SBY Memang Boleh…Selangkah Lebih Maju

11 July 2009 | 3:41 am | Dilihat : 54

Setelah pilpres selesai, ada sebuah berita menarik yang dilansir oleh Lembaga Survei Indonesia dikantornya Jalan Lembang Terusan, Jakarta pada hari Kamis (9/7). Direktur LSI Saiful Mujani mengatakan LSI pada saat pilpres melakukan  exit poll pada 2.116 TPS, dengan 1.948 responden di TPS acak, dengan margin of error 2,8% dan tingkat kepercayaan 95%. Dikatakannya bahwa sebanyak 64% responden dari kalangan NU memilih pasangan SBY-Boediono, 26% memilih Mega-Prabowo dan JK-Wiranto hanya dipilih 10%. Sementara dari kalangan Muhammadiyah yang memilih SBY-Boediono mencapai 58%, Mega-Prabowo 24% dan JK-Wiranto 18%.

Sementara itu hasil exit poll juga menyebutkan bahwa  66% pemilih perempuan memilih pasangan SBY-Boediono, 22% memilih Mega-Prabowo dan 12% memilih JK-Wiranto. Untuk pemilih pria yang memilih SBY-Boediono mencapai 55%, memilih Mega-Prabowo 31% dan yang memilih JK-Wiranto 13%.  Khusus data pemilih dari suku di tanah air, rata-rata mereka memilih pasangan SBY-Boediono. Akan tetapi untuk suku Bugis sebanyak 70% memilih JK-Wiranto. Untuk suku Minang dimana Ibu Mufidah Kalla berasal, ternyata yang memilih JK-Wiranto hanya 9%, sementara pasangan SBY-Boediono dipilih oleh 86%.

Dari beberapa data diatas Saiful menjelaskan bahwa "Tokoh-tokoh ormas Islam dan elit-elit ormas tersebut ternyata tidak mempunyai pengaruh politik pada tingkat basis. Pilihan politik itu sepenuhnya ditentukan oleh pemilih. Inilah arah baru politik masyarakat kita."  Pernyataan Saiful sangat penting bagi elite parpol Islam dalam menerapkan sebuah strategi mendatang. Nampakya memang kalangan pesantren NU telah digarap oleh tim sukses SBY-Boediono. PKB sebagai parpol  kaum nahdliyin mampu merepresentasikan dirinya dalam memberikan dukungan politik kepada SBY-Boediono, dibandingkan pimpinan puncak NU.

Disini terdapat sesuatu yang penting, dimana para santri terlihat menjadi lebih terbuka dan bebas dalam menentukan pilihannya. NU nampaknya harus mulai lebih menyadari perbedaan antara urusan  agama dengan politik. Mungkin hasil survei Pooling Center tahun 2004 masih valid, yang menyebutkan agar pemimpin agama lebih baik berperan dalam masalah kemaslahatan umat saja, tidak di politik. Hal ini nampaknya sangat mempengaruhi dukungan terhadap JK sebagai tokoh NU yang hanya dipilih 10% saja oleh konstituen NU.

Hal yang sama juga terjadi pada Muhammadiyah, meski Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mendukung pasangan JK-Wiranto, dukungan terbesar justru diraih oleh pasangan SBY-Boediono sebesar 58%, sedang JK-Wiranto hanya dipilih oleh 18%. Kekuatan massa Muhammadiyah nampaknya masih berada pada Partai Amanat Nasional yang menyatakan berkoalisi dengan Partai Demokrat. Sementara Ketua PP Muhammadiyah lebih didukung oleh Partai Matahari Bangsa yang kini tidak lolos persyaratan Parliamentary Threshold sebesar 2,5%. Kekuatan massa Muhammadiyah terpecah juga ke pasangan Mega-Prabowo yang dipilih oleh konstituennya 24%. Pendekatan pasangan Mega-Prabowo dengan Ketua PAN Sutrisno Bachir nampaknya mempunyai pengaruh tertariknya sebagian massa PAN kekubu Mega-Prabowo.

Kini, kita menjadi semakin jelas bahwa memang "design" pencitraan pasangan SBY-Boediono dapat dinilai demikian berhasilnya. Terbentuknya pengaruh serta opini positif telah dibangun sejak lama dari figure SBY. Kharisma serta daya tariknya dikalangan konstituen wanita jauh lebih besar dibandingkan konstituen pria. Disini terbukti bahwa "performance" demikian penting artinya dalam sebuah pemilu langsung. Juga simbol keluarga bahagia memiliki arti penting bagi konstituen. Demikian juga dalam perebutan pegaruh dikalangan suku, pasangan SBY-Boediono hanya dapat dikalahkan oleh suku Bugis yang demikian fanatiknya mendukung tokoh Bugis Jusuf Kalla. Sementara peran isteri JK yang berasal dari Minang tidak memiliki pengaruh, hanya dipilih oleh 9%, justru 86% suku Minang memilih pasangan SBY-Boediono yang berasal dari suku Jawa.

Dengan demikian maka beberapa hal yang dapat disimpulkan, dalam pilpres yang sangat utama adalah penyiapan seorang figure. Figure tersebut  harus dibangun citranya dengan matang jauh hari sebalum pilpres. Dalam pilpres, pemilih tidak banyak dipengaruhi oleh Ormas ataupun organisasi lainnya. Pengaruh lainnya seperti kesukuan hanya akan mempengaruhi dukungan langsung ke calon bersangkutan, tidak kepada isterinya. Peran tokoh agama yang melibatkan diri dalam sebuah politik praktis nampaknya perlu dipertimbangkan. Kalangan parpol Islam nampaknya perlu meneliti indikasi ini lebih mendalam demi masa depannya apabila akan mengajukan tokohnya baik sebagai capres ataupun cawapres.

Arah baru politik masyarakat kita seperti yang disebutkan diatas nampaknya sangat perlu dipelajari lebih jauh. Inilah sebuah perubahan perilaku konstituen. Apakah ini pengaruh dari globalisasi?. Yang jelas kini, masyarakat nampaknya  lebih memahami arti dari politik. Oleh karena itu cara berfikir dan paradigma lama para elite parpol perlu dirubah agar mampu mengikuti perkembangan politik modern. Partai Demokrat sebagai partai  nasionalis modern telah mampu membuktikan dirinya mengungguli dua parpol raja lama, Golkar maupun PDIP yang kini dikalahkannya. Memang boleh juga SBY itu, memang pantas menang, karena selangkah lebih maju.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2009/07/11/sby-memang-bolehselangkah-lebih-maju/ (Dibaca: 3135 kali)

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.