muncul sebagai sebuah ancaman global, dimana lebih dari 40 pesawat sipil komersial telah jatuh terkena serangan sejak tahun 70-an. Selain AS, Inggris juga telah mengirimkan tim kecil untuk membantu melacak. Tim pencari serta kontraktor AS yang dipimpin Libya telah berhasil mengembalikan ratusan rudal tersebut. Namun beberapa faksi pemberontak menegaskan ratusan bahkan ribuan rudal tersebut berada diluar jangkauan dari pemerintahan sementara Libya.
Nah, itulah beberapa masalah yang tersisa dari pelaksanaan tujuan dasar kebijakan luar negeri AS. Memang berat bagi pemerintahan Obama dalam menyelesaikan seluruh masalah di dunia ini yang terkait dengan AS. Strategi perang di negara lain tidak dilakukan dengan penggelaran pasukan, tetapi dengan mengefektifkan teknologi serta serangan udara dan peluru kendali. Resiko dari sebuah negara adi daya dalam penerapan kebijakan luar negerinya jelas akan semakin complicated. Negara pembangkang akan dikuasai melalui dukungan terhadap rakyat negara bersangkutan yang memberontak.
Setelah di haru biru dalam perang di Irak dan Afghanistan, kini AS mulai melirik kawasan Asia Pasifik yang dinilainya demikian penting. Lawan atau pesaing yang harus dihadapinya adalah China yang super kuat dalam masalah ekonomi serta militer. Yang perlu diingat, China negara besar, modern, sumber daya manusianya besar dan terdidik. Berbeda kelas, jauh diatas Al-Qaeda, Irak, Taliban, Haqqani dan Khadafi.
Semoga hanya perang dingin yang terjadi, karena China semakin yakin dengan diplomasi militernya, rudal menengahnya mampu mencapai semua pangkalan AS di kawasan Asia Pasifik dan bahkan China sudah memiliki pesawat sekelas stealth yang anti radar. Kerjasama militer dan teknologi dengan Rusia cukup erat. Jumlah pasukannya yang terlatih demikian besar dan menggiriskan. Diplomasi China sebesar USD 10 miliar dengan ASEAN sedikit banyak akan menaikkan posisi tawarnya.
Bagaimana Sikap Indonesia?
Sikap Indonesia berupa pemahaman masalah strategis kawasan telah ditunjukkan dalam pidato Presiden SBY saat pembukaan KTT Ke-19 ASEAN. Presiden SBY menegaskan, partisipasi dan kontribusi ASEAN semakin besar bagi terwujudnya dunia yang lebih damai, adil, demokratis, dan sejahtera. Kontribusi itu ditunjukkan dengan peran aktif ASEAN untuk ikut mengatasi berbagai permasalahan fundamental dewasa ini.
Presiden SBY mengatakan, ASEAN tidak boleh hanya menjadi penonton pasif, yang rentan menjadi korban permasalahan di belahan dunia lainnya. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terkait, ASEAN harus menjadi yang terdepan dalam mengatasi berbagai tantangan.
Nah itulah sedikit informasi tentang kebijakan Amerika Serikat dalam sepuluh tahun terakhir serta permasalahannya. Dalam mengantisipasi perkembangan kawasan yang bisa menjadi rumit, peran Indonesia jelas semakin besar. Indonesia kini dituntut memiliki kekuatan pertahanan yang kuat, agar tidak dinilai hanya sebagai kurcaci di kawasan. Oleh karena itu tantangan pemimpin dimasa mendatang adalah tuntutan kemampuan untuk memahami dan membaca situasi global. Globalisasi serta era digital harus menjadi dasar acuan pemimpin. Berat memang amanah yang harus diemban penguasa sejak tahun 2014 nanti. Semoga pengalaman kesalahan memilih pemimpin yang kurang sesuai pada masa lalu tidak terulang kembali.
Terakhir, penulis mengangkat jempol untuk Bapak Presiden SBY, yang mampu bersanding dengan tokoh-tokoh besar dunia saat KTT di Bali itu, gagah dan mumpuni. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )
Ilustrasi gambar : Associated Press (AP)