Pray Menjadi Narsum Di Kompas TV
11 September 2011 | 5:49 pm | Dilihat : 284
Pada tanggal 7-9 september 2011 penulis mengikuti International Seminar on Deradicalization di Bali yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dimana penulis adalah salah satu anggota kelompok ahli. Sebelum berangkat, Mas Iskandar Jet, Admin Kompasiana menelpon, memberi tahukan bahwa penulis akan diundang dalam siaran perdana, sebagai narasumber di Kompas TV mengenai masalah terorisme. Penulis mengatakan tanggal 9 September sudah berada di Jakarta. Nah, dengan rasa kegembiraan sebagai seorang kompasianer yang sejak akhir tahun 2008 bergabung di Kompasiana, maka tadi pagi (11/9) penulis hadir distudio News Kompas TV, di lingkungan Gramedia Group kawasan Palmerah Jakarta.
Studio yang terletak di lantai lima gedung grup yang bernaung dalam Kompas Group terasa masih dalam persiapan awal, masih agak berbeda dibandingkan dengan studio Metro TV dan TV One dimana penulis juga kadang diundang sebagai narasumber. Kemarin dari staf news menghubungi penulis melalui tilpon, mempersiapkan rencana talk show tersebut. Kedatangan penulis pukul 05.10 disambut oleh Andree staf news dan Epy Handayani sebagai co producer news pagi, informasi awal akan on air pukul 05.30. Setelah di bedaki ala kadarnya (standard agar muka tidak berkilat terkena lampu), penulis bertemu dengan Wahyu Adiartono ketua ASKOBI, Asosiasi Korban Bom di Indonesia yang juga diundang pada pagi itu.
Setelah mengobrol agak lama, sekitar pukul 07.00 talk show baru dimulai. Diskusi seputar kasus bom di Indonesia, dimana Mas Wahyu menyampaikan hanya berada tujuh meter dari mobil pembawa bom tersebut dan menyampaikan bahwa asosiasinya kini memfasilitasi sekitar 630 orang korban bom teroris di Indonesia. Penulis kemudian diminta menjelaskan tentang pengertian teror dan mengapa fenomena terorisme marak di Indonesia.
Penulis terpaksa agak cepat menjelaskan, karena ternyata talk show perdana tersebut hanya satu segmen. Sementara di tempat lain tiga atau empat segmen. Terorisme adalah sebuah fenomena yang sulit dimengerti. Aksinya mematikan, tertutup dan bisa menimbulkan korban yang banyak. Tanpa pendidikan dasar yang cukup seorang teroris dapat melakukan aksi spektakuler. Efek dari serangan teror memiliki dimensi yang luas dan tindakan tersebut memberikan tekanan kepada pemerintah. Selanjutnya penulis mengatakan bahwa terorisme adalah sebuah mazhab/aliran kepercayaan melalui pemaksaaan kehendak dimana mereka menyuarakan pesan, kegiatannya illegal dilakukan dengan kekerasan, brutal dan mensyahkan pembunuhan. Menurut teori, tujuannya adalah untuk melumpuhkan otoritas pemerintah sehingga mereka dapat menerapkan mazhab/aliran kelompok tersebut.
Tujuan utama teror adalah untuk menghancurkan sistem ekonomi, politik dan sosial masyarakat dan akan diganti dengan struktur yang baru. Jadi terorisme kini adalah profesi kaum fanatik untuk mencapai keinginannya. Penulis juga dengan cepat (terpaksa) menjelaskan bahwa aksi teror di Indonesia berupa bom bunuh diri tahun 2002-2009 sangat jelas menempatkan Amerika Serikat dan sekutunya serta simbol-simbolnya sebagai target. Sejak 2009 mereka diciri mulai menggeser target ke sasaran publik serta simbol negara Indonesia.
Karena waktu yang terlalu ‘mepet’, penulis menambahkan bahwa terorisme bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Yang diperlukan adalah kewaspadaan masyarakat harus dibangkitkan dan tidak hanya sekedar menyerahkan ke penegak hukum belaka. Keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam kegiatan preventive dan deradikalisasi sangat dibutuhkan. Itulah singkatnya yang disampaikan penulis tadi pagi. Memang sayang waktunya terlalu pendek, tetapi dapat dimaklumi karena ini adalah siaran perdana yang mempunyai masa depan yang cerah. Penulis percaya bahwa Kompas TV akan menjadi salah satu unggulan TV berita dan hiburan, mengingat kuatnya jaringan Kompas yang kredibel dan banyak disukai masyarakat.
Sebetulnya banyak yang bisa penulis sampaikan pada tanggal 11 September ini tentang masalah terorisme dan permusuhannya dengan AS. Misalnya bagaimana strategi AS dalam melakukan strategi kontraterorisme, yang oleh Menlu Hillary Clinton, bahwa AS akan terus memperbaikinya. Hillary juga mengatakan, pembunuhan Osama bin Laden oleh pasukan AS belum lama ini merupakan langkah besar dalam menangkap atau membunuh para teroris dan menghancurkan sel-sel dan konspirasi dalam satu dekade terakhir. Presiden Barrack Obama mengatakan bahwa kini AS menjadi lebih kuat dibandingkan saat peristiwa 911.
Sementara Hillary mengatakan ”Kita akan terus mempertahankan hak kita untuk menggunakan kekuatan. Berkat militer kita, intelijen dan upaya-upaya penegakan hukum dalam satu dekade terakhir, struktur kepemimpinan Al Qaeda telah hancur,” tuturnya, seperti dilansir AFB Sabtu 10 September 2011. Yang menarik Hillary menyatakan bahwa ”Pada akhirnya, ini terletak di bahu rakyat Amerika sendiri.” Ini menunjukkan bahwa ancaman terorisme tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah semata. Peran aktif masyarakat serta kepedulian akan tanggung jawab ternyata menjadi kunci atau strategi kontraterorisme, seperti yang juga penulis sampaikan diatas.
Nah, demikian sedikit rasa bahagia penulis sebagai kompasianer yang diundang Kompas TV untuk ikut berperan dalam mendukung saudara kandung Kompasiana tersebut. Selamat kepada Kompas TV, semoga semakin maju, semoga permasalahan perijinan yang diangkat oleh KPI segera dapat selesai. Yang perlu diingat, bahwa kini terdapat stasiun berita yang sudah eksis yaitu Metro TV, TV One, dan First Media (ex Q TV), yang akan menjadi pesaing dari Kompas TV dalam meramaikan media yang kini semakin besar pengaruhnya di masyarakat sehingga diberi julukan “silent revolution.” Bahkan pada waktunya nanti di 2014, perannya bisa mengalahkan pengaruh jejaring partai politik. Salam hangat dari Pray kepada para kompasianers dan sekali lagi selamat kepada Kompas TV.
Mari kita berangkat dari “niat” yang baik, disamping kepentingan bisnis, pendidikan dan pencerahan kepada masyarakat yang haus informasi penulis yakin akan menjadikan sebuah stasiun TV makin dicintai publik. Masyarakat kini sudah mulai bosan dengan kekerasan dan kerusuhan, intimidasi, sirik dan tindak provokasi. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai tetapi kita sadar, banyak dari kita yang pendidikannya kurang, sehingga mudah di “kompori” dan kemudian ada diantaranya mudah menjadi beringas.
Ditayangkan di : http://kompasiana.com/prayitnoramelan