Prita Dan Kisah Di ICU RS Panti Rapih Yogya

6 June 2009 | 4:16 pm | Dilihat : 2479

Kasus Prita Mulyasari terus bergulir dan membentuk berita yang tidak mengenakkan bagi para blogger Indonesia. Gara-gara menulis surat elektronik, Prita bisa diancam hukuman 6 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah. Menakutkan memang. Itulah sebuah resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila sebuah undang-undang telah disyahkan. Begitu UU ITE dikenakan terhadap Prita dalam kasus tuntutan RS Omni International Tanggerang , Prita kemudian ditahan, walaupun akhirnya dijadikan tahanan kota. Reaksi para blogger dan Face Booker demikian besar. Dukungan besar mengalir kepada Prita baik dari blogger, Capres Megawati, Capres Jusuf Kalla, Ikatan Dokter Indonesia, Depkominfo, Menteri Kesehatan, Juru Bicara Presiden Andi Malarangeng, Menkumham, dan terakhir Jaksa Agung-pun juga bereaksi. Kasus terus bergulir menjadi berita utama di media massa.

Pada intinya, semua memandang bahwa keadilan harus ditegakkan, penerapannya dengan mempertimbangkan rasa keadilan  dan  hak asasi manusia, tidak sewenang-wenang.  Kira-kira itulah "geger" paling ramai yang berkaitan dengan kegiatan tulis menulis didunia maya. Kedua belah pihak jelas akan rugi dengan kasus tersebut, Prita harus menghadapi tuntutan (sebagai blogger, penulis mendoakan mudah-mudahan bebas). Disisi lain RS Omni jelas akan  mengalami kerugian, kehilangan pengunjung, rasa simpati kepada Prita telah membentuk opini yang sangat memusuhinya. Dalam Face Book jumlah "Say No to RS Omni Tanggerang" hingga hari ini telah mencapai jumlah 27.185 member. Sementara dukung Prita hingga sore ini pukul 16.05 WIB telah mencapai jumlah 50.518 member.

Kalau boleh menyarankan, RS Omni International mencabut saja tuntutannya, kemudian menyelesaikan secara kekeluargaan, bukankah ini budaya bangsa kita, bisa berdamai dalam kondisi tertentu?. Tapi entahlah, kalau RS International ini milik asing atau warga Indonesia "key formal individual" yang mengedepankan hukum sebagai "dewa"-nya. Sekali lagi penulis mengingatkan kepada para rekan blogger tentang bahaya besar yang bisa mengancam apabila menulis tanpa perhitungan di dunia maya. Inilah UU ITE yang harus diwaspadai apabila kita akan membuat tulisan di dunia maya, cuplikannya terdapat di  artikel penulis, http://prayitnoramelan.kompasiana.com/2008/12/03/blogger-mau-aman-tolong-baca-ini/ .

Berkaitan dengan kisah Prita yang kemudian berbuntut tuntutan dari RS Omni International, penulis menyusun kisah juga tentang rumah sakit. Sejak tanggal 30 Mei hingga 4 Juni 2009 penulis berada di RS Panti Rapih Yogya. Salah seorang keponakan penulis, pria, berumur 28 Tahun, berputera satu, dirawat di ICU karena menderita sakit kejang-kejang. Penyakit tersebut akhirnya mempengaruhi fungsi jantung, paru-paru dan ginjalnya. Otak yang mengatur kesemuanya menjadi kurang berfungsi. Akhirnya diputuskan sang keponakan ditidurkan dengan obat, dibantu alat pernafasan dan alat pacu jantung karena detak jantungnya mencapai 181 kali. Dengan rasa prihatin keluarga menunggu druang tunggu ICU.

Ada sebuah kelebihan ICU RS Panti Rapih ini berbeda dengan RS besar dan hebat di Jakarta, penunggu diberikan kamar tunggu, dibatasi dengan kaca dan bisa melihat pasiennya masing-masing. Jadi keluarga menjadi tenang, termasuk bagi mereka yang menengok, bisa melihat pasien dari balik kaca. Ruang itu dilengkapi dengan kursi, lemari kecil dan berpendingin. "Bukan main" itulah komentar penulis, kalau di jakarta penunggu di ICU dipisahkan dengan pasien dan berkumpul bersama, masing-masing membuat kapling seperti peron kereta api, pakai tikar, duduk dilantai. Entah siapa perancang ICU Panti Rapih itu, mungkin bisa ditiru RS lainnya.

Dalam menunggu keponakan, penulis kemudian tertarik memperhatikan para tetangga pasien yang rata-rata juga sudah berat sakitnya. Penulis berkenalan dengan penunggu, tetangga itu sakitnya bermacam-macam. Maka mulailah giliran itu...maksudnya para pasien bergilir dipanggil menghadap Allah sesuai dengan takdirnya masing-masing. Tetangga yang satu meninggal karena serangan jantung. Yang memprihatinkan ada tetangga kamar, anak kelas tiga SD yang masuk masih berteriak-teriak, ternyata hanya selang beberapa jam kemudian meninggal. Dia terkena demam berdarah dan agak terlambat dibawa berobat. Ibunya, neneknya menangis dengan keras dan juga keluarga lainnya. Penulispun menjadi ikut terharu melihatnya, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Setelah kamar sebelah dikosongkan, mendadak kamar tunggu ramai dikunjungi mereka yang  berpakaian seragam jaksa. Ternyata pasien tetangga adalah seorang jaksa dari wilayah Yogya, yang pingsan dan badannya biru-biru, ternyata si ibu tadi terkena serangan darah tinggi. Ibu jaksa yang masih berumur 41 tahun tidak sadar dan diberi alat bantu nafas. Putrinya dua orang masih kecil-kecil, SMP dan SD, semuanya prihatin, termasuk penulis.

Pada hari selasa sore penulis diberitahu bahwa keponakan kritis, setelah diijinkan masuk kedalam ruang, kaki dan tangan keponakan dingin, tetapi matanya nampak bersinar, kalau sebelumnya tidak sadar, menurut dokter ada kontak. Penulis dan keluarga yang menunggu membacakan doa. Karena keadaan membaik, keluarga menanti diruang sebelah. Mendadak salah seorang staf yang menunggu keluar dan mengatakan keadaan kritis, penulispun masuk kedalam dan ternyata keponakan sedang diberikan bantuan tekanan didada dengan mengaktifkan jantungnya yang berhenti berdetak. Setelah dokter memeriksa, kemudian menyatakan bahwa keponakan telah meninggal dunia. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.

Yang agak mengejutkan...staf yang menunggu melaporkan, pada saat dia sendiri memegang jempol kaki keponakan dengan membacakan surah Yasin...dia mendadak melihat bahwa dibawah kulit mulai jempol kaki ada gelombang dibawah kulit yang bergerak perlahan keatas dan berhenti didada...Apakah itu pergerakan dari ruh yang akan meninggalkan jasad? Misteri yang penulis juga tidak tahu.

Dari kisah di ICU tersebut, ada beberapa yang bisa menjadikan bahan renungan, yaitu bertapa lemahnya manusia pada saat dia harus menghadapi sakratul maut. Manusia hanya bisa pasrah tidak berdaya meninggalkan dunia yang penuh dengan tipu muslihat ini. Kalau mengingat kisah tersebut, terasa betapa singkatnya hidup didunia ini. Perlu diingat, orang meninggal tidak dengan urutan yang tua dahulu, yang muda juga bisa mendahului.  Sebagai penutup, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas segala upaya dan pelayanan RS Panti Rapih Yogya, baik dokter, perawat dan stafnya yang bekerja demikian profesional, bersahabat, setiap saat mau menjawab pertanyaan keluarga pasien. Kemudian pengurusan dikamar jenazah, urusan pembayaran, surat kematian dan lain-lain demikian lancarnya. Tidak mengira sebuah RS didaerah demikian baik pelayanannya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/06/06/prita-dan-kisah-di-icu-rs-panti-rapih-yogya/ (Dibaca: 2189 kali)

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.