Risiko Sebagai Pimpinan Nasional
16 December 2008 | 9:30 pm | Dilihat : 92
Penulis pernah membuat artikel di blog pribadi tentang risiko yang mungkin timbul pada pimpinan nasional sebuah negara. Mengingat kini banyaknya peminat yang mendaftar sebaga calon presiden, artikel diedit ulang untuk para pembaca Kompasiana dan para capres yang kebetulan membaca. Selamat, semoga ada manfaatnya.
Enakkah menjadi seorang pimpinan nasional? Rata-rata orang mengatakan enak, berkuasa, bergaji besar, hidup terjamin, dikawal, tidak pernah kena macet, dihormati, kemana-mana menggunakan mobil dan pesawat khusus. Pokoknya sungguh sangat enak. Jangankan yang bersangkutan, istri, anak, orang tua, mertua, saudaranya, semuanya ikut dihormati. Bahkan sopir dan pembantunyapun ikut pula disegani. Itu sisi enaknya.
Ternyata, selain sisi enak tersebut ada juga sisi tidak enaknya. Sisi tidak enak bahkan bisa berbentuk ancaman yang kadang sama sekali tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Ini yang disebut sebagai risiko jabatan. Gambaran risiko ini kiranya yang perlu diketahui dan direnungkan oleh seseorang sebelum memutuskan memberanikan diri untuk maju pada pilpres 2009. Kini, menjelang pemilu dan pilpres 2009, terlihat beberapa orang yang berambisi untuk menjadi pimpinan nasional (”presiden”) mulai mempopulerkan diri dengan segala cara, dan jelas dengan ongkos yang tidak sedikit.
Berita mengejutkan pernah datang dari Australia, kelompok aksi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menuding mantan Perdana Menteri Australia John Howard terlibat kejahatan perang karena mengirim tentara Australia bergabung dalam pasukan koalisi pimpinan AS saat menginvasi Irak pada Maret 2003. Senator Lyn Allison dari Partai Demokrat membenarkan tuduhan tersebut dan mengatakan supaya semua orang mempertanggung jawabkan perbuatannya. John Howard sebagai Perdana Menteri harus bertanggung jawab karena saat itu dia menjadi eksekutif pemerintahan. PM Kevin Rudd juga menyalahkan kebijakan John Howard yang dikatakannya terlalu menurut kepada sekutunya AS. Bahkan kini PM Rudd telah menarik pasukan Australia dari Irak.
Nicolae Ceausescu, yang menjadi Presiden Romania sejak 1970, menempatkan anak, istri, dan saudara kandungnya sebagai pejabat di Partai Komunis dan pemerintahan. Dengan pola kepemimpinan diktatornya, menyebabkan Romania mempunyai hutang 10 milyar dollar pada tahun 1980. Kebijakan pengetatan didalam negeri menyebabkan terjadinyakekurangan pangan, kesulitan bahan bakar dan berbagai kebutuhan dasar lainnya. Kebijakannya tersebut mengakibatkan setiap tahun 15.000 penduduk mati kelaparan. Tindakannya yang keras dalam menumpas demonstran mengakibatkan 4000 orang meninggal, yang justru kemudian menyulut demo menjadi lebih besar. Sebagian personel Angkatan Bersenjata akhirnya memihak rakyat. Ceausescu dan istrinya kemudian melarikan diri setelah membunuh Menhan Jenderal Vasile Milea karena menolak perintah menembak rakyat. Keduanya ahirnya ditangkap polisi, diadili dan divonis mati dengan ditembak dikepalanya.
Nasib buruk juga menimpa Zulfikar Ali Bhutto, yang menjadi Presiden Pakistan pada 1971, Perdana Menteri 1973. Pada tahun 1977 Ali Bhutto walau menang telak pada pemilu, tetapi situasi dan kondisi politik Pakistan justru memburuk. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Zia Ul Haq menetapkan darurat militer. Zulfikar Ali Bhuto ditahan dengan tuduhan KKN dan pelanggaran HAM. Kebijakan sosialisnya dituduh sebagai penyebab hancurnya perekonomian Pakistan. Pada bulan Maret 1978 Ali Bhutto dinyatakan bersalah dan dihukum gantung.
Saddam Hussein yang menjabat sebagai Presiden Irak sejak 1979, kurang apa jasanya kepada rakyat Irak. Upayanya dalam memberantas buta huruf, membangun banyak sekolah, infrastruktur, rumah rakyat, rumah sakit banyak dipuji. Irak mendapat penghargaan dari UNESCO karena dinilai memiliki sistem pemeliharaan kesehatan masyarakat terbaik di Timur Tengah. Tetapi, dengan tindakannya yang memerintahkan penyerangan ke Iran dan invasi ke Kuwait, keberaniannya menentang AS, menyebabkan pada Maret 2003 Irak diserang oleh pasukan koalisi pimpinan AS. Setelah mengalami kekalahan, Saddam bersembunyi, dan ahirnya tertangkap. Dengan penampilannya yang tua, letih, lusuh, Saddam Husein yang dahulunya demikian gagah perkasa ahirnya berahir tragis digantung rakyatnya.
Presiden Republik Komunis Demokratik Afghanistan Muhammad Najibullah, dituduh sebagai arsitek pembunuhan ribuan warga Afghanistan sebelum menjadi Presiden. Najibullah ditangkap pasukan Taliban, disiksa, ditembak, mayatnya diseret mobil dan digantung dipinggir jalan, diludahi rakyatnya. Beberapa presiden AS terbunuh, diantaranya Presiden J.F. Kennedy berahir tragis meninggal ditembak sniper disamping istrinya.
Bung Karno, saat berkuasa, siapa yang tidak mendekat, begitu jatuh beliau dikarantina, tidak ada yang datang, terbaring lemah hingga akhir hayatnya, ditinggalkan para pembantunya. Demikian juga Alm Pak Harto saat berkuasa, siapa yang tidak mendekat. Tetapi saat kredibilitasnya hilang dimata rakyat, para pembantu terdekatnya justru yang pertama meletakkan jabatan dan meninggalkannya. Orang terdekatnya justru yang memintanya untuk mundur. Beliau terus dituntut dan kasusnya tidak kunjung selesai hingga akhir hayatnya. Keluarganya terus dipermasalahkan. Tetapi para pembantu yang meninggalkannya aman-aman saja hingga kini, tidak ada tuntutan apapun. Semua menjadi tanggung jawab Pak Harto.
Nah, bagaimana kini dengan Presiden SBY?. Walaupun peluang untuk kembali menjadi presiden pada pilpres 2009 sangat besar, apakah para “inner circle” sudah menghitung kemungkinan terburuk bila terjadi pergantian pimpinan nasional?. Adakah kemungkinan terjadinya penuntutan kepada beliau? Kini sulit mencari orang yang setia, kesetiaan lebih banyak hanya kepada seseorang saat masih berkuasa, begitu sang pemimpin jatuh maka banyak yang berlomba menyelamatkan diri, bahkan ada yang ikut menjelekkan. Ini yang harus diwaspadai dan dihitung. Apakah mereka tetap akan setia menjadi benteng beliau? Atau justru “escape”, cepat-cepat menyelamatkan diri seperti yang terjadi pada era Bung Karno dan Pak Harto. Hal yang wajar didunia politik, banyak yang mendasarkan perbuatan pada kepentingan pribadi belaka, maaf "oportunis".
Semua yang dilakukan oleh Presiden SBY dalam kewenangannya selama menjadi presiden kita tahu telah dipikirkan dan diputuskannya demi kebaikan negara. Tapi perlu diingat, keputusan yang terbaik untuk kepentingan negara belum tentu dinilai baik oleh masyarakat dan mereka yang terkena dampaknya. Titik rawannya disini, sehingga ada kemungkinan munculnya tuntutan rakyat dikemudian hari. Kasus pak Harto adalah contoh yang sangat jelas. Kini untuk menjadi pemimpin di Indonesia, seseorang harus siap, berani dan rela berkorban.
Jadi, kesimpulannya bagi mereka yang akan maju menjadi kandidat Presiden harus benar-benar siap mental, jujur, menimbang segala sesuatunya, mengukur kepribadian serta niatnya. Apakah benar-benar telah siap lahir batin dan “mampu” untuk mengemban amanah sebagai pimpinan nasional dinegara yang sangat dinamis dan bebas ini, Dia harus mendapat dukungan dan perlindungan sebuah partai politik atau koalisi yang kuat. Tanpa mengukur diri, dan hanya merasa dirinya pantas dan bisa saja, contoh menyeramkan diatas yang disebut sebagai risiko seorang pimpinan nasional sangat mungkin menghampiri dan akan menjadi mimpi buruk hingga diakhir hayatnya. Mari kita berfikir dan berhitung lagi.
(PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana).
Sumber : http://umum.kompasiana.com/2008/12/16/risiko-sebagai-pimpinan-nasional/ (Dibaca: 454 kali)