Ketika Seif al-Islam Putra Khadafi Ditangkap Milisi
21 November 2011 | 6:08 am | Dilihat : 364
Jakarta. Putra mantan pemimpin Libya Kolonel Muammar Khadafi (alm), Seif al-Islam el Qadaffi pada hari Sabtu (19/11/2011) telah ditangkap oleh milisi. Pemimpin dari milisi yang berpusat di Zintan tersebut menjelaskan bahwa putra Khadafi tersebut ditangkap bersama rombongan kecilnya di sebelah Barat Daya gurun dekat kota Awbari. Penangkapan Seif al-Islam merupakan momen yang sangat penting bagi pemerintahan peralihan Libya, dimana Seif yang kini dijaga dengan ketat disuatu tempat khusus akan diserahkan kepada mahkamah kriminal internasional atas tuduhan kejahatan perang.
Para pemimpin milisi di Zintan bersikeras Seif mereka tahan dan baru akan diserahkan apabila pemerintahan nasional Libya telah terbentuk. Dilain sisi masyarakat internasional terus merasa was-was serta menyatakan keprihatinan akan masa depan Libya. karena itu proses hukum selanjutnya dari Seif akan menjadi ujian penting dari komitmen Libya dalam menaati aturan hukum. Kasus dibunuhnya Khadafi setelah dapat ditangkap hidup-hidup merupakan contoh kebrutalan pejuang pemberontak yang apabila dibiarkan akan menyebabkan Libya pada masa mendatang dikuasai gerombolan liar bersenjata.
Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional Luis Moreno-Ocampo pada hari Sabtu menyatakan akan menuju ke Libya dalam beberapa hari ke depan untuk membahas bagaimana dan di mana Seif al-Islam tersebut akan diadili. "Kami berkoordinasi dengan Departemen Kehakiman untuk memastikan bahwa solusi apapun harus sesuai dengan hukum" katanya. Mussa Grife, anggota komite politik gerakan revolusioner Zintan mengatakan, "Warga Zintan ingin meninggalkan kesan yang baik bagi dunia dan menangani proses hukum Seif Khadafi sesuai dengan hak asasi manusia dan sesuai dengan nilai-nilai Islam."
Seif al-Islam (38) adalah putra Khadafi yang keberadaannya tidak diketahui setelah ayahnya Kolonel Muammar Khadafi dibunuh saat disergap disekitar benteng Sirte pada 20 Oktober lalu. Bersamaan waktunya, Muatassim salah satu saudara kandungnya juga tewas tertembak. Seif Khadafi yang memiliki gelar doktor dari London School of Economics pada awalnya diharapkan menjadi generasi penerus pengganti ayahnya yang lebih demokratis. Dimana dia menulis tesis untuk gelar doktornya tentang pentingnya demokrasi dan kelompok masyarakat sipil.
Ketika pemberontakan Libya pecah mulai bulan Februari 2011, Seif Khadafi yang didukung tentara melakukan kekerasan dalam mendukung ayahnya, bahkan dia menjanjikan "sungai darah.'' Pada bulan Juni 2011, Mahkamah Internasional di Den Haag menyatakan bahwa Seif dianggap powerfull sebagai Perdana Menteri Libya secara de facto. Mahkamah kemudian mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Seif, ayahnya dan kepala intelijen negara.
Tuduhan tindakan kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan, dikeluarkan setelah hakim Mahkamah Internasional mengatakan ada alasan untuk menahan tiga orang kriminal tersebut yang bertanggung jawab atas pembunuhan, melukai dan memenjarakan ratusan warga sipil setelah pecahnya demonstrasi di dua minggu pertama terjadinya pemberontakan. Yang lebih memberatkan, pada bulan Mei 2011, Mahkamah Internasional menyatakan telah menemukankan bukti bahwa ketiganya telah memerintahkan penggunaan amunisi dan senjata berat terhadap para demonstran.
WikiLeaks mengeluarkan bocoran tentang "Qadhafi Incorporated," tentang kemewahan dan nepotisme yang terjadi dikalangan keluarganya. Ketiga putra Khadafi bersaing untuk menggantikan ayahnya dan dilain sisi mereka mendapat keuntungan dari Perusahaan Minyak Nasional serta usaha Coca Cola. Demikian disebutkan bocoran WikiLeaks dalam berita kawat tahun 2006. Seif Khadafi kini menjadi salah satu kunci bagi Libya dalam penerapan sistem demokratis dan Hak Asasi Manusia seperti yang diharapkan oleh negara-negara Barat. Seif yang pada awalnya telah berusaha menjadi seorang yang demokratis, akhirnya tidak mampu lepas dari bayang-bayang ayahnya yang otoriter. Seif al-Islam pernah mengusulkan kepada pemerintah Barat sebuah gencatan senjata yang intinya berupa gagasan bahwa ia akan memimpin transisi ke demokrasi elektoral.
Namun dalam wawancara publik ia selalu menekankan bahwa ayahnya harus mempertahankan peran ketokohannya. Peran yang tidak jelas selama ini (tidak sesuai perkataan dengan perbuatan) tersebut akhirnya memicu pemberontakan pemuda Libya yang tidak memiliki harapan untuk mempunyai pemimpin yang dapat mereka percayai dan seperti yang diharapkan.
Kini Libya harus menata diri lebih bijak menuju persatuan dan kesatuan masa depan, yang dirasa sulit adalah bagaimana mempersatukan faksi-faksi yang telah terbentuk secara sektoral. Serta bagaimana Libya menemukan formula untuk menyatukan pendapat dengan demikian banyaknya suku. Kelompok milisi yang terbentuk semuanya kini memiliki senjata, bahkan hingga senjata berat dan peluru kendali panggul. Mereka hanya mau dikontrol oleh para pemimpin wilayahnya.
Kasus di Libya ini merupakan pelajaran, bahwa kejujuran serta kehati-hatian pemegang amanah dalam memerintah harus mampu membaca situasi dan kondisi rakyatnya. Beberapa contoh jatuhnya pemerintahan lebih disebabkan oleh ulah para inner circle serta anak-anak pemimpin nasional itu sendiri. Semoga Indonesia tidak seperti itu. Libya menjadi contoh terbaru tentang ideologi demokrasi yang didengung-dengungkan, "Vox populi Vox Dei." Apakah demikian? Prayitno Ramelan (http://ramalanintelijen.net )
Sumber : detiknews.com, Minggu (20/11/2011, 20.03 WIB)
Ilustrasi gambar : Reuters