Bagaimana Intelijen Melihat Garuda Vs Harimau?
28 December 2010 | 1:47 am | Dilihat : 246
Suasana keprihatinan masyarakat Indonesia terfokus dengan pertandingan sepak bola leg-2 yang akan dilaksanakan pada tanggal 29 Desember antara Malaysia-Indonesia di Gelora Bung Karno. Para suporter Timnas Garuda menjadi terdiam pada pertandingan Leg-1 tanggal 26 Desember di stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur, dimana Timnas Garuda dipecundangi 3-0 oleh Malaysia. Perasaan sesak dada tidak hanya dirasakan penonton di KL itu, para penonton di tanah air juga merasakan hal yang sama, yang sudah demikian yakin Timnas Garuda akan menekuk Harimau Malaka dengan mudah.
Penulis mencoba menilai dan menganalisa dari sisi intelijen perseteruan antara Timnas Garuda melawan Timnas Harimau. Nah, kita lihat dahulu cara pandang intelijen. Penulis beberapa kali saat mengulas masalah terorisme, menyampaikan bahwa intelijen bertugas memberikan hasil analisa informasi yang telah diolah menjadi intelijen kepada 'user' atau pengguna, yaitu atasan analis intel tersebut.
Dasar pertama adalah yang disebut 'the past', yaitu yang disebut 'basic descriptive intelligence' yang disebut informasi dasar. Dalam kejuaraan yang sekarang digelar, Kejuaraan Sepak Bola Asean dimulai pada tahun 1996, yang hingga 2010 kini sudah dilaksanakan sebanyak tujuh kali. Dalam tujuh kali pertandingan, prestasi terbaik Indonesia, tiga kali menjadi runner-up (2000, 2002, 2004) dan sekali juara tiga (1998). Sementara itu rival saat ini di final, Malaysia prestasi terbaiknya satu kali menjadi runner-up (1996) dan tiga kali juara ketiga (2000, 2002, 2004). Kini kedua tim sama-sama berlaga di final. Kedua Tim belum pernah sekalipun menjadi juara pertama. Yang mendominasi sejak 1996 adalah Thailand dan Singapura, masing-masing pernah tiga kali menjadi juara, Vietnam satu kali.
Hal lain yang perlu dilihat dari the past adalah sejarah. Malaysia adalah negara bekas jajahan Inggris, dimana dasar berfikir orang Malaysia dibenarkan maju oleh Inggris. Kenyataannya Malaysia kemudian menjadi demikian maju, cara berfikirnyapun maju, sebagai contoh, mereka membangun Bandara Sepang dengan orientasi tahun 2020. Dengan kemampuan berbahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, warga Malaysia lebih mudah berkiprah di dunia internasional. Rasa percaya diri mereka tinggi. Dalam menghadapi Indonesia, akal mereka banyak, sering dikonotasikan negatif.
Sementara the past Indonesia yang pernah dijajah Belanda 350 tahun, selama ini dirasakan sulit maju, bahkan kita tersenyum kecut apabila disebut sebagai inlander. Mental orang yang dijajah, sejak dahulu warga pribumi dibatasi kemajuannya, bahkan terkesan di bodohkan. Mental lemah orang terjajah ini mengakibatkan sifat menjilat masih sangat kental, disebut mental ABS. Pada umumnya mental inlander menjadikan orang kurang kreatif, kurang disiplin, cenderung malas, hanya akan bekerja kalau dilecut. Kalau jadi pemimpin, maunya menang sendiri (cenderung otoriter).
Dari informasi dasar kita melihat informasi yang sedang berlaku (the present). Malaysia dengan Indonesia sejak 1963 telah terlibat konflik (konfrontasi) dengan istilah populer di Indonesia Ganyang Malaysia. Persaingan-persaingan terjadi diantara kedua negara, Malaysia dengan tagline 'the Truly of Asia' dan Indonesia dengan "Indonesia Visit'. Selain itu konflik psikologis terjadi dengan kalahnya Indonesia dalam kasus perebutan Pulau Sipadan-Ligitan, penangkapan PNS DKP, diakuinya batik, tari pendet, angklung oleh Malaysia dll. Malaysia terlihat lebih dinamis dan berani dibandingkan rivalnya Indonesia.
Bagaimana dengan the present bola? Indonesia dalam persaingan grup, mendapat nilai sembilan, tidak terkalahkan hingga di semi final. Demikian perkasa dan bahkan mampu menggulung Malaysis 5-1. Malaysia juara dua grup dengan nilai hanya empat. Indonesia demikian superior dengan selisih gol 13-2, sementara Malaysia 6-6. Nah, dengan kondisi tersebut maka mulailah pengurus, pemain dan para sponsor menilai bahwa peluang Timnas Garuda demikian besar. Mulailah persiapan Tim terganggu dengan beberapa kegiatan yang banyak tidak berkaitan dengan penyelesaian tugas besar PSSI, kebanggaan bangsa. Anggota Tim nampak terlibat dengan wawancara, kunjungan-kunjungan berbau politik, kegiatan keagamaan (istigotsah) dan lain-lain.
Apakah salah, ya tidak karena itu keputusan pengurus. Tetapi ada yang dilupakan, bahwa dalam kegiatan olahraga dalam sebuah tim, mereka harus tetap fokus hingga menjadi juara, tetap berpegang kepada tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Keberatan Riedl, sang pelatih tidak digubris. karena bola kini adalah momentum untuk mengangkat nama, menarik simpati masyarakat dan saatnya jadi pahlawan. Semuanya lupa, bahwa keyakinan semu mereka tanpa disadari akan mencelakakan bangsa ini. Pada tanggal 23 Desember, penulis membuat ulasan dengan judul "Bagaimana Kalau Kita Kalah Lawan Malaysia?' Kesimpulan akhirnya, potensi kerusuhan dan komplikasi politik bisa terjadi dengan Leg kedua sebagai pemicu.
Nah, ternyata memang betul, kini pada leg pertama Indonesia digulung Malaysia yang tadinya dikira anak bawang dengan 3-0. Semua terkejut, saling menyalahkan, dan menghibur diri masih ada 90 menit di GBK. Semua bersuara, mulai legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Peluang Garuda untuk menang walau masih ada menjadi lebih tipis, terlebih sang pelatih menyatakan bahwa secara realistis peluang Garuda hanya 10-15% saja. Tanpa disadari kini bahaya yang lebih besar mulai mengintip. Lihat saja, untuk mendapatkan karcis seharga limapuluh ribu, sekitar 10.000 calon suporter beberapa hari sebelum pertandingan sudah merusak GBK, pagar dijebol, rumput dirusak. Terus bisakah kita membayangkan kalau Timnas Garuda kembali dipecundangi Malaysia di GBK nanti? Bagaimana mengantisipasi sekitar 70.000 penonton fanatik kalau mereka mengamuk? Lihat peristiwa Koja, Batam, Sukohardjo, dan beberapa tempat lainnya. Rakyat yang marah sangat suka merusak, membakar mobil, dan bahkan melakukan pembunuhan.
Sudah siapkah penonton menerima kekalahan, bagaimana tindakan aparat keamanan? Apakah akan ditembak mereka yang mengamuk? Bagaimana kalau ada rakyat yang jadi korban? Bagaimana kalau aparat keamanan ada yang menjadi korban? Bagaimana kalau ada pemain Malaysia yang dicederai?Dan pertanyaan bagaimana tersebut akan semakin banyak apabila Timnas kalah.
Dari ukuran ketiga dasar intelijen tersebut, sebetulnya prestasi Indonesia jauh lebih baik dan peluangnya lebih besar untuk menjadi juara dibandingkan Malaysia. Akan tetapi ada faktor yang mempengaruhi yaitu urusan mental inlander, ABS, keinginan menonjol, pemanfaatan politik. Inilah beberapa masalah non tehnis yang akan terus kita jumpai hingga kapanpun kalau kita tidak sadar. Fisik dan fokus pemain Garuda menjadi terganggu karena masalah tersebut. Sementara Malaysia, dengan semangat spartan anak-anak muda telah menunjukkan hasil gemilang yang membuat kita terpana dan gentar. Menghadapi Malaysia, kita perlu tetap waspada dan berhati-hati, telah dibuktikan kita lebih sering kalah dalam beberapa hal.
Jadi kesimpulannya intelligence estimate bisa memperkirakan, peluang rusuh, tindak anarkis masih sangat mungkin terjadi. Kerusuhan bisa terjadi dan lebih berbahaya diluar stadion, dan bahkan bisa meluas. Kondisi psikologis, kesulitan hidup, kebebasan yang sering dipertontonkan akan menjadikan penonton yang marah menjadi lebih brutal dan ganas. Sangat lebih berbahaya apabila terjadi martir dikalangan penonton. Selain itu, perlu dipertimbangkan dengan lebih teliti keamanan Presiden apabila menonton di GBK. Kemungkinan terburuk (worst condition) adalah jauh lebih baik, agar kita semua waspada dan sadar, agar kita tidak terkena unsur pendadakan dan kita tidak dicap oleh bangsa lain sebagai bangsa bar-bar. Kunci amannya apabila Timnas Garuda mampu menang dengan skor 4-0. Itulah doa kita bersama seluruh bangsa. Amin.
PRAYITNO RAMELAN, Penulis Buku Intelijen Bertawaf.
Sumber: http://hankam.kompasiana.com/2010/12/28/bagaimana-intelijen-melihat-garuda-vs-harimau/ (Dibaca : 1794 kali)