ISA Dicabut, Amankah Malaysia?
17 September 2011 | 5:33 am | Dilihat : 616
Pada era pemerintahan Orde Baru, masyarakat di Indonesia dikunci, tidak bisa bergerak bebas, karena adanya Undang-Undang (UU) Subversi. UU yang berasal dari tahun 1963 tersebut banyak menjerat warga negara yang aktif berpolitik,terutama yang menginginkan perubahan.
UU Subversi sangat efektif untuk dipergunakan dalam mengatasi masalah ketertiban, keamanan,dan stabilitas.Baru setelah Reformasi 1998, UU Subversi dicabut. Indonesia yang menganut sistem demokrasi, tepatnya lebih pada sistem demokrasi liberal,memunculkan masalah keamanan dalam beberapa kasus politik dan budaya seperti yang kita saksikan kini.
Ingar-bingar demokrasi, penyuaraan revolusi, kerusuhan, perkelahian antaranggota masyarakat, pertentangan etnik, agama,dan banyak kemelut keamanan mendudukkan demokrasi terus dalam masa transisi, yang entah hingga kapan. Itulah kira-kira peran penting sebuah UU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nah, berita terbaru datang dari Malaysia berkaitan dengan UU. Selama ini banyak dari kita menanyakan kenapa di Indonesia banyak terjadi serangan teroris,tetapi di Malaysia tidak ada yang mengebom? Bahkan dua teroris andal Malaysia, Noordin M Top dan Dr Azhari yang sudah almarhum, sejak 2002 selama bertahuntahun punya mainan bom di Indonesia.
Keduanya bahkan kemudian mempunyai jaringan dan pengikut, bahkan sempat nikah di Indonesia. Jawabannya karena tidak adanya UU yang mengunci teroris dan kesadaran masyarakat pun tidak ada. UU Nomor 15/2003 yang khusus dibuat untuk mengantisipasi ancaman teroris dinilai tidak menggigit karena UU tersebut dibuat saat euforia Reformasi masih demikian kental.
Mari kita lihat perkembangan menarik dari Malaysia soal Internal Security Act (ISA).PM Najib mengatakan dalam pidato menjelang peringatan ke-48 kemerdekaan Malaysia bahwa pemerintahnya akan menghapus Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA) yang memungkinkan penahanan tersangka tanpa proses pengadilan.
ISA tersebut akan diganti dengan dua peraturan baru yang akan digunakan terhadap tersangka militan. Ribuan orang telah ditahan berdasarkan ISA dalam lima dekade terakhir, sebagian besar mereka dicurigai sebagai anggota kelompok militan Islam dan para pengkritik pemerintah.
Langkah menghapuskan UU menakutkan pihak oposisi dan bahkan teroris, yang berusia 51 tahun itu, merupakan salah satu tuntutan kunci pihak oposisi. PM Najib mengatakan dihapuskannya ISA dan perubahan lain ditujukan untuk menjamin terlaksananya demokrasi yang matang dan modern.
Najib menyatakan dua peraturan baru yang akan dikeluarkan akan disusun untuk menjamin jalannya negara multiras. Sejak serangan terhadap WTC 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), Perdana Menteri Mahathir kemudian juga menggunakan ISA untuk kegiatan kontraterorisme di Malaysia.
Serangan terhadap WTC bulan September itu juga mendorong perubahan besar dalam kebijakan AS tentang represi politik di Malaysia. Oleh kelompok oposisi dan kelompok hak asasi manusia, ISA dinilai kejam dan ketinggalan zaman, terus digunakan pemerintah sebagai alat untuk membungkam perbedaan pendapat politik.
Aktivis politik Malaysia di masa lalu telah ditahan di bawah ISA selama lebih dari satu dekade tanpa pengadilan. Itulah kirakira pendapat mereka yang anti-ISA. Pada era pemerintahan Perdana Menteri Mahathir, terus diupayakan kontrol yang semakin ketat terhadap pers.
Printing presses and publications act mengharuskan semua publikasi mendapatkan lisensi tahunan untuk beroperasi. Tiap pelanggaran dapat diberhentikan tanpa judicial review. Salah satu bagian dari Kementerian Dalam Negeri melakukan sensor terhadap semua publikasi asing dan publikasi yang melakukan kritik berulang kali terhadap pemerintah.
Internet termasuk yang diawasi dengan ketat oleh pemerintah. PNS diminta untuk mengambil sumpah setia kepada raja, negara, dan pemerintah. Akademisi dan mahasiswa juga diperlukan untuk mengambil janji.
Semangat Baru?
Nah,kini PM Najib telah memutuskan akan mengganti ISA dengan dua buah peraturan baru. Masyarakat Malaysia jelas tidak bisa lepas dari pengaruh negara tetangganya, khususnya Indonesia.Walaupun penerapan demokrasi di Indonesia masih agak kacau balau, paling tidak sebuah landasan kepercayaan terhadap sistem demokrasi dapat dikatakan merupakan sebuah langkah maju dan sangat dikehendaki oleh negara Barat sebagai sumber dari sistem tersebut.
Presiden SBY mengambil risiko tidak populis karena menjaga arus demokrasi, reformasi, dan kebebasan yang semakin kuat sesuai dengan kesepakatan masyarakat. Kita biasa diatur dan ditekan dengan aturan ketat mirip ISA di masa lalu, kini saatnya jalan menuju cita-cita luhur bangsa mau tidak mau harus melalui jalan panjang transisi demokrasi.
Kunci di Indonesia adalah tetap tabah berada dalam biduk NKRI dalam menghadapi gelombang transisi dan arus demokrasi yang dapat dikatakan masih liar. Malaysia sebagai negara tetangga Indonesia terdekat dan bahkan katanya satu rumpun, masyarakatnya jelas terpengaruh dengan situasi dan kondisi penerapan demokrasi seperti di Indonesia.
Mereka pun memimpikan kondisi seperti Indonesia. PM Najib menegaskan alasan kebijakan pemerintahannya, “Perubahan ini ditujukan untuk menuju berfungsinya demokrasi yang modern dan matang yang akan terus mempertahankan ketertiban umum,menjamin hak sipil, dan mempertahankan harmoni rasial.”
Kita akan melihat Malaysia mendatang, mampukah mereka mempertahankan stabilitas politik dan keamanan karena masyarakatnya sudah sekian lama ditekan dengan ISA? Situasinya bisa mendekati Indonesia di awal Reformasi, euforia demokrasi kebebasan bisa sewaktu-waktu meledak. Semuanya akan tergantung dengan peraturan baru yang dibuat.
Tekanan kebebasan di sana bukan suatu hal yang ringan karena ini sudah menjadi tren yang mendunia. Pemerintah yang berkuasa di Malaysia harus lebih bijak agar tidak dimusuhi rakyatnya, tanpa sadar mereka bisa berada di area berbahaya. Di lain sisi, kalimat “Welcome Terrorist” bisa saja mendadak akan muncul di Kuala Lumpur, Johor ataupun Kelantan. Apakah begitu? Entahlah, kita lihat saja nanti.● MARSDA (PUR) PRAYITNO RAMELAN, Pemerhati Intelijen ( www.ramalanintelijen.net )
Sumber : Harian Seputar Indonesia/Opini, 17 September 2011