Afghanistan Akan Menjadi Vietnam Kedua?
10 August 2011 | 12:30 am | Dilihat : 512
Jatuhnya Heli Chinook dan tewasnya 22 anggota pasukan elit AS Navy Seals, 7 pasukan Afghanistan dan seorang penterjemah telah menunjukkan bahwa perang campuh di Afghanistan semakin memburuk. Dua propinsi yang berbatasan dengan Ibukota Kabul yaitu Logar dan Wardak menjadi wilayah yang berbahaya dan dikuasai Taliban. Demikian juga Propinsi Kunar dan Nangarhar disebelah Timur Kabul menjadi wilayah yang tidak aman, walaupun psukan NATO telah meningkatkan jumlah pasukannya. Demikian laporan Sangar Rahimi (New York Times) di Kabul.
Selanjutnya dilaporkan bahwa sebagian anggota Dewan Provinsi Logar sudah tidak berani bekerja, karena tidak adanya daerah aman bagi mereka. Para Taliban, melakukan sweeping terhadap masyarakat dan memeriksa kartu identitas, apabila menemukan adanya pegawai pemerintah, mereka langsung memenggal kepalanya. Sehingga masyarakat semakin ketakutan dengan teror yang semakin kejam.
Masyarakat dilaporkan tidak menyukai ulah pasukan NATO yang sering melakukan penggerebekan malam hari dan menangkap serta menginterogasi warga. Tindakan tersebut makin meningkatkan kebencian terhadap pasukan NATO. International Crisis Group melaporkan bahwa pemberontak Taliban menguasai provinsi Logar, Wardak dan Gazni. Diperbatasan Wardak dan Logar beroperasi jaringan/kelompok Haqqani yang terkenal kejam. Mereka melakukan pembunuhan, pemenggalan kepala, dan membunuh tiga insinyur pegawai non pemerintah. Kejadian semakin membuat ketakutan dan menyebabkan 800 orang pegawai Afghanistan kemudian tidak masuk kerja di pangkalan Amerika karena takut.
Memburuknya situasi dan naiknya semangat tempur Taliban nampaknya berkait dengan keputusan Presiden AS, Barrack Obama, yang pada tanggal 22 Juni 2011 menyatakan bahwa tujuan utama Amerika Serikat telah tercapai di Afghanistan dan AS akan melakukan penarikan pasukannya. Obama menegaskan bahwa ancaman dari negara yang mengancam AS seperti serangan 11 September 2001, kini dinilai sudah bukan ancaman lagi. Obama menyatakan bahwa "gelombang perang sudah surut, sekarang saatnya Amerika fokus pada pembangunan didalam negeri."
Obama akan menarik 10.000 pasukan hingga akhir tahun ini, dan 20.000 lagi pada musim panas mendatang. Kekuatan itu adalah sepertiga dari 100.000 pasukan yang kini berada di Afghanistan. Penarikan akan terus dilakukan hingga tanggung jawab keamanan akan diserahkan kepada pihak berwenang di Afghanistan pada 2014. Presiden Perancis Nicolas Sarcozy juga menyatakan akan menarik 4000 pasukannya.
Obama menegaskan bahwa operasi rahasia telah berhasil melumpuhkan jaringan induk Al-Qaeda, dan dari 30 pimpinan Al Qaeda, 20 tewas dalam enam bulan terakhir. Dikatakannya, "Ketika terancam, kita harus merespon dengan kekuatan, tetapi ketika kekuatan dapat diperkirakan, kita tidak perlu mengerahkan pasukan yang besar di luar negeri." Jenderal Petraeus dari CIA tidak mendukung keputusan tersebut, dan merekomendasikan membatasi penarikan ke 5.000 tentara tahun ini dan 5.000 lainnya selama musim dingin. Beberapa pihak di AS pesimis dengan langkah pemerintah, karena mereka tidak yakin dengan pasukan Afghanistan, disamping masih merajalelanya korupsi. Penasihat Presiden Karzai tidak begitu yakin dengan kemampuan pemerintah Afghanistan, yang seharusnya menjadi fokus AS agar pemerintahan stabil dahulu.
Nah, kini nampaknya AS sudah demikian serius akan meninggalkan Afghanistan sebagai palagan tempurnya. Target utamanya Osama Bin Laden telah diselesaikan. Nampaknya dalam waktu tidak terlalu lama kekuatan Taliban akan semakin menguat, karena rakyat terpaksa bergabung dengan mereka. Pemerintah boneka yang kini memerintah akan sulit mengonsolidasikan kekuatan serta nampaknya tidak mampu mengontrol situasi keamanan negaranya. CIA yang mengetahui kondisi Afghanistan sepenuhnya nampaknya tidak yakin dengan penarikan pasukan dalam jumlah besar, karena virus Taliban akan dengan cepat membesar.
Penulis berdasarkan fakta-fakta tersebut memperkirakan, sepeninggal AS, Afghanistan akan bisa menjadi negara seperti Somalia, dimana pemerintah hanya berkuasa dipusat, perampok menjadi raja-raja di propinsi lainnya. Atau kemungkinan kedua, Afghanistan akan menjadi seperti Vietnam yang lebur menjadi satu sepeninggal AS. Kemungkinan besar penulis perkirakan, Taliban kembali akan menguasai negara tersebut, dan statusnya bisa menjadi negara gagal. Dengan pengertian kekuatan teror anti AS di dunia akan kembali eksis berkembang disana, bahkan Afghanistan bisa saja menjadi State Directed Group (negara yang menyeponsori teroris) seperti Libya.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari studi kasus ini? Sebuah kekuatan ekstrim radikal ataupun yang berbentuk insurgensi di negara kita jangan dibiarkan hingga membesar. Diawali dengan teror, kemudian menjadi separatis bersenjata. Tidak bisa dibayangkan apabila di negara kita ada kelompok seperti di Thailand Selatan, di Philipina Selatan ataupun di Afghanistan.
Bibit-bibit seperti itu sudah nampak di Indonesia dan bahkan ada indikasi di dukung asing. Jangan dibiarkan, kasus di Papua harus segera ditangani lebih fokus. Kalau semakin membesar, akan sulit diatasi, contoh sudah sangat jelas, AS sebagai negara super power saja sulit menguasai sepenuhnya Afghanistan dan Vietnam, akhirnya terpaksa "pull out". Aksi gerilya dan insurgensi disuatu tempat apabila sudah membesar biasanya gagal ditumpas walau dengan teknologi perang yang paling mutakhir.
Selesaikan sebelum membesar atau mereka tenang-tenang dan akan menyelesaikan dengan pola penyelesaian GAM? Itulah pekerjaan rumah pemerintah dan para elit politik. Entah, apakah elit dengan keputusan politik akan segera menurunkan sepenuhnya kartu TNI sebagai kartu truf? Kita jangan hanya sibuk mengurusi kasus Nazar dengan korupsi, tetapi menyepelekan kasus insurgensi. Untuk menjaga keutuhan NKRI tidak cukup hanya dengan berdiskusi, tetapi diperlukan keputusan dan tindakan nyata. Ataukan mereka memang tidak faham? Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )
Sumber informasi : Sangar Rahimi dan Ray Rivera serta Alissa J. Rubin dari Kabul, Afghanistan (NYT).