Air Power kini menjadi Truf Pemerintah AS dan NATO
27 October 2011 | 9:35 am | Dilihat : 1753
Dari beberapa kasus pertempuran yang kini terjadi, nampak negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat telah melakukan perubahan kebijakan strategis untuk memenangkan perang dengan memainkan kekuatan udara berbasiskan teknologi tingkat tinggi. Menurunkan pasukan dalam jumlah besar adalah strategi masa lalu.
Contoh mutakhir perubahan strategi militer AS dan sekutunya diterapkan dalam perang sipil di Libya, dimana kekuatan udara AS dan NATO mampu melumpuhkan baik unsur pertahanan udara Libya, pasukan lapis baja hingga pasukan infanteri. Dengan dilengkapi intelijen udara yang akurat, setiap saat pesawat-pesawat tempur AS dan NATO berhasil menghancurkan tiap sasaran didarat. Keunggulan di udara menjadi milik sekutu dan mereka kemudian menerapkan zona bebas terbang di wilayah udara Libya.
Kekuatan darat tidak dikerahkan oleh sekutu, kartu yang dimainkan adalah para pejuang pemberontak yang dipersenjatai. Tidak bisa dibayangkan militer loyalis Khadafi yang terlatih dan demikian kuat dapat dikalahkan oleh rakyat bersenjata. Semua tidak terlepas dari peran Angkatan udara Amerika (USAF) dan NATO. Tiap pergerakan pasukan lapis baja loyalis Khadafi langsung di hancurkan tak bersisa begitu mereka bergerak untuk menyerang para pejuang. Dalam operasi udara di Libya, AS juga menggunakan teknologi pesawat tanpa awak (UAV) yang mampu memonitor dan menyadap setiap komunikasi, memata-matai dan menyerang dengan kelengkapan peluru kendali Hellfire.
Contoh peran dan efisiensi unsur udara adalah penyergapan konvoi Kolonel Khadafi saat mencoba melarikan diri dari benteng Sirte. Upaya melarikan diri digagalkan, dimana sebagian konvoi dihancurkan oleh pesawat UAV dari AS dan diserang pesawat tempur Perancis hanya dua mil dari Sirte. Setelah konvoi porak poranda, kemudian para pejuang mengepung Khadafi. Tanpa dukungan udara tersebut, mungkin Khadafi akan lolos keluar Libya. Disini terlihat besar dan pentingnya peran dan akurasi air intelligence serta kekuatan udara dalam sebuah pertempuran.
Peran kekuatan udara yang menonjol terlihat dalam penyergapan tokoh teroris di Pakistan dan Afghanistan. Pesawat tanpa awak (UAV) yang dikendalikan oleh CIA mampu mendeteksi dan membunuh tokoh-tokoh tersebut di wilayah manapun. Sekitar duapuluh lebih tokoh utama Al-Qaeda, Haqqani dan Taliban berhasil dibunuh oleh pemakan udara yang mirip hantu senyap di udara, dikenal bernama "Predator."
Dengan pengalaman perangnya di Vietnam, Bosnia, Irak, Afghanistan nampaknya AS akan menggunakan teknologi udara yang sudah sangat maju untuk mengintervensi sebuah wilayah dan bahkan negara. Mendukung kelompok pemberontak di sebuah negara dengan kekuatan udara. Mereka kini tidak menurunkan pasukan dalam jumlah besar untuk menguasai sebuah negara. Disamping biaya yang sangat mahal, resiko terbunuhnya pasukan akan mengundang kritik keras di dalam negeri.
Jadi, era terkini, memainkan dan meng-efektifkan Air Power dalam sebuah peperangan menjadi pilihan terbaik dan termurah bagi AS dan sekutunya. Nah Indonesia nampaknya juga mulai membaca perkembangan strategi militer tersebut, dengan upayanya menghidupkan PT Dirgantara Indonesia, bekerja sama dengan Airbus Military Industry (AMI) untuk memproduksi pesawat CN-295. Pembuatan pesawat tersebut untuk memenuhi pesanan TNI Angkatan Udara dengan nilai kontrak USD325 juta. Pesanan tersebut diharapkan akan selesai pada semester pertama 2014.
Pembangunan kekuatan pertahanan nampak mulai menjadi fokus pemerintah, dimana hingga 2014 mendatang pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp150 triliun untuk pengadaan serta modernisasi alutsista bagi TNI dan alat material khusus (almatsus) bagi kepolisian. Disamping itu Indonesia memutuskan menerima hibah 24 pesawat tempur F-16 dari pemerintah AS. Untuk pembangunan pertahanan akan penulis susun dalam artikel tersendiri. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )