UAV Mesin Pembunuh Paling Mematikan

1 November 2011 | 7:52 am | Dilihat : 1428

Amerika Serikat, diakui ataupun tidak, kini  menjadi sebuah negara besar yang tidak ada tandingnya di dunia ini dalam persaingan kekuatan militer, khususnya setelah pesaing utamanya Uni Soviet kemudian pecah menjadi beberapa negara. Dalam perkembangannya sejak tahun 2001 secara terbuka telah terjadi perang antara AS dengan Al-Qaeda yang ternyata walau kecil Al-Qaeda telah mampu menyerang ke jantung ekonomi dan mempermalukan AS dengan meruntuhkan WTC yang merupakan menara kebanggaannya.

Dari pengalaman operasi  tempur, khususnya di Bosnia dan Kosovo pada tahun 1990-an, serta perang satu dekade di Afghanistan yang dimulai pada tahun 2001, pengiriman pasukan dalam jumlah besar dinilai banyak merugikan citra pemerintah AS. Banyaknya korban pasukan dan besarnya dana operasi benyak mengundang kritik rakyatnya. Sejak tahun 2009 pemerintahan Barrack Obama secara resmi menyatakan perluasan program pesawat tak berawak (UAV, Unmanned Aerial Vehicle) yang operasinya  di fokuskan di kawasan Pakistan dan Afghanistan. Tercatat sejak serangan 11 September 2001, USAF (Angkatan Udara Amerika Serikat) lebih  mencurahkan perhatiannya dengan lebih mengintensifkan  misi intelijen udara.

Kegiatan pengawasan dan pengintaian USAF sejak saat itu meningkat   3.100 persen, sebagian besar  dari operasi peningkatan drone (pesawat tak berawak). Setiap hari, Angkatan Udara harus memproses hampir 1.500 jam full-motion video dan  1.500 foto. Sebagian besar dari hasil pengintaian Predator dan Reaper (dua jenis UAV) di sekitar wilayah patroli tempur udara. Sistem surveilans revolusioner udara  tersebut disebut Gorgon Stare, yang mampu mengirimkan gambar video langsung dari gerakan fisik di darat.

Sistem yang terdiri dari sembilan kamera video dapat mengirimkan 65 gambar yang berbeda untuk pengguna yang berbeda. Mayor Jenderal James O. POSS, Asisten Deputi Kepala Staf Intelijen   Angkatan Udara bidang pengawasan dan pengintaian mengatakan, "Stare Gorgon dapat melihat seluruh isi kota, sehingga tidak akan ada jalan bagi musuh untuk mengetahui apa yang sedang kita lihat,   kita bisa melihat semuanya." Demikian hebat teknologi pengintaian UAV.

Selain berfungsi sebagai alat penginderaan jarak jauh, UAV juga dipergunakan sebagai pesawat penyerang yang efektif. Misalnya, MQ-1 Predator jenis UAV paling popular yang dipersenjatai dengan rudal Hellfire, sekarang sering digunakan CIA sebagai platform untuk memukul target darat di daerah yang sensitif. Predator dipersenjatai pada  pertama kalinya dan digunakan pada akhir 2001 dari sebuah pangkalan di Pakistan dan Uzbekistan.  Sebagian besar untuk memburu dan membunuh tokoh teroris tingkat tinggi. Keuntungan dari menggunakan  UAV sebagai kendaraan tak berawak,  dalam kasus-kasus tertentu untuk menghindari rasa malu diplomatik apabila pesawat pengintai tertembak dan pilotnya tertangkap.

Menurut The Times Scott Shane, CIA mengatakan bahwa sejak Mei 2010 drone/UAV telah menewaskan lebih dari 600 militan di Pakistan dan bukan noncombatant tunggal. Sebuah laporan dari Biro Jurnalisme Investigatif di City University di London menyampaikan informasi yang berbeda. Disebutkan  bahwa sebagian besar dari 1.842 orang yang  tewas sejak 2008 selain militan terdapat 218 warga sipil. Pada bulan Oktober 2009, CIA mengatakan mereka telah menewaskan lebih setengah dari 20 tokoh Al-Qaeda tersangka teroris yang paling dicari. Pada Mei 2010, pejabat kontra-terorisme AS mengatakan bahwa pesawat tak berawak telah melakukan serangan di Pakistan dan telah menewaskan lebih dari 500 militan sejak 2008.

UAV kini menjadi pesawat andalan negara AS, dimana beberapa tokoh tersangka teroris besar seperti Atiyah Al-Rachman dan Anwar Al-Awlaki telah tewas diserang Predator. Teknologi dalam intelijen udara serta pemanfaatan pesawat tak berawak telah merubah strategi pengerahan pasukan dengan memainkan kartu pejuang sipil yang didukung UAV. Contoh keberhasilan besar operasi anti teror dan perang dipraktekkan juga di Libya. Khadafi dengan kekuatan militernya yang cukup kuat telah dihancurkan dalam waktu delapan bulan oleh rakyatnya sendiri dengan dukungan udara dari NATO dan AS.

Indonesia sebagai negara yang juga memiliki Angkatan Udara sangat perlu mengembangkan terus program pesawat tak berawak. Kemampuan melakukan infiltrasi serta akurasi data lapangan sangat penting baik dalam sebuah operasi anti gerilya, anti teror serta dalam sebuah pertempuran. Untuk mencari kelompok separatis di Papua nampaknya bukan hal yang sulit dengan teknologi UAV, karena pengamatan udara tidak terkendala dengan beratnya medan Papua. Inilah pentingnya intelijen udara bagi sebuah operasi militer dan penegakan hukum. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )

 

This entry was posted in Kedirgantaraan. Bookmark the permalink.