Pelajaran Dari Kasus Breivik
31 July 2011 | 5:27 am | Dilihat : 341
Dunia dikejutkan dengan adanya tindakan brutal dan biadab dari Anders Behring Breivik yang melakukan serangan dengan meledakkan bom di kompleks kantor Perdana Menteri Norwegia di kota Oslo hingga menewaskan 8 orang pada Jumat (22/7). Beberapa jam kemudian dia kembali melakukan serangan dengan senjata api hingga membunuh 69 kader muda Partai Buruh di perkemahan Pulau Utoeya, 45 kilometer dari Oslo.
Breivik nampaknya tidak takut dengan kemungkinan ancaman hukuman dinegara Skandinavia tersebut, karena Norwegia menganut sistem sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia serta prinsip keterbukaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penjara di Norwegia bukan sebagai tempat menghukum, tetapi sebagai tempat untuk mempersiapkan kembalinya yang bersangkutan ketengah masyarakat. Itulah kesepakatan 4,8 juta warganya.
Yang menjadi inti masalah kini adalah siapa dia dan kenapa dia melakukan hal yang demikian sadis. Kepolisian Eropa terus menyelidiki manifesto yang dibuat Breivik bertajuk 2083, Deklarasi Kemerdekaan Eropa setebal 1500 halaman. Disamping itu Breivik diketahui aktif berhubungan di internet dan bergabung dengan kelompok ekstremis. Breivik yang kini berusia 32 tahun, ternyata melakukan persiapan beberapa tahun sebelum melakukan serangan.
Breivik bergabung dengan kelompok ekstremis sejak 2002 yang akan membentuk Kesatria Templar Eropa, dengan tujuan mengontrol negara-negara Eropa , mengimplementasikan agenda politik konservatif, membebaskan dunia Barat dari umat muslim, multikulturalis, dan Marxis. Dia ditahbiskan sebagai kesatria keadilan kedelapan.
Pemikiran serta pandangan Breivik mungkin sulit di jejaki oleh unsur intelijen dan counter teroris Norwegia, Delta Force, tetapi kelengahan identifikasi aparat keamanan saat dia mengumpulkan bahan pembuat bom, kini yang mendapat krirtik banyak pihak. Saat Breivik melakukan pembantaian dengan senjata di pulau Otoeya, dikabarkan pasukan Delta baru tiba 90 menit di lokasi. Pasukan menempuh jarak 40 km. Dalam sidang, semua terungkap, dimana dinilai bahwa pembantaian terjadi sebagai akibat lemahnya pendekatan dan perencanaan aparat keamanan dalam menghadapi teror.
Polisi kabarnya hanya memiliki satu helikopter, dan saat kejadian semua penerbangnya sedang liburan. Polisi baru menyadari kalau ada serangan di Otoeya setengah jam setelah Breivik mulai menembak, semua fokus terarah ke kasus bom Oslo. Kelemahan dari intelijen polisi disebutkan sebagai ketertinggalan dalam mengadaptasi struktur keamanan internal dan prosedur menghadapi tantangan teroris.
Nah, apa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus Breivik? Norwegia selama ini tercatat sebagai negara yang jauh dari tindakan brutal sejenis teror. Tidak waspadanya aparat intelijen dan polisi menjadi salah satu sebab, sebagai sebuah kerawanan dari sebuah sistem keamanan. Sudah demikian lama Norwegia dinina bobokan dengan rasa aman, dimana dari 4,8 juta penduduk, hanya 3300 orang sebagai narapidana. Rata-rata residivis yang kembali melakukan kejahatan hanya berjumlah 20 persen.
Sementara di Indonesia, mempelajari kasus serangan teror, sejak bom Bali-1 Bali (12 Oktober 2002), hotel JW Marriott (5 Agustus 2003), Kedutaan Besar Australia Jakarta (9 September 2004), kembali di Bali-2 (1 Oktober 2005), interval waktunya adalah antara 10-13 bulan. Kemudian serangan berhenti, dan aparat keamanan sangat terkejut dengan terjadinya serangan bom pemboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta (17 Juli 2009). Jarak tiga tahun sembilan bulan dari serangan bom Bali-2 telah membuat aparat agak kurang waspada, terlebih kita saat itu sedang fokus dalam pelaksanaan pemilu. Aparat terkena unsur pendadakan karena menganggap serangan teroris telah semakin melemah. Kelengahan dan penurunan kesiagaan telah dimanfaatkan teroris, mirip dengan kelengahan intelijen polisi di Norwegia tersebut.
Jadi pelajaran yang dapat dipetik adalah aparat tidak boleh lengah sedetikpun, sesuai dengan tanggung jawab dibidangnya masing-masing. Terlebih di Indonesia kini masih musim teror, banyak kelompok fanatis yang radikal disini. Banyak yang percaya akan masuk surga kalau melakukan tindakan teror. Semoga tidak ada Breivik Melayu saja disini, Amin. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )
Ilustrasi gambar : international.okezone.com