Pengamanan Obyek Vital Industri Energi Nasional
23 July 2010 | 12:15 am | Dilihat : 176
"Mengapa?" Itulah satu kata penuh makna yang ditulis oleh Ladan Boroumand dan Roya Boroumand peneliti tamu International Forum for Democratic Studies dan seorang sejarawan dari Iran, serta saudara perempuannya, konsultan Human Rights Watch, yang menggambarkan kegelisahan masyarakat Barat sejak serangan 11 September yang mengerikan itu. Masyarakat Barat terus bertanya kenapa para teroris memendam kebencian yang begitu hebat kepada Barat, terutama kepada Amerika Serikat.
Kini masyarakat Indonesia juga mempunyai pertanyaan serupa. "Mengapa" teroris melakukan serangan bom bunuh diri. Dalam sebuah analisa intelijen, bagian yang terpenting dan harus dijawab oleh para analis adalah kata mengapa itu. Para analis terus berusaha untuk menjawab pertanyaan user serta masyarakat tentang akar masalah yang berkaitan dengan moral, intelektual, politik dan spiritual yang terefleksikan dalam tindak fanatisme kejam dalam beberapa serangan bom bunuh diri yang terjadi sejak awal serangan di Bali pada 12 Oktober 2002.
Kedua pertanyaan pada masyarakat Amerika, Barat lainnya maupun masyarakat Indonesia memang hingga kini ada yang belum terjawab secara tuntas. Karena terorisme adalah tetap merupakan mazhab/aliran kepercayaan dengan melalui pemaksaan kehendak untuk menyampaikan pesannya. Serangan terhadap masyarakat dan kepentingan Amerika Serikat telah terjadi baik di belahan dunia lain maupun di Indonesia.
Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God menjelaskan bahwa lahir dan berkembangnya organisasi garis keras di dunia Muslim dilatar belakangi kekecewaan terhadap modernisasi yang diterapkan oleh penguasa Muslim. Para penguasa muslim ingin memodernisasi negara mereka merujuk kepada Barat. Namun, proses modernisasi tidak berjalan secara damai sebagaimana terjadi di Barat. Lahirnya gerakan Islam garis keras didorong oleh rasa ketakutan, kecemasan, dan hasrat melindungi diri dan kelompoknya dari serangan modernitas yang sekular
Disinilah terlihat sebuah ancaman yang semakin nyata baik terhadap Amerika maupun Indonesia, khususnya di wilayah kedaulatan Indonesia. Ancaman teroris selama delapan tahun terakhir pada umumnya menyerang lokasi, tempat berkumpul warga asing, khususnya Barat seperti yang terjadi di Sari Club, Padi Caf?Caf?enega, Hotel JW Marriott, Ritz Carlton serta Kedutaan Besar Australia. Serangan dilakukan dengan pola bom bunuh diri.
Kini pertanyaannya, bagaimana perkembangan target operasi teroris selanjutnya? Dari pengungkapan beberapa dokumen serta hasil pemeriksaan oleh Polri, didapatkan informasi yang sangat penting bahwa teroris akan merubah modus operandi dari serangan bom menjadi serangan bersenjata. Beberapa bukti telah ditemukan, diantaranya terjadinya penimbunan jenis peluru M16 dan AK47 baik di Cikampek maupun di Sidoarjo. Selain itu kelompok teroris juga diketahui telah memesan senapan serbu M16 dan Rudal (peluru kendali) panggul.
Dari informasi intelijen diketahui mereka akan melakukan ambush. terhadap pejabat negara pada upacara 17 Agustus 2010. Disini berarti telah terjadi kemungkinan pergeseran target teroris yang pada awalnya target Amerika menjadi target lokal. Apakah informasi teroris sepenuhnya benar? Ini kemudian yang harus menjadi pertanyaan bagi analis intelijen. Karena bukan tidak mungkin apa yang mereka lemparkan adalah target desepsi (penyesatan). Walaupun kemungkinan benar juga, dimana indikasi penumpukan mesiu, senjata dan fokus berupa latihan bersenjata dinilai cukup beralasan.
Nah, menyikapi perubahan modus operandi serta pola serangan tersebut, maka kita sebaiknya mewaspadai juga kemungkinan mereka melakukan serangan terhadap beberapa obyek vital. Salah satu kemungkinan yang dapat menjadi target mereka adalah industri sumber daya energi nasional. Sumber daya energi dan sumber daya alam di Indonesia yang terpenting serta mempunyai peran strategis adalah minyak bumi, gas bumi dan batubara. Pada hakekatnya tiga sumber daya alam ini adalah sumber daya fosil yang sangat berharga bagi pembangunan nasional. Mempunyai fungsi sebagai sumber energi dan bahan baku industri dalam negeri serta sebagai sumber devisa negara.
Ancaman dan gangguan terhadap industri energi nasional dapat menjadi sebuah ancaman yang sangat serius bagi Indonesia, karena akan dapat mengganggu jalannya Pembangunan Nasional yang berkelanjutan. Sebagai contoh kecil, sejarah mencatat bahwa terjadinya instabilitas politik yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto diawali dengan instabilitas bidang ekonomi yang antara lain karena kasus kelangkaan BBM (Bahan Bakar Minyak). Hal ini membuktikan bahwa gangguan salah satu saja dari industri energi nasional dapat menjatuhkan pemerintahan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gangguan terhadap industri sumber daya energi dan sumber daya nasional akan sangat berbahaya terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagaimanakah bentuk gangguan serta ancaman terhadap industri yang penting dan banyak yang dikerjasamakan dengan pihak asing. Contoh yang paling nyata adalah kasus penyerangan PT Freeport, milik perusahaan dari Amerika. Hingga kini proyek raksasa tersebut terus mendapat gangguan serangan bersenjata. Untuk sementara ini para penyerang ditengarai sebagai anggota TPN-OPM yangberhasil dipengaruhi oleh kelompok adat untuk bersama memperjuangkan hak atas dana satu persen dari PT. Freeport Indonesia. Lebih lanjut saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono menengarai kemungkinan persaingan bisnis industri komoditi penyebab serangan di Papua.
Dikatakannya, "Ada pihak yang tidak senang dengan daya kompetisi PT Freeport dalam kondisi global dimana harga komoditi sudah mulai naik lagi setelah krisis selama enam bulan terakhir." Juwono mengatakan kemungkinan ini tidak bisa diabaikan karena dalam sejarah kompetisi global komoditi, antara lain tembaga, emas atau gas, masalah antara keamanan dan stabilisasi seringkali terkait dengan masalah persaingan.
Nah, dengan demikian maka pada era intelijen ini banyak hal yang sangat perlu diwaspadai dan dicermati. Kemungkinan serangan tidak hanya dalam bentuk teror dengan motif politik, tetapi kepentingan bisnispun sangat mungkin memanfaatkan pelaku terorisme untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu kini sudah waktunya pengamanan terhadap industri energi dan sumber daya alam nasional mendapat perhatian yang jauh lebih tertata. Kini target teroris di Indonesia tidak hanya Amerika dan negara Barat saja, tetapi termasuk menjadikan pimpinan nasional, para pejabat serta obyek vital nasional sebagai sasaran.
Sesuai dengan Keppres No.63/2004 bahwa pengelola bertanggung jawab atas pengamanan obyek vital nasional berdasarkan prinsip pengamanan internal, dan Polri berkewajiban memberi bantuan pengamanan. Apabila dibutuhkan, maka Polri dapat meminta bantuan kepada TNI berdasarkan dengan UU yang berlaku. Sesuai dengan potensi ancaman, maka upaya preventif dalam lingkup pengamanan akan jauh lebih aman dan lebih kecil biaya serta resiko dan kerugian yang di derita dibandingkan dengan upaya represif.
PRAYITNO RAMELAN, Anggota Dewan Pembina Majalah "Eralaw."
Sumber: ERALAW, Volume-2
Sumber: http://hankam.kompasiana.com/2010/07/23/pengamanan-obyek-vital-industri-energi-nasional/ (Dibaca: 275 kali)