Minat Ikut Pemilu Menurun, Golput Akan Meningkat
20 November 2011 | 9:20 pm | Dilihat : 2476
Sebuah ungkapan dari Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di Jakarta Rabu (16/11) yang menarik untuk dicermati tentang pemilihan umum langsung. Ketua KPU menyatakan ”Kami cermati bahwa kehadiran masyarakat ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya cenderung turun. Atau dengan kata lain tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu turun.”
Menurut Hafiz, partisipasi masyarakat pada Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama seusai reformasi bahkan mencapai angka 93%. ”Tapi, setelah itu turun lagi. Yakni Pemilu 2004 turun menjadi 84% dan pemilu kemarin (2009) menurun lagi menjadi 71%,” katanya. Data tentang besaran Golput (Golongan Putih) sejak pemilu Tahun 1971 menurut Pusat Studi dan Kawasan UGM terlihat berupa data Golput tahun, 1971 : 6.64 %, 1977 : 8.40 %, 1982 : 8.53 %, 1987 : 8.39%, 1992 : 9.09 %, 1997 : 9.42 %,1999 : 10.21 %, 2004 : 23.34 %, 2009 : 39.1%.
Hafiz mengakui, bahwa faktor yang membuat penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu adalah turunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu (KPU). Penyebab lainnya penurunan minat ikut pemilu disebabkan karena kepercayaan publik pada partai politik (parpol) maupun calon legislatif (caleg) yang diusung parpol menurun. Jika masyarakat kurang percaya pada peserta pemilu, tandasnya, mereka pun kurang tertarik menggunakan hak pilihnya. Informasi penting dari Hafiz adalah, "Memilih adalah hak, bukan kewajiban. Itu sisi lain yang harus kita pikirkan,” tegasnya.
Pemilu tahun 2009 hampir mengalami sebuah masalah besar, terkait dengan DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang amburadul hingga beberapa hari menjelang pemilu. Keputusan Mahkamah Konstitusi patut di acungi jempol karena berani mengambil keputusan atas kebuntuan soal DPT, dengan mengijinkan pemilih untuk memilih dengan hanya menggunakan KTP.
Kini, bagaimana dengan pemilu tahun 2014? Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bidang Pemuda dan Olahraga Maruarar Sirait pernah menyampaikan hasil survei DPP PDI-P terhadap pilihan politik pemuda pada hari Senin (25/7/2011) di Jakarta. Pemilih muda, dengan usia antara 17-31 tahun, akan menentukan pemenang Pemilu 2014. Jumlah pemilih muda pada Pemilu 2014 diperkirakan sekitar 40 hingga 42 persen dari total pemilih.
Populasi survei adalah warga negara Indonesia berusia 17-31 tahun, sebanyak 1.042 responden, survei dilakukan pada tanggal 17-28 Januari 2011. Menurut Maruarar, berdasarkan hasil survei, jika pemilu dilaksanakan saat itu, Partai Demokrat tetap akan mendapatkan pemilih muda terbanyak (21,3 persen), PDI-P 16,1 persen, Partai Golkar 12,3 persen, Partai Keadilan Sejahtera 4,1 persen, Partai Gerindra 2,9 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa 2,8 persen (kompas.com).
Beberapa pengamat politik bahkan memperkirakan bahwa pada pemilu 2014, mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) bisa mencapai angka 44 persen. Perlu dilakukan perbaikan secara mendasar pada aturan dan sistem politik saat ini, untuk menghindari sistem yang oleh banyak pihak dinilai koruptif, penuh kecurangan dan masih terbuka peluang politik uang.
Dengan demikian, maka bangsa Indonesia harus menyadari keberhasilan serta suksesnya pemilu pada tahun 2014 akan banyak tergantung kepada penyelenggara pemilu (KPU), kepercayaan publik kepada parpol, dan pembinaan kepada pemilih muda (usia 17-31 tahun).
Memang sulit untuk mengantisipasi kelemahan ketiganya. Publik banyak yang kemudian menjadi tidak percaya kepada KPU, walaupun tidak terungkap secara gamblang, pelaksanaan pemilu dengan trik curang menjadi konsumsi masyarakat yang terus meluas. Demikian juga dengan kepercayaan publik terhadap parpol. Kasus Nazaruddin, kasus ditangkapnya beberapa anggota DPR serta beberapa pejabat parpol jelas menurunkan citra politik dimata konstituen. Keduanya kemudian menjadikan publik bersikap apatis.
Masalah ketiga yang sangat berat dan harus diatasi adalah bagaimana menyadarkan kaum muda yang jumlahnya sangat besar, sekitar 40 persen dari total pemilih. Kaum muda di negara kita kini dapat dinilai sedang mengalami krisis jati diri. Sistem kebebasan yang berlaku telah membuat mereka terpengaruh, mengalahkan baik norma, budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia yang demikian luhur. Rasa menghormati satu sama lain serta orang yang lebih tua sangat nyata mulai luntur.
Pemandangan kekerasan, saling pukul, perkelahian masal, saling lempar serta ekspresi lainnya yang negatif menjadi hal yang sangat biasa dan terus ditayangkan di media elektronik. Mereka yang muda apabila dibiarkan tanpa pembinaan yang jelas akan menjadi generasi "cuek" dan akan tidak peduli dengan pemilihan umum baik legislatif ataupun presiden.
Nah, bangsa ini perlu segera menyadari bahwa ketiga masalah tersebut apabila tidak mendapat perhatian khusus akan menyebabkan menangnya Golput terhadap parpol papan atas. Kemenangan Golput pada dasarnya adalah sebagian dari kegagalan sebuah pelaksanaan pemilu. Sebagai contoh, total suara yang masuk pada pemilu 2009 adalah 104.099.785 dari seharusnya sekitar 171 juta hak suara masyarakat. Apabila diukur dari total hak suara, akan ditemukan angka absolut perolehan suara partai / total pemilih sebenarnya.
Angka absolut (dari jumlah 171 juta hak suara), dimana pemenang mutlaknya adalah Partai “Golput” yang mendapat: 39,1% suara. Sementara parpol lainnya adalah Demokrat: 12.7%, Golkar: 8.8%, PDIP: 8.5%, PKS: 4.8%, PAN : 3.7%, PPP : 3.2%, PKB : 3.0%, Gerindra : 2.7%, Hanura : 2.3% (Sumber Nusantaraku).
Apabila diukur dari persentase angka relatif suara partai politik dihitung berdasarkan jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya yakni , suara partai atau (total pemilih sebenarnya dikurangi golput). Maka sembilan Partai yang memenuhi parliamentary threshold 2.5% suara nasional, adalah ; Partai Demokrat: 21,703,137 suara = 20.85%, Partai Golkar : 15,037,757 suara =14.45%, PDIP: 14,600,091 suara = 14.03%, PKS: 8,206,955 suara = 7.88%, PAN: 6,254,580 suara = 6.01%, PPP: 5,533,214 suara = 5.32%, PKB : 5,146,122 suara= 4.94%, Gerindra: 4,646,406 suara = 4.46%, Hanura: 3,922,870 suara= 3.77%.
Demikian sedikit informasi tentang kemungkinan akan membesarnya jumlah Golongan Putih dalam pemilu 2014. Kini menjadi tugas bersama bangsa ini agar kita bersama-sama menyukseskan pemilu yang masih tersisa sekitar 2,5 tahun lagi. Sebuah pemerintahan akan kuat apabila pemerintah tersebut dipilih murni oleh mayoritas rakyat dan bukan dimenangkan oleh pemilih semu yang bisa tercipta ataupun diciptakan. "Memilih adalah Hak dan bukan kewajiban."
Relakah kita memberikan hak kita kepada orang lain? Kalau dibiarkan maka akan banyak yang rela dengan kecuekannya, dan resikonya pemerintah pemenang pemilu selama lima tahun memerintah akan terus dirongrong dan tidak mempunyai kewibawaan. Penulis teringat pertanyaan tetangga yang orang Jawa "Kapan bahagiane toh mas urip nang Indonesia iku....?" Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )