Heli Jatuh, TNI AU Kembali Berduka, Yang Salah Siapa?

13 June 2009 | 3:21 am | Dilihat : 606

Belum kering air mata dan belum hilang rasa duka dikeluarga besar TNI AU, Jumat siang  kembali kita dikejutkan dengan terjadi kecelakaan pesawat TNI AU heli Jenis Puma  "tail number" H-3306 di Lanud Atang Senjaya, Bogor. Pesawat tercatat sedang melakukan "test flight" disekitar lanud. Dari tujuh crew, empat dilaporkan meninggal yaitu  Captain Pilot Mayor Pnb Sobic Fanini, Co pilot Lettu Pnb Wisnu, JMU Serka Catur dan Sertu Dodi, sedang tiga lainnya mengalami luka-luka yang cukup parah. KSAU Marsekal Subandrio yang juga penerbang Heli, dalam jumpa wartawan di Mabes TNI AU Cilangkap, Jakarta, Jumat (12/6) malam menjelaskan, helikopter Puma bernomor registrasi HT 3306 jatuh karena terjadi kerusakan pada sistem kontrol dan auto pilot setelah menjalani perawatan dan tes kelaikan sebanyak satu kali.

Pada kurun waktu tahun 2008-2009 telah terjadi kecelakaan pesawat TNI AU yang jumlahnya dinilai cukup banyak. Tercatat pada tahun 2008 terjadi "tiga" kecelakaan pesawat TNI AU. Tanggal 6 Januari 2008 , heli berjenis Twinpack S 58 T tail  number H-3406 jatuh didaerah Riau, satu meninggal. Tanggal 11 Maret 2008  Helikopter latih TNI AU jenis Bell-47G Soloy jatuh di Desa Wanasari, Subang, captain pilot Lettu Engky Saputra Jaya tewas. Tanggal 26 Juni 2008, Pesawat Cassa  A212-200 menabrak gunung Salak, 18 orang crew dan penumpang tewas.

Kecelakaan pesawat TNI AU Tahun 2009 (hingga bulan Juni) tercatat empat pesawat mengalami kecelakaan.  Pada tanggal 6 April 2009, pesawat Fokker 27 TNI-AU saat akan "landing" menabrak hanggar PT DI di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, merusak dua pesawat lainnya yaitu Deraya Air Cassa 212-200 dan Batavia Air Boeing 737, 24 orang termasuk Crew dan anggota Bravo Paskhas meninggal. Tanggal 11 Mei 2009, pesawat Hercules TNI AU mengalami kecelakaan saat  landing  di Pelud Wamena, keempat main wheel lepas, satu orang sipil luka-luka. Tanggal 20 Mei 2009, pesawat Hercules A-1325 saat akan landing di Lanud Iswahyudi jatuh di Desa Geplak Kecamatan Karas Magetan, tercatat  101 orang tewas dan 11 luka. Tanggal 12 Juni 2009 pesawat Heli Puma H-3306 jatuh saat "test flight" di lanud Atang senjaya  Bogor, 4 Crew meninggal, tiga luka parah.

Dari data diatas, kecelakaan pesawat TNI AU tahun 2008 adalah tiga pesawat terdiri dari dua Helicopter dan satu pesawat transport ringan. Sedang pada tahun 2009 tercatat dalam kurun waktu lima bulan setengah terjadi empat kecelakaan pesawat yaitu, satu  transport sedang, dua transport berat dan satu Heli. Dari data tersebut, kini timbul pertanyaan, mengapa?. Mengapa kecelakaan terjadi pada jenis Heli dan transport? Pada umumnya yang banyak mengalami kecelakaan di sebuah Angkatan Udara adalah jenis tempur yang selalu melakukan manuver. Kini sejak 2008-2009 justru bergeser ke transport dan Heli. Inilah salah satu fakta yang harus diselidiki.

TNI AU selama ini menerapkan "road map to zero accident" yang meliputi keselamatan ditiap satuan operasional, "go and no go item" pada alutsista , peningkatan kualitas sumber daya manusia, perampingan tipe pesawat dan accident investigation. Selain itu juga dilakukan "outsourcing" berupa studi banding dengan Singapore Air Force dan Australian Air Force (keduanya dapat mencapai zero accident setelah 15 dan 20 tahun). Angkatan Udara sangat disiplin dalam membina baik personil, materiil dan kegiatan penerbangan. Semua kegiatan manajemen diarahkan agar pesawat dan personilnya selalu siap dan mampu untuk melaksanakan tugas yang dipikulkan dipundaknya.

Dengan terjadinya kecelakaan tersebut nampaknya  telah terjadi kegagalan untuk tercapainya zero accident, frekuensi kecelakaan justru lebih besar. Penulis sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Pengamat Penerbangan Dudi Sudibyo, bahwa  kecelakaan pesawat milik TNI Angkatan Udara atau angkatan lainnya tidak lagi mengejutkan. Kecelakaan itu sudah bisa diperkirakan karena akumulasi berbagai faktor. Kecelakaan pada alat utama sistem senjata (alutsista) terjadi karena tidak adanya dana yang cukup untuk perawatan. Selain itu juga karena dana pembelian suku cadang yang terbatas. Keterbatasan dana juga membuat ketrampilan penerbang ikut-ikutan berkurang. Dengan dana yang kurang dan terbatas ini, jelas akan terjadi sesuatu. Apakah kecelakaan ringan atau berat.

Kini TNI, khususnya TNI AU sebaiknya segera membentuk tim sekuriti dan melakukan pemeriksaan sekuriti terhadap manajemen, leadership, dukungan anggaran, maintenance dan perbandingan antara  "training" dan "mission." Diperlukan ketegasan dalam pemeriksaan ini, bagi yang kurang berkompeten dan kapabilitasnya rendah, sebaiknya dilakukan penyegaran. Selaku operator pesawat militer, sudah tidak waktunya diberikan toleransi terhadap setiap kegagalan yang pada akhirnya justru menjadi potensi penyebab kecelakaan. Kecelakaan beruntun sudah bukan suatu hal yang wajar lagi, tetapi ada sesuatu yang sangat serius dan perlu ditindak lanjuti. Harga nyawa prajurut dinilai menjadi semakin murah. Yang perlu diingat bahwa  itu dibiayai dari uang rakyat. Tetapi  yang sangat memprihatinkan, turunnya kredibilitas TNI AU sebagai penjaga kedaulatan negara di udara merupakan nilai paling mahal yang hilang.

Yang salah siapa?. Hanya tinggal diurut dari bawah hingga ke-yang paling atas, karena jenjang tanggung jawab sangat jelas pada sebuah organisasi militer.  Kepala Staf TNI Angkatan Udara  Marsekal TNI Subandrio menyatakan bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa helikopter tersebut. Ia menyatakan, jika dirinya mundur sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara, artinya sama dengan melepas tanggung jawab begitu saja kepada penerusnya.  "Tidak seperti itu... saya akan tetap menjalankan amanah sebagai KSAU, melaporkan kejadian ini kepada pimpinan, dan saya serahkan pada beliau (Panglima TNI)," katanya (Kompas.Com).

Selanjutnya sudah waktunya pula TNI AU mempertanyakan kepada pemerintah tentang masalah pokok yang dihadapinya, khususnya dukungan anggaran yang dinilai tidak memadai terhadap kesiapan alutsistanya. Hal inilah yang juga sangat berpengaruh terhadap kesiapan dan ketrampilan awak pesawatnya. Sebagai anak, sangat wajar apabila TNI AU  mengadu ke Bapaknya, hanya masalahnya kini bapaknya masih sibuk dengan acara berdemokrasi. Jadi ya harus sabar, dan sebaiknya sementara ini keluarga besar TNI AU banyak-banyak berdoa dahulu...atau nanggap wayang saja dengan lakon " kulo nyuwun ngapuro."

Sebagai purn TNI AU penulis mendoakan semoga arwah anggota yang meninggal mendapat pengampunan dan diterima disisi Allah sesuai dengan amal dan ibadahnya. Dan juga semoga Allah memberikan ridho dan perlindungan kepada TNI AU. Amin

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/06/13/helly-jatuh-tni-au-kembali-berduka-yang-salah-siapa/ (Dibaca: 956 kali)

This entry was posted in Kedirgantaraan. Bookmark the permalink.