General and Politic, So How?
21 January 2010 | 4:00 pm | Dilihat : 102
"While in Rome, do what the Romans do". Kata mutiara tua ini, nampaknya memiliki relevansi yang enak sebagai pintu masuk ke topik diatas. Kali ini, penulis mencoba menggunakan bahasa asing sebagai judul, bukannya karena tidak nasionalis, tetapi karena rasanya kok lebih enak dan pas, begitu. Topik ini sebenarnya memiliki dua domain yang berbeda, domain militer dan domain politik. Dua-duanya berbeda namun kerap sekali bersinggungan. Ibaratnya, yang satu anak kandung, lainnya anak tiri. Mana yang anak kandung dan mana yang anak tiri, bukan itu isu-nya. Yang akan kita ulas, adalah bagaimana interaksi dan performansi para mantan petinggi militer ini di dunia politik.
Sebagai mantan perwira tinggi (pati) TNI, penulis ‘haqul yakin', semangat sapta marga, disiplin dan tata kelola militer, sudah menjadi bagian dari jiwa yang menyatu dan tidak terpisahkan, apalagi para pati-nya. Bagaimana tidak, lebih dari 33 tahun, 24 jam sehari, dalam perang maupun operasi non-perang, mereka terus menerus dalam kondisi disiplin. Ditambah lagi karakter operasional sehari-hari yang platformnya memberi perintah atau menjalankan perintah. Dalam menjalankan perintah, militer hanya tunduk kepada atasan pemberi perintah. Dilapangan, anggota harus pandai-pandai menjabarkan perintah sesuai koridor yang diberikan, karena salah sedikit akan berhadapan dengan hukum militer. Sesuai doktrinnya, sistem pergerakan militer sangat fokus, tajam dan cepat untuk menyelesaikan misi, tanpa banyak bicara. Militer tidak bisa bicara seenaknya seperti MC atau politikus secara blak-blakan di televisi.
Dilain sisi, politik adalah sebuah dunia yang aneh bin ajaib. Dalam politik tidak ada yang langgeng. Satu-satu yang langgeng adalah "kepentingan". Selama kepentingannya sama, mereka koalisi. Kalau sudah tak sejalan, ya bercerai, bahkan bermusuhanpun dijalaninya, semudah itu. Inilah politik. Ada yang mengatakan, politik itu sandiwara, sinetron atau ketoprak, itu terserah, penilaian publik. Tapi, menurut penulis, ya tak jauh-jauh dari situlah. Lihat saja di media elektronik akhir-akhir ini, pertunjukannya semakin ramai.
Dalam politik atau militer, dua-duanya memerlukan manuver. Karakter manuver keduanya memiliki kemiripan, yang berbeda cuma TO (Target Operasi). Di militer, TO-nya jelas, yaitu musuh negara. Di politik, TO-nya konstituen atau rakyat. Karena itu, puncak event dari parpol adalah pemilu. Pada kesempatan singkat ini, kita coba melihat bagaimana politik bermanuver dalam memenangkan pemilu, event akbar yang memerlukan persiapan prima. Penulis tidak akan membahas aktivitas politik sehari-hari di parlemen seperti pola pengelolaan RDP (Rapat Dengar Pendapat), Hak Angket, Pansus dan lainnya, yang model dan desain-nya dalam bahasa property sering disebut minimalis.
Pemilu yang diadakan lima tahun sekali bukanlah sebuah event main-main. Secara garis besar, ada tiga hal pokok yang harus dimiliki dan dikuasai sepenuhnya bagi siapapun yang ingin memenangkan Pemilu. Pertama profile TO, Kedua faktor-faktor yang melingkupi dan mempengaruhi TO, dan ketiga, dukungan sistem plus logistik.
Untuk menguasai ini, secara bergurau, seorang bijak pernah mengatakan ke penulis, bahwasanya, untuk mencapai sebuah tujuan, apalagi hajat sebesar pemilu, dibutuhkan lima hal wajib yaitu konsep, eksekusi, jaringan, dana dan hoki. Kelima elemen ini wajib hukumnya, apabila kurang satu saja, bisa gagal alias tidak sah, katanya sambil tertawa enteng.
Nah, kita lihat bagaimana performansi para parpol, yang ikut mendaftarkan sebagai kontestan Pemilu, yang lolos seleksi dan yang berhasil masuk ke DPR. Mungkin kita ingat, sebelum Pemilu, parpol yang didirikan untuk ikut seleksi, jumlahnya hampir mencapai seratus, mungkin lebih. Yang lolos ikut pemilu 38 parpol nasional dan 6 parpol lokal di Aceh. Yang berhasil mendapatkan tempat terhormat di DPR, lolos dari sergapan parliamentary threshold ternyata hanya sembilan. Parpol yang masuk ke DPR pun, secara prosentase, masih dalam skala minimal ke medium, tidak ada yang menang mutlak. Kenapa ini bisa terjadi? Mau tidak mau kita terpaksa kembali ke paparan sang bijak tadi.
Pertama, konsep. Bagaimana bisa menang mutlak, lha wong baru dari konsep saja sudah tidak jelas. Jangankan konstituen, sangat mungkin, tokoh-tokoh kunci atau elit kelas satunya sendiripun kadang juga kurang faham. Pada umumnya parpol hanya mengandalkan kepada daya tarik patron dan fakta sejarah yang mereka miliki. Hanya satu dua parpol yang mulai dikelola dengan konsep modern. Sebagai akibatnya pada pemilu 2009, sebanyak 29 parpol nasional langsung berguguran tidak mampu menembus batas syarat PT yang 2,5%, dan mereka disebut partai "gurem."
Kedua, eksekusi. Eksekusi memerlukan sistem dan operator yang handal. Untuk menundukkan TO (konstituen) yang skalanya sangat besar (volume dan daya jangkaunya), maka sistem dan operator yang dibutuhkan harus benar-benar profesional. Kalau cuma sekedar modal semangat, sebaiknya dilupakan untuk kembali terjun ke pemilu 2014 nanti. Bukan tidak mungkin pada 2014 nanti parliamentary threshold dinaikkan menjadi 5%. Jelas akan banyak yang tidak mampu.
Ketiga, jaringan. Untuk menjaring ratusan juta konstituen di lebih dari 17.000 pulau, jelas-jelas dibutuhkan jaringan, baik dalam format media plus kontak fisik. Karena intinya kita ingin bertransaksi, menjual ideologi parpol ke konstituen. Media yang pada pemilu 2009 disebut sebagai sarana "silent revolution" diperlukan untuk menyebarkan konsep, nama, citra dan program. Sedangkan kontak fisik dibutuhkan untuk "product trial", dalam hal tatap muka untuk menggalang plus menciptakan emosi dan loyalitas.
Keempat, dana. Mobil sebagus apapun, tanpa bahan bakar, tak ada yang bisa bergerak, sesederhana itu.
Kelima, hoki atau sering disebut kemuliaan dari Tuhan. Nah, disini 100% adalah urusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini adalah hak prerogatifNYA, yang menciptakan langit, bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya.
Kembali ke topik diatas, bagaimana peran para mantan jenderal yang berkiprah di politik? Jawabannya "simple and straight forward", sudahkan mereka memenuhi kriteria-kriteria dari sang bijak tadi. Sebagai mantan perwira tinggi, penulis secara pribadi merasakan tidak mudah masuk kedunia sipil, setelah lebih 33 tahun berada dalam dunia eksklusif, khususnya dari sisi perilaku; arah juang, disiplin, sistematika kerja dan lain-lain. Padahal penulis, sejak perwira pertama sudah ber-interaksi dengan masyarakat, sesuai dengan lingkup tugasnya dibidang intelijen. Jadi penulis bisa merasakan dan mengerti bila kolega-kolega mantan perwira tinggi, yang merasakan semacam ‘cultural shock', khususnya yang terjun langsung ke politik setelah purnawira.
Di dunia politik, aktivitas kesehariannya sering bertentangan dengan karakter militer, seperti jam karet, sopan santun, loyalitas, perilaku dan sebagainya. Belum lagi kalau sudah masuk kedalam strategi penanganan target operasi. Jadi penulis sangat maklum, kalau banyak kolega yang cukup frustasi, tertekan setelah terjun dan berkiprah di politik.
Sebagai jalan pintas, banyak perwira tinggi yang kemudian merekrut kawan seiring atau mantan anggotanya, sesama mantan militer. Ini dilakukan supaya ‘wave length' diantara mereka sama, sehingga program politik bisa berjalan tepat waktu. Ide awalnya memang baik. Namun, harus di-ingat, dalam politik, tidak ada yang pasti, hitam, putih atau abu-abu. Semuanya tergantung kepentingan, bisa hitam, bisa putih atau bisa abu-abu. Kemudian ditambah lagi, target operasi yang ingin ditundukkan adalah rakyat. Sehingga mau tidak mau, unsur sipil dibutuhkan, baik didalam kepengurusan parpol dan interaksi dengan pihak external.
Secara naluriah, sekelompok mantan pati, tanpa sadar akan menerapkan pengelolaan bernuansa militer didalam lingkungannya (bagian dari jiwanya). Sebagai dampaknya, dalam konteks ini, maka sekarang giliran pihak luar atau masyarakat sipil yang merasa kurang nyaman atau mengalami ‘cultural shock' karena harus berhubungan dengan tata krama dan sistem militer. Itulah realita yang terjadi pada umumnya di parpol yang diawaki banyak mantan militer.
Sebagai kesimpulan, kita sudah menyaksikan kiprah para jenderal dibidang politik, hasilnya sudah bukan rahasia lagi, publik sudah jelas mencatat. Yang ingin penulis rangkum, mau tidak mau, harus kembali lagi kepada wejangan sang bijak tadi. Dari segi konsep, rasanya para mantan petinggi militer sangat menguasai hal yang satu ini. Dari sisi eksekusi, disinilah mulai timbul persoalan dan tanda tanya, khususnya dalam sistem manajemen sosialisasi dan interaksi. Platform dan materi pendidikan di militer sangat fokus dan berbeda dengan dunia sipil.
Dari sisi network, didunia militer berlaku aturan baku. Setelah purnawira, status sosial mereka menjadi masyarakat sipil. Secara otomatis, mereka terputus dari komando di militer, khususnya sistem teritorial. Sehingga, mau tidak mau, kolega-kolega militer ini, harus membangun kembali jaringan teritorial, dengan pola sipil yang jelas membutuhkan biaya, waktu dan enersi dan tenaga yang tidak ringan. Dilain pihak, pekerjaan berat ini jelas berkonfrontasi dengan umur yang sudah semakin pudar atau sudah masuk parade senja.
Dari sisi dana, uang memang tidak berbicara. Tetapi dari kenyataan, biaya sebagai kontestan pemilu sangat jauh dan tak tergapai kalau hanya berasal dari hasil tabungan semasa bertugas dan uang pensiun. Kiprah di politik jelas membutuhkan gelontoran dana yang sangat-sangat besar apabila ingin sukses, tanpa tawar menawar. Terlebih apabila yang dibangun adalah parpol dan jaringan baru. Dari sisi hoki atau kemuliaan yang diberikan Allah Swt, penulis tidak akan mengulas, karena sudah menjadi domain milikNYA, Ar Rahman, Ar Rahim. Tetapi, rasanya kita bisa melihat siapa-siapa yang telah dimuliakan Allah swt. Semoga ada manfaatnya pemikiran sederhana ini.
PRAYITNO RAMELAN, Menulis adalah bagian dari Ibadah.
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2010/01/21/general-and-politic-so-how/ (Dibaca: 408 kali)