Pelajaran dari Tewasnya Khadafi

22 October 2011 | 12:10 am | Dilihat : 530

Jakarta -detikNews. Berita kematian Kolonel Muammar Khadafi pada Hari Kamis (20/10) merupakan berita internasional yang sangat besar. Di mana kemudian terjadi simpang siur berita tentang kebenaran berita serta proses kematiannya.

Pemerintah sementara Libya dan para pembawa berita media pada awalnya berbeda dalam menyampaikan berita tersebut. Dari beberapa penelusuran, nampaknya memang benar Khadafi telah tewas ditembak. Selalu ada pelajaran di balik suatu peristiwa, termasuk dari tewasnya Khadafi.

Selama beberapa minggu pasukan loyalis Khadafi telah berhasil tetap mempertahankan benteng terakhir mereka di Sirte (Surt), kampung Khadafi. Pasukan NATO dan pejuang Libya terus mengamati hari demi hari kampung yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan loyalis itu. Gelombang serangan terus dilakukan para pejuang. Sekitar pukul 08.30 pada Kamis pagi, terlihat iring-iringan mobil bergerak dari Sirte. Sekitar dua mil setelah meninggalkan Sirte, konvoi tersebut telah dideteksi oleh pesawat penyerang tanpa awak Predator (UAV) serta pesawat tempur dari Angkatan Udara Perancis.

Menhan Perancis Gerard Longuet mengatakan konvoi tersebut diserang dengan peluru kendali, dua kendaraan hancur tertembak. Sementara berapa kendaraan yang lolos kemudian berbalik arah dan berpencar melarikan diri, para pejuang terus mengepung konvoi tersebut. Salah seorang pemimpin pejuang, Mohammed al-Laith menyatakan kepada Al Jazeera, bahwa Kolonel Khadafi kemudian melarikan diri dari Jeep di konvoi itu dan bersembunyi ke dalam pipa drainase besar. Setelah pertempuran senjata yang didukung oleh pengawalnya agak mereda, di mana para pengawalnya dibunuh para pejuang, Khadafi kemudian keluar dari persembunyiannya dalam keadaan luka-luka.

Moh al-Laith mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mantan pemimpin Libya itu masih memegang senjata AK (Kalashnikov) serta pistol. Video pada Al Jazeera menunjukkan Kolonel Khadafi terlihat terluka, tetapi jelas masih hidup. Al Jazeera mengutip pernyataan seorang pejuang yang mengatakan bahwa Khadafi meminta belas kasihan. 'Show me mercy!' (Tunjukkan belas kasihan!) katanya sambil menangis. Seorang pejuang kemudian menarik rambutnya dan yang lainnya memukul kepalanya dengan gagang pistol. Khadafi kemudian dibawa dengan sebuah mobil ambulans dengan dikawal sepuluh pejuang ke Misurata, sebuah kota di pantai Barat. Mahmoud Jibril, perdana menteri Dewan Transisi Nasional, pemerintah sementara mengatakan dalam konperensi pers di Tripoli, "Kami telah menunggu saat ini untuk waktu yang lama, Muammar Khadafi telah mati." Menurut kantor berita di Tripoli, juru bicara Dewan di Benghazi mengatakan dokter telah memeriksa mayat Kolonel Khadafi di sebuah rumah di Misurata dan menemukan dia telah ditembak di bagian kepala dan perutnya

Selain Khadafi, salah satu dari putranya yang ditakuti, Muatassim juga ikut tewas pada hari hari Kamis tersebut. Para pejabat Libya mengatakan, ada laporan lain yang belum dikonfirmasikan bahwa Seif al-Islam putra Khadafi yang lain juga telah ditangkap atau terluka. Kini gelombang anti kediktatoran lebih menguat di kawasan Timur Tengah. Mereka mengatakan nasib yang sama kini menunggu dua diktator Arab lainnya yang selalu berusaha untuk menghancurkan pemberontakan rakyat. Mereka adalah Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman dan Presiden Bashar al-Assad dari Suriah. Contohnya sudah ada, mantan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali dari Tunisia dan mantan Presiden Hosni Mubarak dari Mesir. Ben Ali melarikan diri dari negaranya dan Husni Mubarak kini dipenjara, dan kini diktator lainnya Khadafi tewas. Itulah akibat kediktatoran yang sudah tidak cocok lagi diterapkan di kawasan.

Presiden Amerika Serikat Barrack Obama mengatakan, "Kami dapat mengatakan bahwa rezim Khadafi telah berakhir, masa suram tirani telah berakhir, dan dengan janji besar, rakyat Libya kini memiliki tanggung jawab yang besar untuk membangun negara Libya yang inklusif dan toleran serta demokratis. Kediktatoran Khadafi adalah sebuah peringatan kegagalan sistem diktator."

Demikian akhir sebuah kisah kediktatoran di sebuah negara, yang kemudian dijadikan musuh bersama oleh negara-negara Barat yang besar. Mereka menginginkan diberlakukannya sistem demokrasi serta diterapkannya Hak Asasi Manusia. Pada era globalisasi, di mana dunia kini seakan tanpa batas, sebuah negara tidak dapat berdiri sendiri dan bertindak semaunya sendiri terhadap rakyatnya. Pemimpin harus bisa membaca situasi dan kondisi internasional, terlepas dengan kepentingan negara-negara besar itu, kita memang harus bertindak sesuai dengan kepribadian kita dan memperhatikan rakyatnya.

Keamanan serta keselamatan negara kini tergantung kepada bagaimana pemerintah memakmurkan rakyatnya, bertindak adil dan bijaksana, tidak sewenang-wenang, dan menjaga Hak Asasi Manusia. Kewaspadaan pemerintah adalah bagaimana mengantisipasi serta melakukan counter terhadap upaya-upaya penggiringan pemerintah serta aparat untuk bertindak represif.

Di sinilah dibutuhkan kepemimpinan yang cerdas serta bijaksana, mulai dari top hingga down leader. Waspada terhadap upaya pemancingan aparat kearah killing ground. Itu saja kuncinya kalau kita ingin selamat bersama. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.