Perang Intelijen Dalam Pilpres

30 June 2009 | 10:07 am | Dilihat : 382

Pada saat kampanye pilpres berjalan, banyak pendapat yang mengatakan akan terjadi perang intelijen dalam kegiatan pemilihan pemilu presiden dan wakil presiden. Beberapa pendapat bahkan menyampaikan kekhawatiran   keterlibatan badan-badan intelijen didalam negeri seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan badan intelijen TNI. Mungkin masyarakat terinspirasi dengan pernah diadilinya mantan Deputi BIN Muchdi PR yang menjadi tersangka terlibat dalam kasus terbunuhnya tokoh Kontras Munir. Walaupun kemudian Muchdi akhirnya divonis bebas. Yang lebih menggetarkan lagi kata beberapa pengamat, ada Intelijen asing yang turun tangan ke Indonesia,  konon berusaha menarik BIN dan TNI untuk mendukung pasangan tertentu. Setelah mencermati dan memerhatikan beberapa informasi yang berkembang, penulis mencoba memberikan sedikit pandangan tentang masalah tersebut.

Pemilihan umum presiden-wakil presiden adalah sebuah kegiatan terpenting di Indonesia setelah pemilihan umum legislatif. Keduanya adalah bagian dari penerapan sistem demokrasi yang dianut negara kita. Setelah pileg yang entah kok tidak diributkan  tentang keterlibatan intelijen, kini dalam pilpres justru intelijen disebut-sebut lebih ramai  terlibat. Banyak yang kemudian demikian menyederhanakan keterlibatan intelijen baik sebagai organisasi maupun personal. Sangat disayangkan sebenarnya menyebut intelijen demikian ringannya. Oleh karena itu mari kita melihat ada apa sebenarnya dibalik intelijen itu sendiri.

Intelijen bisa dilihat sebagai sebuah organisasi, sebuah kegiatan dan ilmu pengetahuan. Apabila dilihat dari fungsinya maka intelijen melakukan kegiatan  penyelidikan, pengamanan  dan penggalangan. Baik sebagai organisasi, kegiatan maupun fungsinya maka semuanya itu harus dimulai dengan recruitment,  seleksi, pendidikan dan penugasan. Dari sederet panjang tuntutan mutlak yang ada pada tiap calon rekrut ialah integritas pribadi, loyalitas dan kemampuan profesional. Integritas pribadi merefleksikan sosok seorang yang jujur, dapat dihandalkan, satu kata dengan perbuatan, memiliki keberanian moral, adil dan bijaksana.   Loyalitas, atau kesetiaan, mengandung keteguhan akan komitmen seseorang kepada misi yang diembannya, kepada etika profesinya, kepada organisasinya, dan terutama kepada bangsa dan negaranya, diatas segala-galanya tanpa pamrih. Sosok dan lembaga intelijen tidak boleh menyimpangkan kesetiaannya kepada kelompok atau golongan, atau kepentingan-kepentingan sempit di luar kepentingan nasional. Memang dalam "pakem" intelijen, kesetiaan intelijen hanyalah kepada "user" atau pengguna, disebut sebagai single client. Dalam kedudukan BIN, organisasi akan setia penuh kepada Presiden sebagai user, bukan kepada pribadi.

Untuk mendapatkan personil yang tangguh dan profesional, anggota intelijen harus melalui pendidikan. Pendidikan intelijen tidak semudah yang kita bayangkan, dimulai dengan beberapa tes berupa tingkat kecerdasan, loyalitas, integritas, daya tahan dan beberapa tes kejiwaaan lainnya. Personil intelijen harus melalui pendidikan dasar, pendidikan kejuruan, spesialisasi, sandi dan beberapa keahlian khusus yang memang dibutuhkan organisasinya sesuai dengan rentang penugasan. Tanpa melalui pendidikan jenjang dan variasi tour of duty maka seorang intelijen jelas tidak akan memiliki "sense of intelligence." Dia bisa berbicara intelijen, tetapi tidak memahami makna intelijen itu sendiri. Seorang intelijen harus jelas loyalitasnya, bisa dibayangkan apa yang bisa diperbuat oleh  seseorang yang menguasai ilmu insurgency, teror, sabotase, riot, perang urat syaraf, propaganda dan banyak lainnya. Karier personil berangkat sebagai agent action, handler, middle analyst hingga senior analyst, dengan kemampuan dan keahlian tertingginya maka seseorang baru akan menjadi master spy.

Pengalaman keterlibatan badan-badan intelijen di masa silam dalam konflik-konflik yang bernuansa kepentingan kelompok dan politik aliran dari sejak awal sejarah republik cukup menjadi pelajaran yang telah menjadikan badan-badan intelijen kita tidak terlepas dari trauma masa lalu. Sosok intelijen kerap cenderung memperlihatkan subjektifitas politik aliran, primordialisme yang kental, sehingga tidak dapat menghindari diri dari perlibatan dengan kegiatan politicking dalam politik praktis.

Bagaimana masa kini?. Dengan adanya reformasi dan penerapan demokrasi yang mengedepankan kebebasan dan hak asasi manusia,  kegiatan intelijen juga akan dikontrol oleh publik. Memang masih memungkinkan adanya  loyalitas pribadi kepada seseorang capres, tetapi sulit bagi sebuah organisasi yang demikian besar dan kompleks untuk menjadi gerbong dalam pemenangan pilpres. Seperti diuraikan diatas, organisasi intelijen  mayoritas diawaki oleh personil terdidik yang loyalitasnya kepada negara tidak diragukan. Dalam pilpres kini yang  memiliki organisasi intelijen  hanyalah SBY dalam kedudukan resminya sebagai Presiden Republik Indonesia, bagi kedua capres lainnya baik Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto jelas tidak memilikinya.

Jadi mungkin kurang tepat apabila disebutkan terjadi perang intelijen dalam pilpres. Penggunaan ilmu intelijen seperti pembentukan opini, negative campaign, black campaign memang nampak telah digunakan. Tetapi dinilai bukan sebagai sebuah hasil dari operasi intelijen lingkup besar yang terencana dengan matang. Contoh operasi intelijen yang sukses adalah serangan teroris Bom dari Bali hingga ke Jakarta beberapa tahun lalu, yang demikian sulit dibongkar. Hingga kini sulit dibuktikan siapa "the principle agent" dibelakangnya, kita hanya tahu DR Azhahari dan Noordin M Top hanyalah handler kelas bawah. Demikian juga AS sebagai negara adi daya-pun juga mengalami korban dalam serangan teroris berkemampuan  intelijen 911 yang meruntuhkan menara kembar WTC. Pembunuhan Presiden JF Keneddy adalah sebuah operasi clandestine dari konspirasi intelijen yang hingga kini juga tidak jelas.

Dengan demikian, kecil kemungkinan dimainkannya badan-badan intelijen yang ada seperti BIN dan Bais TNI untuk mendukung salah satu pasangan capres. Memainkan organisasi dan personil intelijen jelas akan membawa resiko tersendiri di era keterbukaan ini. Lagipula mantan "benggolan-benggolan" tersebut juga tersebar ditiga kubu. Intelijen berkemampuan merusak dan menghancurkan dengan halus dan sistematis tanpa disadari apabila digunakan. Bisa dimainkan dengan ritme dan gaya halus, tetapi bisa juga dengan gaya keras. Hal ini penulis kira sangat difahami oleh beliau-beliau itu. Kemungkinan adanya  monitoring dan upaya mempengaruhi dari intelijen asing sangat memungkinkan terjadi. Ini yang perlu diwaspadai agar agen dan elit politik kita tidak terbina dan membocorkan rahasia negara. Semuanya upaya infiltrasi intelijen asing jelas terkait dengan kepentingan nasional negaranya masing-masing. Pada dasarnya kegiatan sebuah Kantor perwakilan selain mewakili sebuah negara adalah juga melakukan kegiatan Pulbaket.

Yang penting kini bagi para calon presiden dan wakil presiden sebaiknya lebih hati-hati dengan masukan yang nampaknya baik tetapi kemudian justru menimbulkan polemik yang merugikan citranya. Ada kok ilmunya, awalnya baik-baik tapi justru mengarahkan seseorang agar tercebur kedalam lubang got. Waspada saja pak, mendatang utamakan pengamanan pribadi, informasi dan kegiatan agar terhindar dari unsur pendadakan. Semoga bermanfaat.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/06/30/perang-intelijen-dalam-pilpres/

(Dibaca: 2142 kali)

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.