Matori dan Falsafah Kepemimpinan Jawa
16 November 2008 | 6:24 am | Dilihat : 377
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, nah kalau kita mati apa yang kita tinggalkan kepada anak cucu, kepada generasi penerus?. Mestinya meninggalkan suatu karya atau paling tidak nama baik. Kalau "orang waras" tentu akan berusaha sekuat tenaga, bila nanti dia meninggal namanya baik dan harum. Kalau tidak baik, sangat kasihan anak keturunannya, bisa dicemohkan orang. Umumnya orang Indonesia yang mapan selalu berusaha menyiapkan harta warisan dan segala perniknya untuk anak cucunya, bahkan ada yang katanya menyiapkan hingga tujuh keturunan. Maksudnya agar mereka tidak "keleleran" setelah ditinggal.
Salah satu tokoh Indonesia yang saya kagumi dan hormati, Pak Matori Abdul Djalil setelah meninggal ternyata banyak meninggalkan ilmu, pesan dan arahan bagi generasi penerus bangsa. Salah satu ilmu yang ditinggalkannya adalah sebuah falsafah kepemimpinan Jawa. Sebagai santri jawa, Pak Matori dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berpolitik terus memegang teguh dan menerapkan tradisi jawa yang universal, terutama yang menyangkut nilai-nilai luhur.
Pada saat penulis bertugas mendampinginya baik sebagai staf ahli maupun sebagai penasehatnya di Dephan, beliau mengutarakan falsafah kepemimpinan Jawa yang diyakininya yaitu "saguh, wani lan purun" (sanggup, berani dan mau). Kalau orang ingin jadi pemimpin ataupun politisi kata beliau, maka dia pertama-tama harus saguh atau sanggup, artinya si pemimpin harus menyiapkan diri, memiliki dan mengasah pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan.
Kedua, dia harus wani berarti dia memiliki keberanian, yaitu berani mengambil keputusan, berani menentukan arah kebijakannya. Ketiga dia harus purun, yaitu mau dalam arti kesetiaan, mempunyai loyalitas kepada amanah yang diembannya.
Ketiga pegangan tadi walaupun merupakan falsafah jawa tetapi bersifat universal. Apabila dirangkum maka seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki kualitas pribadi, selain juga memiliki pengetahuan, kemampuan dan terampil, dia harus berani mengambil keputusan tanpa ragu-ragu, dan yang terpenting harus berjanji kepada dirinya untuk setia terhadap amanah yang diembannya.
Bagaimana pemimpin mengimplementasikan pola kepemimpinannya saat berinteraksi keluar, Pak Matori berpegangan pada "wuwur, tutur dan sembur". Wuwur artinya si pemimpin memberi tempat, wilayah dimana orang yang dipimpinnya dapat mengaktualisasikan untuk maju. Tutur, yang berarti dia mampu memberi arahan, nasihat kepada mereka yang dipimpinnya. Terakhir sembur, yang merupakan fungsi kontrol, memperingatkan kepada yang dipimpinnya. Ketiga sikap tadi harus dilaksanakan dengan seimbang.
Kini banyak calon yang mempunyai keinginan maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Kiranya tidak salah apabila ilmu "leadership" Pak Matori tadi dipergunakan sebagai salah satu alternatif dan pegangan dalam pencapaian cita-cita dan tujuan. Jelas ini akan lebih baik daripada tidak memilikinya. Bagi mereka yang tidak ingin mencalonkan diri sebagai capres, ilmu ini kiranya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam peran orang tua ataupun sebagai pemimpin apapun. Akankah itu berhasil?. Pak Matori telah membuktikannya. Sebagai santri disebuah daerah terpencil di Salatiga, dengan ketekunan, keyakinan serta semangatnya dia telah membuktikan kiprahnya.
Sementara, dinegeri ini banyak orang yang mulai dari bawah tapi tidak mampu menembus keatas karena mereka sudah puas dengan apa yang dicapainya. Almarhum dengan berbekal semangat belajar secara otodidak, hobi membaca, berfikir jauh kedepan, bergaul dengan luwes dan berpegang pada falsafah kepemimpinan Jawa tadi, akhirnya mampu menjadi tokoh politik dan pejabat tinggi negara. Baik sebagai Ketua Umum Parpol, Wakil Ketua MPR RI, dan Menteri Pertahanan. Mudah-mudahan ini bermanfaat bagi kita semuanya dan dapat kita teladani. Salam.Pray.
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2008/11/16/matori-dan-falsafah-kepemimpinan-jawa/ (Dibaca: 926 kali)