Ada Upaya Menjegal SBY Nyapres?
10 March 2009 | 2:05 pm | Dilihat : 72
Didalam menilai sebuah dinamika politik, selain ilmu politik itu sendiri, maka ilmu komunikasi massa dan ilmu intelijen menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Analis politik dan analis intelijen mempunyai kemiripan cara pandang terhadap keberhasilan parpol dalam meraih kekuasaan. Intelijen memandang subyek dari sisi kekuatan, kemampuan dan kerawanannya. Setelah para analis mendapatkan fakta-fakta yang kemudian dikonfirmasikan dan dilakukan penilaian baik sumber maupun isi informasi tersebut, maka diolahlah fakta dan data yang tersusun pada masa lalu dan masa kini untuk di telurkan menjadi sebuah perkiraan masa depan (“the future”). Ini yang akan melatar belakangi penyusunan sebuah strategi pemenangan, serta taktis-taktis yang akan diimplementasikannya.
Hidden Power dan Kerawanan “Hidden power” adalah sebuah kekuatan tersembunyi disebuah negara, bisa disebut sebagai kelompok kepentingan. Meskipun tidak berisi para “key formal individual”, pengaruhnya dapat melampaui jauh batas dari sebuah negara. Kekuatan tersembunyi ini bisa hanya terdiri dari unsur didalam negeri, bisa juga terdiri dari gabungan dalam dan luar negeri. Naik dan turunnya harga minyak dunia, krisis ekonomi dunia tahun 1997, runtuhnya kerajaan bisnis konglomerasi di AS, ambruknya menara kembar WTC, tewas tertembaknya Presiden JF Keneddy adalah sebagian dari contoh ulah hidden power. Pertanyaannya bagaimanakah hidden power di Indonesia?.
Apabila dibaca dengan disiplin ilmu politik dan ilmu komunikasi massa, kemelut antara SBY dengan JK nampaknya seperti sesuatu hal yang wajar, sebuah dinamika politik. Akan tetapi disiplin intelijen menilai dan memandang kasus tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Dari data beberapa lembaga survei, koalisi PD dan Golkar apabila diteruskan hingga pilpres 2009 bisa diyakini akan mampu memenuhi persyaratan sebuah parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan capres sesuai UU No.42/2008 sebesar 25%. Dari sejarahnya, pada pilpres 2004, Golkar pada putaran kedua memberikan dukungannya kepada Megawati, tidak kepada SBY.
Dirapatkannya kemudian posisi Golkar kekubu SBY dan Partai Demokrat terjadi setelah JK menjadi Wapres dan yang sekaligus mampu merebut jabatan Ketua Umum Golkar. Ini adalah titik rawan pertama dari kedua partai tersebut, kerjasama yang terbentuk bukanlah koalisi murni tetapi karena “kondisi” menghendaki demikian. Kerawanan kedua, adanya rasa kurang puas dari elit Golkar terhadap beberapa keputusan yang dinilainya berasal dari SBY dan partainya, diantaranya yang menyangkut kasus pilkada Maluku Utara. Serta iklan kampanye PD yang mempromosikan keberhasilan kinerja pemerintahan SBY yang dinilai klaim sepihak. Kerawanan ini yang menurut kaidah ilmu “conditioning” apabila dieksploitir akan menyebabkan timbulnya kerusakan, baik kerjasama maupun citra.
Kekuatan SBY Kekuatan SBY terletak kepada "kharismanya" yang demikian kuat, kekuatan SBY tersebut secara otomatis juga mengangkat elektabilitas Partai Demokrat. Pada survei yang dilakukan beberapa lembaga survei pada bulan Desember 2008, Partai Demokrat menempati posisi teratas, posisi kedua diduduki PDIP dan ketiga Partai Golkar. Pada bulan Februari 2009, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei yang dilakukannya pada tanggal 8-16 Februari 2009. SBY dipilih oleh 50,3% responden, Megawati 18,5%, Prabowo 4,3 %, Sultan 3,9 %, Wiranto 3,0 % Kalla mendapat 2,0 %, Hidayat 1,7%, dan Amien 1,4 %. Hasil survei juga menyebutkan Partai Demokrat dipilih oleh 24,3%, PDIP (17,3%) dan Partai Golkar (15,9%). Sementara dukungan terhadap partai tengah, Partai Keadilan Sejahtera (6%), PKB dan PPP sama-sama mendapat (5%), dan PAN (4%). Sedangkan partai Gerindra mendapat 4%, Partai Hanura 2%.
Pada awalnya, hasil survei Desember 2008 itulah yang menimbulkan rasa khawatir elit Golkar, dan sekaligus memunculkan euforia keunggulan pada elit Demokrat. Keduanya, Golkar dan Demokrat tidak sadar diposisikan dengan kondisi psikologis berbeda, yang besar dikecilkan, yang kecil dibesarkan. Sebagai akibatnya maka muncullah tekanan, kegamangan, militansi dan keinginan bangkit dari kader Golkar. Sementara itu tingginya hasil survei perolehan suara SBY dan PD secara tidak disadari telah menjerumuskan beberapa petinggi PD, hingga munculah “kasus Mubarok” sebagai detonator pemicu. Hingga kinipun kita tidak faham tokoh sekelas Mubarok dapat “terselip lidah”. Beberapa elit PD tanpa disadari telah digiring kearah “killing ground”. Upaya penjerumusan yang berakibat pecahnya kesatuan dua kekuatan nasionalis PD-Golkar akhirnya terlaksana tanpa disadari oleh keduanya. Kedua tokoh serta elitnya dikondisikan terjebak dalam situasi dan kondisi yang “terpaksa” bertentangan. Kedua pemimpinnya akhirnya juga terpaksa merelakan perpisahan yang sebenarnya belum merupakan keputusan akhir.
Skenario Pematangan Para elit partai manapun sadar bahwa melawan SBY pada pilpres 2009 sangat berat, peluang terpilihnya kembali SBY sebagai presiden tetap sangat besar. Lawan terkuatnya menurut hasil survei LSI hingga Februari hanya Megawati, dengan perbandingan elektabilitas yang cukup jauh, SBY 50,3% dibandingkan Mega 18,5%. Apabila SBY kembali menjadi presiden, pengalamannya selama 5 tahun akan menjadikannya lebih “firm”. SBY akan membangun koalisi yang kuat agar dapat mengatasi tekanan di DPR, membuat ruang geraknya sebagai pimpinan nasional tidak terkunci. Dan jelas akan lebih menggalakkan gerakan pemberantasan korupsi. SBY menyadari bahwa kabinet pelangi adalah kelemahan dari sebuah pemerintahan. Gerak kabinet banyak diwarnai kepentingan parpol bersangkutan. Keputusannya selama ini dirasakannya banyak mengalami bias di “second layer”. Pengalamannya selama ini jelas akan menjadikannya lebih piawai. Dia dinilai akan lebih menyulitkan mereka yang bermasalah apabila menang pada pilpres Juli nanti. Ini yang kurang disukai olah banyak pihak. Baik dari kekuasaan kelompok kepentingan (politis) maupun para hegemoni elit (ekonomi) serta kelompok ”perkeliruan” yang ada.
Setelah berhasilnya kompartmentasi PD dengan Golkar, kini langkah “the hidden” nampaknya akan menekan dan mengepung SBY dan PD. Sebelumnya PD dituduh tidak jujur mengakui keberhasilan kinerja pemerintah sebagai keberhasilan SBY. Kejujuran merupakan nilai tertinggi bagi SBY yang harus dijaga dan tidak boleh tercederakan. Kini terlihat upaya kedua yaitu pembentukan opini “arogansi” dari Partai Demokrat. Kedua topik tersebut akan berpengaruh terhadap keinginan partai lain untuk berkoalisi dengan Demokrat. Terlihat PKS mulai tertarik dengan Golkar yang akan membentuk blok alternatif, PPP juga menyatakan kecil kemungkinan berkoalisi dengan PD, Gerindra sulit berkoalisi dengan PD, PAN demikian juga, Hanura diperkirakan kecil berkoalisi dengan PD, PKB juga terlihat cenderung ke Golkar.
SBY kini menjadi “prominent target”, target utama. Apabila PD tetap bersama dengan Golkar maka persyaratan UU Pilpres yang mensyaratkan angka 25% nampaknya tidak akan sulit dicapai dan SBY kemungkinan besar akan kembali menjadi presiden. Penyusun skenario terlihat sudah menghitung, Pada pemilu April nanti PD belum tentu akan mampu meraih angka diatas 20%, terlebih dengan upaya pembusukan yang kini terjadi. Kemungkinan hanya bisa tercapai hasil maksimal 100% dari hasil pemilu 2004 yang 7,4%, berarti tertinggi akan tercapai sekitar 16%-18%. Demikian juga yang akan terjadi pada PDIP dan Golkar. Sulit bagi PD untuk mendapat kenaikan hingga 200%. Mencari tambahan 7-9% perolehan suara adalah bagian terberat PD sebagai persyaratan agar SBY kembali dapat dicalonkan sebagai capres.
Inilah sesuatu yang benar-benar harus diwaspadai, dicermati dan diantisipasi oleh Partai Demokrat dan kubu SBY. Berarti kini PD harus segera membangun peluang koalisi walau secara tertutup, hindari berpegang pada keyakinan semu yang akan dapat menjerumuskan, karena inilah yang diharapkan oleh penyusun skenario. Memang koalisi antar parpol bisa saja terbentuk dengan pemikiran “oportunis”, mereka akan melihat dan memanfatkan keuntungan dari kekuatan SBY. Kondisi ini sangat perlu dipertimbangkan, karena akan sakit rasanya bila nama besar SBY yang sangat populer itu tidak bisa maju hanya karena kekurangan dukungan. Jangan beri peluang maju ke arena pilpres, SBY akan tetap sulit ditumbangkan, itulah strategi utama dan ulah “hidden power”, tidak nyata tapi sangat menghancurkan. Semoga bermanfaat analisa sederhana ini.
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana
Sumber : http://umum.kompasiana.com/2009/03/10/ada-upaya-menjegal-sby-nyapres-2/ (Dibaca: 2560 kali)