Anggodo, Pelajaran Kedua Kasus Korupsi Bagi Aparat
4 November 2009 | 11:15 am | Dilihat : 173
Seperti sudah diduga, penayangan hasil rekaman mesin penyadap KPK yang dilakukan terhadap Anggodo Widjojo terasa demikian menggentarkan banyak pihak. Dimulai dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi menyebar keseluruh pelosok tanah air. Walau tak terekspose, kini banyak yang pasti gelisah hidupnya. Bagi media elektronik nilai beritanya sekelas dengan berita tertembaknya Noordin M Top. Tokoh yang disebut sebagai adik Anggoro Widjojo ini demikian besar perannya hingga mampu mempengaruhi para pejabat resmi pemerintah. Penulis menjadi kagum dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang dengan segala dalil, Undang-undang, akhirnya berhasil membuka rekaman tersebut. Semua setuju dan memang mengharapkan demikian.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar memastikan Presiden SBY tidak terlibat dalam kasus dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Patrialis meminta pencatutan nama presiden diusut tuntas agar tidak menimbulkan kecurigaan public terhadapnya. Patrialis juga menyatakan keberatan, mengatakan bahwa rekaman tersebut tidak relevan dengan substansi masalah yang disidangkan. Sidang memang mengadili permohonan uji materi yang diajukan Bibit dan Chandra, terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Keduanya meminta MK membatalkan pasal 32 ayat 1 huruf c, yang mengatur bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan setelah menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Tetapi pembukaan rekaman nampaknya merupakan langkah terbaik Mahkamah Konstitusi dalam membahas UU tersebut.
Oleh karena institusi yang diduga terlibat adalah mereka yang menangani masalah korupsi, maka seperti yang diperkirakan, semua kemelut hanya berkisar tentang masalah penanganan korupsi. Para pengacara Bibit dan Chandra merasakan kekuasaan dan birokrasi sangat sulit ditembus para pencari keadilan itu, sehingga akhirnya berita kemudian bergulung di media. Setelah kasus bergeser ke ranah politik, melibatkan emosi demikian banyak masyarakat, tercatat lebih 500.000 facebookers, para politisi, mahasiswa, tokoh-tokoh nasional memberikan dukungan kepada Bibit dan Chandra, cegah kriminalisasi KPK semakin mengkristal, barulah ditemukan jalan yang sangat penting itu.Para pejabat pemerintah tidak mengira kasus ini akan menjadi isu nasional yang demikian membara dan berbahaya. Akhirnya Presiden membentuk TPF yang diketuai Adnan Buyung Nasution. Walaupun masih ada yang curiga, paling tidak pembentukan TPF agak mendinginkan suhu politik.
Karena kasus ini menyangkut korupsi, mari kita lihat dan berangkat membahasnya dari teori korupsi itu. Hasan Hambali (2005) dalam penelitiannya tentang korupsi menyimpulkan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu "Kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit". Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan. Interaksi sumber dan piranti menimbulkan empat klasifikasi, Manipulasi dan suap (interaksi antara penyalah gunaan kekuasaan dan hegemoni elit), Mafia dan Faksionalisme (golongan elit menyalah gunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi), Kolusi dan Nepotisme (elit mapan menjual akses politik dan menyediakan akses ekonomi kepada keluarga untuk memperkaya dirinya, keluarga dan kroni), Korupsi Terorganisir dan Sistem (korupsi yang terorganisir dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik dari kekuasaan kelompok kepentingan). Nah, kasus Anggoro yang melibatkan Anggodo sebagai operator lapangan, hanyalah sebuah puncak kecil gunung es yang nampak setelah kasus Artalita terdahulu. Anggoro Widjojo, Dirut PT Masaro Radiokom adalah tersangka kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan, sebesar Rp.180 Milyar dan diduga telah merugikan negara sebesar Rp.13 Milyar. Akan tetapi dalam upaya menyelamatkan dirinya, dengan akalnya, dua institusi inti sokoguru penegakkan hukum terindikasi terlibat dengan upaya sistematisnya. Anggodo nampaknya mampu mempengaruhi beberapa pejabat tinggi yang disebut-sebut dalam rekaman tersebut. Dari apa yang disampaikan oleh Hambali, nampaknya kini memang sudah terjadi interaksi sumber yaitu hegemoni elit, grup Anggoro, Anggodo dengan oknum penegakkan hukum. Kasus ini kalau dinilai termasuk dalam klasifikasi manipulasi dan suap, yaitu terjadinya interaksi antara penyalah gunaan kekuasaan beberapa oknum pejabat dengan hegemoni elit.
Dari sisi pemberantasan korupsi, pengungkapan kasus Anggodo ini merupakan sebuah langkah maju bagi bangsa Indonesia. Upaya pemberantasan korupsi dengan ujung tombak KPK secara penuh didukung rakyat banyak. Tidak ada satu kekuasaanpun dinegara ini yang mampu menghadapi tekanan publik. Bagaimana kedepan? Masyarakat harus lebih waspada dan memahami bahwa kasus korupsi lain yang perlu diperhatikan adalah gunung es dibawah laut yang besar sangat berbahaya itu. Dari keempat klasifikasi, yang paling berbahaya adalah Korupsi Terorganisir dan Sistem. Ketiga klasifikasi lainnya pada umumnya hanya melibatkan beberapa orang saja, akan tetapi korupsi yang sudah terorganisir dan merupakan sistem ini akan sangat merusak. Sistematik dan mendapat perlindungan politis. Bahkan korupsi bisa di-design mulai dari awal dibentuknya sebuah peraturan atau UU. Inilah konspirasi utuh.
Berangkat dari teori diatas, dengan demikian maka kita menjadi faham kenapa kasus-kasus besar korupsi seperti BLBI sangat sulit dibuka. Dalam kasus korupsi Anggoro yang dapat dikatakan korupsi menengah saja, sudah demikian banyak petinggi yang dapat mereka pengaruhi. Sudah menyentuh "second layer." Pejabat. Jadi bagaimana kalau korupsi itu kemudian menyangkut uang ratusan milyar dan bahkan trilyunan rupiah?. Jadi, inilah pelajaran kedua yang terungkap bagi para abdi masyarakat dalam masalah pemberantasan korupsi. Apakah masih diperlukan pelajaran ketiga? Oleh karena itu para pejabat, elit politik para penguasa ekonomi harus lebih menyadari bahwa kini masyarakat sudah lebih cerdik, transparan dan sadar akan pentingnya arti pemberantasan korupsi.
Kebersihan hati dan penetapan batas kepuasan sesuatu nampaknya harus mereka tata kembali, kalau diikuti, manusia itu tidak akan ada puasnya. Teknologi yang terus berkembang sudah tidak memungkinkan lagi mereka bersembunyi dan berbisik dibalik dinding tebal itu. Walaupun masih ada keraguan, kita masih percaya bahwa di negara ini masih ada pahlawan-pahlawan yang tetap memegang amanah dalam pemberantasan korupsi itu. Dengan pelajaran kasus Bibit-Chandra ini mereka boleh percaya bahwa rakyat masih berdiri tegar dibelakang mereka tanpa reserve.
Kini sudah saatnya kita butuh sebuah keputusan nasional tanpa mengurangi rasa keadilan, sebuah langkah tegas agar kasus ini menjadi pelajaran bagi para pemangku dinegara ini untuk tidak main-main dengan jabatannya. Dengan demikian pemerintah akan bisa lebih berkonsentrasi melaksanakan program 100 harinya yang paling tidak sudah terganggu beberapa hari. Para pemimpin yang dipercaya mengemban amanah kini harus lebih waspada mengawasi dan menjaga nama baik, citra dan kredibilitas institusinya dimata rakyat. Karena tanpa itu, sehebat dan sebangga apapun mereka..., kalau tercemar lagi, rakyat akan mencibirkan mulut dan mengatakan belum kapok juga pak?
PRAYITNO RAMELAN
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2009/11/04/anggodo-pelajaran-kedua-kasus-korupsi-bagi-aparat/ (Dibaca: 1885 kali)