Indonesia Akan Berperan Sebagai Juru Damai Dunia?
17 February 2009 | 10:00 pm | Dilihat : 90
Penulis telah membuat beberapa artikel terkait dengan hubungan AS-Indonesia, diantaranya “Jawaban Politiking Budiarto Shambazy, Babak baru AS, Obama dan Teroris, dan Apa keuntungan kunjungan JK ke Amerika”. Pada artikel ini penulis mencoba merangkum beberapa artikel tersebut, dikaitkan dengan rencana kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Jakarta pada tanggal 18-19 Februari. Kunjungan tersebut dinilai mempunyai arti yang sangat penting bagi Indonesia, tidak hanya perannya di ASEAN Community dan dikawasan Asia Timur saja, tetapi peran yang jauh lebih luas lagi didunia. Inilah rangkumannya :
Terpilihnya Barrack Hussein Obama sebagai Presiden ke-44 Amerika Serikat membawa penafsiran yang berbeda di Indonesia. Kelompok pesimis melihat bahwa siapapun yang akan menjadi presiden di AS tidak akan merubah sikap dan kebijakannya terhadap Indonesia. Sementara beberapa pihak yang optimis memandang duduknya Obama akan membawa angin segar terhadap hubungan bilateral kedua negara. Beberapa berasumsi bahwa sejarah masa kecilnya di Jakarta akan berpengaruh bagi Obama dalam mengambil sebuah kebijakan. Sebagai individu Obama menurut Budiarto Shambazy adalah seorang internasionalis. Memang betul kalau kita lihat riwayatnya, dia dilahirkan dari ayah keturunan Afrika, mempunyai masa kecil dan ayah tiri Asia, berangkat dewasa dan menjadi matang di Amerika. Disatu tubuh terkumpul tiga buah budaya yang berbeda, tetapi justru saling melengkapinya.
Kini, bagaimanakah kita memandang seberapa penting posisi Indonesia bagi Amerika dibawah kepemimpinan Obama?. Didalam menilai hubungan bilateral ataupun multilateral, tiap negara akan berangkat dari kepentingan nasionalnya. Dalam hubungan AS-Indonesia, pemerintah AS jelas akan mendahulukan kepentingan nasionalnya.
Obama, terpilih menjadi presiden ditengah kemerosotan kredibilitas pemerintahan George W Bush. Amerika menghadapi masalah serius krisis keuangan, penggelaran pasukan dan kebijakan luar negeri. Saat masih dibawah kepemimpinan Presiden Bush, kepentingan nasional AS pada awalnya dapat dilihat dari tujuan dasar kebijakan luar negerinya. “AS tetap ingin menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar yang bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal (SPM).
Sejak peristiwa runtuhnya WTC pada 11 September 2001, Presiden AS George W Bush mengatakan ini adalah sebagai perang pertama pada abad ke-21. Menlu AS yang saat itu dijabat Collin Powel bahkan mengatakan lebih serius, pemerintah AS akan mengejar kekuatan dibalik serangan tersebut yang disebutnya sebagai “along and bloody war”. Maka sejak itulah kampanye melawan terorisme global menjadi tujuan utama kebijakan luar negeri dan pertahanan AS, tujuan internasional lain akan berada di bawah tujuan besar itu (Stephen M Walt).
Begitu menduduki jabatan sebagai presiden, Obama terlihat berupaya keras untuk menstabilkan kondisi krisis dan menaikkan kredibilitas pemerintah. .Disamping itu itu Obama harus melaksanakan janji kampanyenya, yang diantaranya yang akan menarik pasukan dari Irak dalam 16 bulan, melepaskan ketergantungan minyak dari Timur Tengah dalam sepuluh tahun, menciptakan 5 juta lowongan pekerjaan dibidang energi dalam sepuluh tahun dan yang terpenting memulihkan harga diri bangsa AS. Salah satu masalah yang sangat penting dalam pandangan presiden Obama pada saat kampanye adalah keinginannya yang kuat untuk merubah kebijakan luarnegerinya. Kebijakan pemerintah AS dimasa era Bush yang lebih mendahulukan “preemtive strike” akan diganti dengan kebijakan soft policy dalam hubungan multilateral ke Negara-negara muslim dan dia akan menerapkan hard power terhadap kelompok teroris yang mengancam negaranya.
Masalah krusial yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi ancaman langsung bagi AS berada di Timur Tengah, Teluk Persia dan Asia Tengah (Afghanistan). AS berhadapan dengan musuhnya yang bukan negara tetapi bersembunyi disebuah Negara. Menghadapi musuh (teroris) yang melakukan taktik "hit and run" dan "suicide bombing" akan sangat sulit ditaklukkan oleh AS, dibandingkan musuh nyata yang berupa angkatan perang sebuah negara. Oleh karena itu maka AS harus membangun komunikasi yang lebih efektif dengan komunitas kekuatan Islam yang berkuasa disana. AS mempunyai ketergantungan minyak disana, uang mereka banyak terhambur dalam medan tempurnya juga disana, hilangnya nyawa ribuan prajurit juga disana. Oleh karena itu Obama akan mengakhiri perang di Irak, dimana rakyat AS mulai sadar bahwa perang di Irak tidak ada manfaatnya, tidak ada yang dikejar disana, dinilai lebih banyak merugikan. Obama menilai potensi ancaman teroris kedepan akan jauh lebih serius, oleh karena itu medan operasi counter terrorist hanya akan di fokuskan ke Afghanistan yang diketahui sebagai tempat bersarangnya kelompok Al-Qaeda.
Konflik AS dengan teroris jelas sulit diselesaikan oleh AS sendiri, seperti yang dikatakan Fareed Zakaria “Masalahnya bukanlah bahwa Osama bin Laden yakin kalau ini adalah perang suci melawan Amerika. Masalahnya adalah jutaan orang di Negara-negara Islam kelihatannya setuju”. Osama bin Laden adalah produk budaya yang memperkuat rasa permusuhan, rasa tidak percaya dan kebencian mereka terhadap Barat khususnya AS. Budaya ini tidak mendewakan terorisme tetapi menyalakan fanatisme yang sudah ada dihati mereka. Inilah inti salah satu masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Obama mendatang. Tanpa adanya kerjasama yang baik dengan negara-negara Muslim, maka ancaman terhadap instalasi dan warga negara AS dimanapun berada akan selalu tetap terjadi.
Indonesia sebagai Negara dengan penduduk yang beragama Islam terbesar didunia, dinilai AS telah berhasil menyelesaikan beberapa konflik internalnya, bahkan konflik yang bersumber kepada SARA. AS sangat mengapresiasi keseriusan pemerintah Indonesia dalam menghancurkan sel-sel dan memutus mata rantai teroris yang terdiri dari kelompok Islam radikal. Indonesia dipandang sangat serius menolak berkembangnya faham terorisme, dibuktikan dengan menghukum mati tiga pelaku bom Bali. Dibidang politik Obama juga sangat mendukung penerapan demokrasi di Indonesia yang kita semua juga tahu ini ditiru dari negara barat termasuk AS, tetapi bisa diterapkan pada sebuah negara yang mayoritasnya warga muslim.
Kehadiran Wapres Jusuf Kalla sebagai undangan pada acara National Prayer Breakfast ke-57 yang dilaksanakan Kamis pagi (5/2) waktu AS, dan yang juga mendapat kesempatan berbicara pada acara luncheon tersebut adalah suatu bentuk penghargaan yang cukup tinggi. Pada pidatonya yang berjudul “Crafting peace in Indonesia : “Peaceful Settlement and reconciliation”, diutarakan keberhasilan Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Poso, Papua, Aceh dan Maluku. Juga disampaikan sebuah teori bahwa masalah keadilan dan pembangunan ekonomi yang merata akan mendukung perdamaian.
Selanjutnya JK menyampaikan bahwa kini ada fenomena dimana agama dipergunakan sebagai alat untuk memperburuk konflik. JK juga menekankan agar AS membantu menciptakan perdamaian di Palestina. Wapres Jusuf Kalla yang kemudian juga diterima sebagai pejabat Negara pertama didunia oleh Wapres Joe Bidden adalah gambaran penghargaan dalam sebuah posisi hubungan diplomatik bilateral. Terlebih Bidden mengatakan bahwa Menlu AS Hillary Clinton mendapat perintah Presiden Obama agar mengunjungi Indonesia (18-19 Februari) dalam lawatannya kekawasan Asia Timur.
Signal-signal tersebut terbaca sangat positif bagi hubungan bilateral AS-Indonesia dimasa mendatang. Langkah Hillary yang memilih Asia Timur, seperti dikatakan Menlu Hassan Wirayuda sebagai kunjungan pertamanya selaku menteri luar negeri merupakan hal yang baru. Pada masa lalu seorang menlu AS memilih Eropa sebagai wilayah yang pertama akan dikunjungi pada awal-awal masa jabatan mereka. Dari beberapa hal tersebut diatas, maka Indonesia seharusnya memanfaatkan “momentum” kondisi yang saling terkait, baik upaya keras AS dalam menyelesaikan pengaruh faham teroris dinegara-negara muslim terkait dengan kebijakan Presiden Obama. Juga penilaian Indonesia sebagai Negara dengan studi kasus kemampuan penyelesaian konflik dan meredam imbas resesi ekonomi yang epicentrumnya berada di AS.
Indonesia kelihatannya diharapkan oleh AS dapat berperan sebagai mediator dalam melunakkan pengaruh faham terorisme anti AS dinegara-negara Islam. Dengan demikian maka kini hanya tersisa sebuah pertanyaan, mampukah kita melakukan negosiasi dengan AS dan negara-negara Islam tersebut. Apabila peran ini memang bisa dimainkan, maka kita memiliki peluang dan juga dukungan yang besar dari AS dengan Presidennya yang pernah tinggal di Menteng Dalam itu, khususnya dalam mencapai cita-citanya. Semoga Allah meridhoi bangsa Indonesia dalam setiap langkahnya. Amin.
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/02/17/indonesia-akan-berperan-sebagai-juru-damai-dunia/ (Dibaca: 1074 kali)